Oleh: Dahlan Iskan
Saya selalu malas. Kalau diajak John Mohn main catur. Di rumahnya. Di Hays, Kansas.
Penyebabnya: saya malas berpikir lama-lama. Langkah catur saya selalu cepat. Hasilnya: kalah.
Saya pilih diajak main biliar. Di lantai bawah tanah. Di antara meja kerjanya dan meja kerja istrinya. Bisa lebih santai. Tertawa-tawa. Meski pun juga selalu kalah.
Meski saya tidak mau main catur John tidak sewot. Ia bisa main catur di komputer. Itulah hiburannya tiap hari. Malam-malam. Saat istrinya di meja kerja. Tidak jauh dari komputernya.
Di komputer itulah John menawarkan diri: siapa yang mau melawan dirinya. Tidak pernah menunggu lebih satu menit. Detik itu juga biasanya ada yang menerima tantangan.
Dari berbagai belahan dunia pula. Sesekali dari Indonesia.
John punya nama lain di komputer caturnya. Tidak ada nama John Mohn. Nama caturnya mengherankan saya: Apa Kabar.
”Mungkin ada yang mengira saya orang Indonesia,” ujar John.
Apa Kabar, oh… John, memang sering ke Indonesia. Dulu. Lebih 10 kali. Mengajar jurnalistik. Di berbagai kota.
Di tiap kota itu pula ia mencari penantang: main catur.
Ia baru menemukan lawan tangguh saat di Bengkulu: Redaktur Rakyat Bengkulu. Ia lupa namanya.
Di Indonesia ia juga membeli papan catur. Dan bijinya. Dari Bali. Terbuat dari kayu ukir.
Di Spanyol John juga membeli papan catur. Yang bentuk buah caturnya berbeda pula.
Ada sembilan koleksi papan catur di rumah John. Dari sembilan negara. Beda-beda pula bentuk rajanya, kudanya, bentengnya…. (lihat foto).
Di antara sembilan itu ada satu yang selalu dipajang. Dalam posisi siap dimainkan. Di meja teras belakang rumahnya. Menghadap halaman belakang. Yang ada rumah kayu di atas pohon besarnya.
Bikinan John sendiri.
Pun catur ‘siap dimainkan’ itu juga bikinan John. Saat ia berumur 24 tahun. Berarti catur itu kini sudah berumur lebih 50 tahun.
Bentuk buah catur ‘made in John’ itu dicopy dari catur hadiah pamannya. Saat ulang tahun ke 14-nya.
Hampir semua rumah tangga orang Amerika punya alat pertukangan. Di gudang mereka. John membuat buah catur dengan alat pertukangan ayahnya.
Buah catur putih ia buat dari kayu maple. Buah catur coklat dari kayu cedar.
Kotak-kotak di papan catur pun terbuat dari kayu berbeda warna. Kotak putih dari oak. Kotak coklat dari kayu walnut.
Tidak ada kayu berwarna hitam. Warna hitam untuk caturnya ia ganti coklat.
Sebenarnya saya sendiri suka main catur. Bahkan pernah juara. Saat masih SD dulu. Juara baca Quran pula. Dan juara pidato. Tingkat kecamatan. Saat 17 Agustusan.
Meski tanpa saya, John tidak akan kekurangan lawan. Ada 23.000 pemain catur di komputer. Hanya di lichess.com. Belum di lima atau enam website lainnya.
Di antara 23.000 pemain itu level tertingginya 3.000. Level John 1.600. Lawan-lawan John yang menerima tantangan juga dari level itu.
Lebih sering menang?
“50:50,” katanya.
Main catur, katanya, penting. Bagi umurnya yang sudah 78 tahun. Yang di rumah hanya berdua dengan isterinya. ”Saya senang. Level saya masih terus naik. Berarti otak saya tidak terdegradasi oleh umur,” katanya.
Belum semua orang cari lawan di komputer. Masih ada yang cari lawan secara berhadapan. Misalnya di Denver minggu lalu. Saat saya melewati 16th street. Tempat teramai di Denver.
Saya lihat ada lima meja catur dibuka. Di tengah jalan. Yang mobil tidak boleh kewat.
Lima orang itu menunggu lawan. Yang mau datang ke meja caturnya. Dengan catur siap dimainkan.
Sepi. Tidak ada yang mampir ke meja itu. Saya juga tidak mau. Lagi “kesusu”.
Itu mengingatkan saya saat ke St Pieterburg dulu. Saat Uni Soviet belum terpecah lalu.
Begitu banyak orang menenteng papan catur. Mondar-mandir. Di taman luas kota itu. Di bawah pepohonan nan rindang. Mencari lawan.
Saya mencobanya. Dengan “bahasa Tarzan”. Saya tidak bisa berbahasa Russia. Mereka tidak ada yang bisa berbahasa Inggris.
Saya kalah. Pindah ke papan yang lain. Kalah lagi.
Russia memang gudangnya pemain catur. Meski juara dunia sekarang dari Armenia: Levon Arovian. Bekas Uni Soviet juga.
Juara dunia sebelumnya pun: Magnus Carlson. Dari Norwegia.
Saya tidak tahu siapa juara catur Indonesia saat ini. Sejak permainan catur kalah seru. Dengan permainan dagang sapi. (dahlan iskan)