31.6 C
Jakarta
25 November 2024, 17:10 PM WIB

Kembali Jadi Dosen, Tak Pilih Jalan Politik, Terkesan Momen Pilpres

Setelah selesai jadi Hakim Konstitusi per 7 Januari 2020 lalu,  I Dewa Gede Palguna tak akan kemana-mana. Pria kelahiran Bangli ini memilih kembali ke kampus, habitatnya. 

 

 

NOVI FEBRIANI, Denpasar

SETELAH sepakat janjian, I Dewa Gede Palguna akhirnya bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai Jawa Pos Radar Bali.

Padahal, jadwalnya sangat padat. Sesaat sebelum diwawancarai, Palguna tengah melakukan bedah buku yang baru dia terbitkan. Dua buku sekaligus.

Pertama, berjudul Dissenting Oppinions, Pendapat Berbeda Hakim Konstitusi Palguna dan Mahkamah Konstitusi, Dinamika Politik Hukum di Indonesia. 

” Makanya tadi wawancaranya tersendat-sendat,” ujar Dewa Paguna meminta wartawan untuk memaklumi.

Pria yang lahir di Bangli ini, dipilih kedua  kalinya menjadi Hakim Konstitusi pada 5 Januari 2015 silam oleh Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi.

Saat itu Palguna menggantikan Hakim Hamdan Zoelva.  Sebelumnya, Dewa Palguna jadi hakim MK pada periode pertama 2003 – 2008.

Dari sekian banyak sidang, salah satu yang menguras tenaga dan pikiran adalah saat sengketa pemilihan presiden.

Sebab, siding itu menyedot perhatian publik. Bahkan, saking menghabiskan banyak waktu, Palguna  sempat tidur dikantor.

“Karena sidang itu yang paling banyak menyedot perhatian publik, bukan hanya dalam negeri tapi  tetapi juga internasional. Meskipun sesungguhnya substansinya sederhana,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana ini. 

Ia tak menampik memang menjadi hakim konstitusi akan banyak godaan. Seperti yang terjadi beberapa hakim konstitusi seperti Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan ada nama Patrialis Akbar yang terjerat kasus korupsi.

Soal korupsi, kata Dewa Palguna, kembali ke masalah personal.” Kalau soal hakim yang kena gratifikasi atau korupsi, itu personal dan, menurut saya, itu ada sangkut pautnya dengan 

proses seleksi hakim yang bersangkutan. Kalau proses seleksinya terbuka dan kredibel, saya kira, potensi terjadinya perbuatan memalukan itu bisa dicegah sejak awal,” ucapnya. 

Menurutnya, godaan di segala profesi pasti ada, apalagi hakim. Namun, integritasnya akan diuji ketika bertugas.

Namun, untuk tidak goyah harus memegang teguh kode etik dan taat kepada hukum acara.  ” Kalau soal godaan, dalam jabatan apa pun godaan itu ada

Khusus untuk hakim, jika teguh memegang kode etik dan taat kepada hukum acara, dia takkan terjerumus dalam perbuatan tercela itu, kecuali memang sudah punya “bakat” sejak awal,” tegasnya. 

Pria yang pernah menjadi penyiar radio ini mengakui tidak tertarik ke dunia politik. Meski, dari dulu terus mendapat tawaran terjun ke politik.

Termasuk jadi calon kepala daerah? “Itu  sudah sejak dulu, bukan hanya setelah saya selesai di MK. Tapi, saya tak pernah tertarik ke dunia itu. Itu pertama  akan saya tolak dan sudah beberapa kali saya tolak,” ujarnya. 

Selain mengajar, Dewa Palguna akan menyelesaikan menulis buku tentang Mahkamah Internasional. Ini semacam “utang” kepada mahasiswanya yang menempuh hukum internasional.

“Baru sampai Bab II. Yaah semoga dalam beberapa bulan ini. Tergantung mood,” pungkasnya sambil ketawa. (*)

Setelah selesai jadi Hakim Konstitusi per 7 Januari 2020 lalu,  I Dewa Gede Palguna tak akan kemana-mana. Pria kelahiran Bangli ini memilih kembali ke kampus, habitatnya. 

 

 

NOVI FEBRIANI, Denpasar

SETELAH sepakat janjian, I Dewa Gede Palguna akhirnya bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai Jawa Pos Radar Bali.

Padahal, jadwalnya sangat padat. Sesaat sebelum diwawancarai, Palguna tengah melakukan bedah buku yang baru dia terbitkan. Dua buku sekaligus.

Pertama, berjudul Dissenting Oppinions, Pendapat Berbeda Hakim Konstitusi Palguna dan Mahkamah Konstitusi, Dinamika Politik Hukum di Indonesia. 

” Makanya tadi wawancaranya tersendat-sendat,” ujar Dewa Paguna meminta wartawan untuk memaklumi.

Pria yang lahir di Bangli ini, dipilih kedua  kalinya menjadi Hakim Konstitusi pada 5 Januari 2015 silam oleh Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi.

Saat itu Palguna menggantikan Hakim Hamdan Zoelva.  Sebelumnya, Dewa Palguna jadi hakim MK pada periode pertama 2003 – 2008.

Dari sekian banyak sidang, salah satu yang menguras tenaga dan pikiran adalah saat sengketa pemilihan presiden.

Sebab, siding itu menyedot perhatian publik. Bahkan, saking menghabiskan banyak waktu, Palguna  sempat tidur dikantor.

“Karena sidang itu yang paling banyak menyedot perhatian publik, bukan hanya dalam negeri tapi  tetapi juga internasional. Meskipun sesungguhnya substansinya sederhana,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana ini. 

Ia tak menampik memang menjadi hakim konstitusi akan banyak godaan. Seperti yang terjadi beberapa hakim konstitusi seperti Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan ada nama Patrialis Akbar yang terjerat kasus korupsi.

Soal korupsi, kata Dewa Palguna, kembali ke masalah personal.” Kalau soal hakim yang kena gratifikasi atau korupsi, itu personal dan, menurut saya, itu ada sangkut pautnya dengan 

proses seleksi hakim yang bersangkutan. Kalau proses seleksinya terbuka dan kredibel, saya kira, potensi terjadinya perbuatan memalukan itu bisa dicegah sejak awal,” ucapnya. 

Menurutnya, godaan di segala profesi pasti ada, apalagi hakim. Namun, integritasnya akan diuji ketika bertugas.

Namun, untuk tidak goyah harus memegang teguh kode etik dan taat kepada hukum acara.  ” Kalau soal godaan, dalam jabatan apa pun godaan itu ada

Khusus untuk hakim, jika teguh memegang kode etik dan taat kepada hukum acara, dia takkan terjerumus dalam perbuatan tercela itu, kecuali memang sudah punya “bakat” sejak awal,” tegasnya. 

Pria yang pernah menjadi penyiar radio ini mengakui tidak tertarik ke dunia politik. Meski, dari dulu terus mendapat tawaran terjun ke politik.

Termasuk jadi calon kepala daerah? “Itu  sudah sejak dulu, bukan hanya setelah saya selesai di MK. Tapi, saya tak pernah tertarik ke dunia itu. Itu pertama  akan saya tolak dan sudah beberapa kali saya tolak,” ujarnya. 

Selain mengajar, Dewa Palguna akan menyelesaikan menulis buku tentang Mahkamah Internasional. Ini semacam “utang” kepada mahasiswanya yang menempuh hukum internasional.

“Baru sampai Bab II. Yaah semoga dalam beberapa bulan ini. Tergantung mood,” pungkasnya sambil ketawa. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/