24 C
Jakarta
13 September 2024, 0:24 AM WIB

Drama Pemakzulan Presiden Trump

Virus Wuhan membuat saya hampir ‘lupa permanen’ menulis perkembangan terbaru di Amerika.

Bahkan lupa juga bahwa besok adalah ulang tahun ke-2 DI’s Way. Begitu ingat sudah sangat terlambat.

Saya harus tiga kali memutar kembali pidato Presiden Donald Trump ini. Yang di depan forum gabungan DPR dan Senat itu. Yang disebut pidato State of the Union itu. Yang panjangnya 1,5 jam itu.

Inilah pidato yang dibuka dan ditutup dengan adegan permusuhan. Yang didemonstrasikan dua tokoh puncak eksekutif (Presiden Trump) dan legislatif (Ketua DPR Nancy Pelosi).

Tentu Ketua DPR-lah yang menyilakan presiden naik podium. Presiden Trump lantas mampir ke meja pimpinan DPR untuk menyerahkan map. Isinya: naskah pidato yang akan ia bacakan.

Pelosi pun berdiri untuk menerima map itu. Lalu mengulurkan tangannyi untuk menjabat tangan presiden. Sang presiden langsung melengos menuju podium.

Diperlakukan begitu Pelosi terlihat sangat tenang. Tangannyi yang sudah terjulur terlihat tidak cepat-cepat ditarik. Tapi wajahnyi tetap tenang. Tidak mengekspresikan kekecewaan atau ejekan. Begitu matang ekspresi politiknyi.

Namun ketika Trump nyaris menyelesaikan pidatonya terjadilah adegan ‘pembalasan yang lebih kejam’. Tiba-tiba Pelosi berdiri. Dia meraih kertas pidato Trump yang ada di mejanyi. Lalu merobeknya, kreeek. Robekan itu dia empaskan di atas meja. Pelosi mengambil lagi sisa kertas pidato yang masih utuh: kreeeeek, dirobeknyi lagi. Sobekannya ditaruh di atas sobekan pertama.

Dia ambil lagi sisa kertas pidato itu. Dia kreeek lagi. Ambil lagi. Kreeeeek lagi. Sampai empat kali. Sampai kertas pidato itu terobek semua.

Lalu tumpukan sobekan pidato tersebut dia jadikan satu tumpukan. Lalu dia ambil untuk diempaskan di meja.

Adegan penyobekan itu terjadi di belakang punggung Trump yang lagi mengucapkan kalimat terakhir pidatonya.

Tidak ada perubahan di wajah Trump. Tumben. Tidak muncul ciri khas emosionalnya.

Pun Pelosi. Saat menyobek-nyobek kertas pidato itu wajahnyi tidak menunjukkan emosi atau kemarahan.

Itulah dua wajah pemain watak yang akan menarik perhatian para sutradara Hollywood.

Isi pidato itu sendiri memang mirip kampanye pilpres. Memang tidak ada aturan harus bagaimana isi sebuah pidato State of the Union.

Menurut konstitusi setahun sekali presiden mengucapkan pidato State of the Union di depan rapat gabungan DPR dan Senat. Yakni untuk melaporkan apa yang dilakukan presiden selama setahun.

Maka Trump tidak melanggar konstitusi. Termasuk ketika tidak mau menerima salaman Pelosi.

Trump memang sangat marah padanyi. Pelosi adalah tokoh Demokrat yang mengimpeachnya Trump.

Di hari pidato itu Senat lagi mengadili Trump: apakah impeachment DPR itu dikabulkan atau tidak. Tapi Trump sudah tahu hasilnya: Senat menolak impeachment. Mayoritas keanggotaan Senat di tangan partai Republik. Hanya satu anggota Republik yang menyetujui impeachment itu: Mitt Romney. Dari dapil negara bagian Utah. Ia dulu calon presiden. Tapi gagal menghadapi Barack Obama.

Meski tiga kali memutar ulang pidato itu rasanya tidak bosan. Pidato Presiden Amerika memang selalu sangat menarik: Ronald Reagan, Bill Clinton, Obama, dan siapa pun mereka.

Saat memutar yang ketiga kalinya saya lebih memperhatikan berapa kali sih pidato itu mendapat tepuk tangan. Kok rasanya begitu sering.

Saya pun menghitungnya: 132 kali. Tepuk tangan besar maupun agak besar. Lebih 90 kali disertai standing ovation.

Begitu mudah orang Amerika memberikan apresiasi terhadap pidato. Begitu rela harus sering kali berdiri.

Berarti pidato itu sebenarnya hanya sekitar 1 jam. Yang setengahnya lagi karena banyaknya waktu yang dipakai untuk bertepuk tangan.

Tepuk tangan terbanyak terjadi saat Trump memperkenalkan tokoh oposisi Venezuela, Juan Guaido. Bahkan secara resmi Trump sudah menyebutnya sebagai Mr Presiden Venezuela.

Yang disebut namanya itu pun berdiri di balkon. Masih sangat muda. Umurnya 36 tahun. Wajahnya tampan. Potongan badannya atletis. Jas dan dasinya serasi.

Trump sudah tidak mengakui Presiden Venezuela yang sekarang ini: Maduro.

Saat Guaido diperkenalkan itu semua anggota DPR dan Senat berdiri. Termasuk Pelosi. Juga para anggota DPR. Pun dari Partai Demokrat –yang lebih sering tidak mau tepuk tangan, apalagi sambil berdiri.

Di topik Venezuela ini Trump berhasil mengecoh lawan-lawan politiknya. Setelah memperkenalkan Guaido itu Trump ingin menusukkan belati. Mumpung Pelosi lagi berdiri.

Topik Venezuela itu ternyata hanya dipakai Trump untuk pintu masuk membahas jeleknya sosialisme.

Maksudnya: calon-calon presiden dari Demokrat itu sosialis semua. Janganlah dipilih. Pilihlah dia lagi. Di bulan November nanti.

Trump juga memperkenalkan nama Tony Rankins dari Cincinnati. Tidak penting siapa ia. Yang penting ia kulit hitam. Trump memang harus merangkul pemilih kulit hitam. Yang mereka itu biasanya tidak suka Partai Republik.

Prestasi Tony adalah berhasil keluar dari keterpurukan. Berkat ekonomi Amerika yang membaik selama kepresidenan Trump.

Trump menyebutkan Tony itu lambang laki-laki yang hancur: terlibat narkoba, ditinggalkan isteri dan menjadi pengangguran. Tapi, kata Trump, karena ekonomi membaik kini Tony bisa bangkit lagi.

Republican pun tepuk tangan. Lalu Tony berdiri di balkon. Tangannya melambai. Senyumnya merekah. Senyum itu terlalu lebar sampai membuat kelihatan bahwa gigi depannya ompong dua.

Topik yang juga banyak mendapat tepuk tangan adalah soal militer. Saat membahas keperkasaan tentara Amerika Trump membanggakan diri sebagai pembuat sejarah: di masa kepresidenannyalah Amerika memiliki Angkatan Angkasa Luar. Tidak lagi hanya Angkatan Darat, Laut dan udara.

Lalu Trump memperkenalkan seorang remaja. Namanya: Iain Lanphier. Umurnya: 13 tahun.

Di usia seremaja itu ia sudah diterima di Akademi Angkasa Luar Amerika.

“Ia bilang,” kata Trump mengutip kata-kata remaja itu, “Semua orang mendongak ke atas untuk melihat angkasa. Saya akan selalu menatap ke bawah, melihat bumi”.

Trump juga pandai membesarkan hati para veteran. Ia memperkenalkan seorang veteran yang hari-hari itu berumur 100 tahun.

Semua orang berdiri memberi hormat. Lalu duduk lagi. Dan berdiri lagi. Yakni saat Trump mengatakan bahwa ia memberikan pangkat jendral kepada veteran kelas prajurit itu.

Tentu Trump juga memberi penghargaan pada ‘provokator sejuta pendengar’ terkenal itu. Namanya Rush Limbaugh. Ia orator ulung.

Orasinya di radio memikat jutaan pendengar. Banyak pula yang fanatik dan terus menyetel channel radio miliknya.

Limbaugh adalah ideolog konservatif. Pembawa suara ideologi republikan. Kalau mencaci maki kelompok liberal luar biasa memikatnya.

Dengan ejekan dan satire yang sangat tajam.

Trump meminta Limbaugh berdiri di balkon. Lalu meminta tolong istrinya untuk mengalungkan medali kepadanya. Itulah medali tertinggi untuk orang sipil di Amerika. Namanya: Presidential Medal of Freedom.

Berita sedihnya: Limbaugh lagi menderita sakit. Sakit kanker. Stadium empat.

Pokoknya Trump memanfaatkan habis kesempatan itu. Semua prestasi diuraikan. Banyak yang ia beri embel-embel “terbaik sepanjang sejarah”. “Belum pernah dilakukan presiden siapa pun”.

Pidato Trump kali ini lebih mirip sebagai proklamasi kemenangan Amerika. Juga proklamasi bahwa Amerika sudah “Great again”.

Pesaing Amerika sudah kalah semua. Musuh Amerika sudah lari semua. Mental kalah di Amerika sudah kembali menjadi mental kemenangan.

“Tiongkok yang sudah berpuluh-puluh tahun mencuri lapangan kerja Amerika sekarang sudah hormat kepada kita,” ujar Trump.

“Di lain pihak hubungan kita dengan Tiongkok sekarang ini menjadi sangat baik, termasuk dengan Presiden Xi,” tambahnya.

“Mereka tidak menyangka ternyata ada satu orang Amerika yang berani membuat mereka berhenti melakukan apa yang sudah berpuluh tahun mereka lakukan pada Amerika.”

“Belum pernah hubungan kita menjadi sebaik ini dengan Tiongkok,” katanya.

Pokoknya Trump menjadi unggul di segala lini.

Ibarat permainan American Football –yang empat babak itu– Trump kini sudah memenangkan tiga babak. Skornya pun sudah 18-0.

Kini tinggal memasuki babak 4 –Pemilu November 2020.

Demokrat sudah hancur: babak impeachment kalah, babak State of the Union kalah, babak kaukus Iowa jeblok.

Strategi Trump dalam menghadapi impeachment luar biasa hebat. Ia gunakan pedang bermata dua: bisa menyelamatkan dirinya sekaligus membunuh lawannya.

Demokrat hanya kelihatannya membela unggulan calon presidennya: Joe Biden. Tapi secara tidak langsung nama Biden justru hancur dalam proses impeachment ini.

Di kaukus negara bagian Iowa Biden kalah total dari calon Demokrat lainnya. Biden merosot justru hanya di urutan empat.

Pemenangnya adalah calon yang semula tidak diunggulkan sama sekali: Peter Buttigieg.

Nama calon ini pun sulit diucapkan. Itulah nama orang Malta –ayah Buttigieg adalah imigran dari Malta.

Maka orang Amerika lebih senang memanggilnya Peter. Lebih mudah diucapkan.

Umur Buttigieg baru 36 tahun. Sangat muda –di mata Biden maupun Bernie Sander. Apalagi di mata Donald Trump.

Jabatan terakhir Buttigieg pun ‘hanya’ wali kota. Itu pun bukan kota besar: South Band. Yakni kota kecil yang terletak di batas paling utara negara bagian Indiana. Letaknya lebih dekat ke Chicago daripada ke Indianapolis – -kota terbesar di Indiana.

Buttigieg baru saja mengakhiri masa jabatannya yang kedua sebagai wali kota. Tapi ide-idenya besar. Kalangan liberal lebih menyukai Buttigieg dari calon Demokrat lainnya.

Yang mungkin akan jadi halangan adalah: ia seorang gay. Sudah kawin dengan sesama laki-laki. Buttigieg sendiri yang mengumumkan bahwa dirinya gay.

Minggu depan akan ada kaukus Demokrat lagi. Kali ini di negara bagian New Hampshire. Kalau di sini pun Buttigieg yang menang rasanya sudah waktunya Joe Biden mundur dari pencalonan.

Sampai sekarang Trump belum mengincar Buttigieg sebagai lawan di pilpres nanti. Trump masih menganggap lawan terkuatnya hanya Biden.

Maka di babak ke-4 nanti bisa jadi Trump akan menang lagi. Dengan mudah pula.

Memang pernah ada: yang sudah kalah telak di babak tiga tapi berhasil membalikkan skor di babak 4. Tapi itu di American Football. Yakni tim dari Kansas City.

Saya ikut menonton live pertandingan besar Super Bowl Senin pagi lalu (WIB). Kansas City sudah kalah telak di akhir babak 3. Tapi dengan dramatik bisa membalik keadaan.

Itu karena Kansas City memiliki bintang muda luar biasa. Namanya: Patrick Mahomes.

Bisakah Buttigieg menjadi Mahomes-nya Demokrat? (*)

Virus Wuhan membuat saya hampir ‘lupa permanen’ menulis perkembangan terbaru di Amerika.

Bahkan lupa juga bahwa besok adalah ulang tahun ke-2 DI’s Way. Begitu ingat sudah sangat terlambat.

Saya harus tiga kali memutar kembali pidato Presiden Donald Trump ini. Yang di depan forum gabungan DPR dan Senat itu. Yang disebut pidato State of the Union itu. Yang panjangnya 1,5 jam itu.

Inilah pidato yang dibuka dan ditutup dengan adegan permusuhan. Yang didemonstrasikan dua tokoh puncak eksekutif (Presiden Trump) dan legislatif (Ketua DPR Nancy Pelosi).

Tentu Ketua DPR-lah yang menyilakan presiden naik podium. Presiden Trump lantas mampir ke meja pimpinan DPR untuk menyerahkan map. Isinya: naskah pidato yang akan ia bacakan.

Pelosi pun berdiri untuk menerima map itu. Lalu mengulurkan tangannyi untuk menjabat tangan presiden. Sang presiden langsung melengos menuju podium.

Diperlakukan begitu Pelosi terlihat sangat tenang. Tangannyi yang sudah terjulur terlihat tidak cepat-cepat ditarik. Tapi wajahnyi tetap tenang. Tidak mengekspresikan kekecewaan atau ejekan. Begitu matang ekspresi politiknyi.

Namun ketika Trump nyaris menyelesaikan pidatonya terjadilah adegan ‘pembalasan yang lebih kejam’. Tiba-tiba Pelosi berdiri. Dia meraih kertas pidato Trump yang ada di mejanyi. Lalu merobeknya, kreeek. Robekan itu dia empaskan di atas meja. Pelosi mengambil lagi sisa kertas pidato yang masih utuh: kreeeeek, dirobeknyi lagi. Sobekannya ditaruh di atas sobekan pertama.

Dia ambil lagi sisa kertas pidato itu. Dia kreeek lagi. Ambil lagi. Kreeeeek lagi. Sampai empat kali. Sampai kertas pidato itu terobek semua.

Lalu tumpukan sobekan pidato tersebut dia jadikan satu tumpukan. Lalu dia ambil untuk diempaskan di meja.

Adegan penyobekan itu terjadi di belakang punggung Trump yang lagi mengucapkan kalimat terakhir pidatonya.

Tidak ada perubahan di wajah Trump. Tumben. Tidak muncul ciri khas emosionalnya.

Pun Pelosi. Saat menyobek-nyobek kertas pidato itu wajahnyi tidak menunjukkan emosi atau kemarahan.

Itulah dua wajah pemain watak yang akan menarik perhatian para sutradara Hollywood.

Isi pidato itu sendiri memang mirip kampanye pilpres. Memang tidak ada aturan harus bagaimana isi sebuah pidato State of the Union.

Menurut konstitusi setahun sekali presiden mengucapkan pidato State of the Union di depan rapat gabungan DPR dan Senat. Yakni untuk melaporkan apa yang dilakukan presiden selama setahun.

Maka Trump tidak melanggar konstitusi. Termasuk ketika tidak mau menerima salaman Pelosi.

Trump memang sangat marah padanyi. Pelosi adalah tokoh Demokrat yang mengimpeachnya Trump.

Di hari pidato itu Senat lagi mengadili Trump: apakah impeachment DPR itu dikabulkan atau tidak. Tapi Trump sudah tahu hasilnya: Senat menolak impeachment. Mayoritas keanggotaan Senat di tangan partai Republik. Hanya satu anggota Republik yang menyetujui impeachment itu: Mitt Romney. Dari dapil negara bagian Utah. Ia dulu calon presiden. Tapi gagal menghadapi Barack Obama.

Meski tiga kali memutar ulang pidato itu rasanya tidak bosan. Pidato Presiden Amerika memang selalu sangat menarik: Ronald Reagan, Bill Clinton, Obama, dan siapa pun mereka.

Saat memutar yang ketiga kalinya saya lebih memperhatikan berapa kali sih pidato itu mendapat tepuk tangan. Kok rasanya begitu sering.

Saya pun menghitungnya: 132 kali. Tepuk tangan besar maupun agak besar. Lebih 90 kali disertai standing ovation.

Begitu mudah orang Amerika memberikan apresiasi terhadap pidato. Begitu rela harus sering kali berdiri.

Berarti pidato itu sebenarnya hanya sekitar 1 jam. Yang setengahnya lagi karena banyaknya waktu yang dipakai untuk bertepuk tangan.

Tepuk tangan terbanyak terjadi saat Trump memperkenalkan tokoh oposisi Venezuela, Juan Guaido. Bahkan secara resmi Trump sudah menyebutnya sebagai Mr Presiden Venezuela.

Yang disebut namanya itu pun berdiri di balkon. Masih sangat muda. Umurnya 36 tahun. Wajahnya tampan. Potongan badannya atletis. Jas dan dasinya serasi.

Trump sudah tidak mengakui Presiden Venezuela yang sekarang ini: Maduro.

Saat Guaido diperkenalkan itu semua anggota DPR dan Senat berdiri. Termasuk Pelosi. Juga para anggota DPR. Pun dari Partai Demokrat –yang lebih sering tidak mau tepuk tangan, apalagi sambil berdiri.

Di topik Venezuela ini Trump berhasil mengecoh lawan-lawan politiknya. Setelah memperkenalkan Guaido itu Trump ingin menusukkan belati. Mumpung Pelosi lagi berdiri.

Topik Venezuela itu ternyata hanya dipakai Trump untuk pintu masuk membahas jeleknya sosialisme.

Maksudnya: calon-calon presiden dari Demokrat itu sosialis semua. Janganlah dipilih. Pilihlah dia lagi. Di bulan November nanti.

Trump juga memperkenalkan nama Tony Rankins dari Cincinnati. Tidak penting siapa ia. Yang penting ia kulit hitam. Trump memang harus merangkul pemilih kulit hitam. Yang mereka itu biasanya tidak suka Partai Republik.

Prestasi Tony adalah berhasil keluar dari keterpurukan. Berkat ekonomi Amerika yang membaik selama kepresidenan Trump.

Trump menyebutkan Tony itu lambang laki-laki yang hancur: terlibat narkoba, ditinggalkan isteri dan menjadi pengangguran. Tapi, kata Trump, karena ekonomi membaik kini Tony bisa bangkit lagi.

Republican pun tepuk tangan. Lalu Tony berdiri di balkon. Tangannya melambai. Senyumnya merekah. Senyum itu terlalu lebar sampai membuat kelihatan bahwa gigi depannya ompong dua.

Topik yang juga banyak mendapat tepuk tangan adalah soal militer. Saat membahas keperkasaan tentara Amerika Trump membanggakan diri sebagai pembuat sejarah: di masa kepresidenannyalah Amerika memiliki Angkatan Angkasa Luar. Tidak lagi hanya Angkatan Darat, Laut dan udara.

Lalu Trump memperkenalkan seorang remaja. Namanya: Iain Lanphier. Umurnya: 13 tahun.

Di usia seremaja itu ia sudah diterima di Akademi Angkasa Luar Amerika.

“Ia bilang,” kata Trump mengutip kata-kata remaja itu, “Semua orang mendongak ke atas untuk melihat angkasa. Saya akan selalu menatap ke bawah, melihat bumi”.

Trump juga pandai membesarkan hati para veteran. Ia memperkenalkan seorang veteran yang hari-hari itu berumur 100 tahun.

Semua orang berdiri memberi hormat. Lalu duduk lagi. Dan berdiri lagi. Yakni saat Trump mengatakan bahwa ia memberikan pangkat jendral kepada veteran kelas prajurit itu.

Tentu Trump juga memberi penghargaan pada ‘provokator sejuta pendengar’ terkenal itu. Namanya Rush Limbaugh. Ia orator ulung.

Orasinya di radio memikat jutaan pendengar. Banyak pula yang fanatik dan terus menyetel channel radio miliknya.

Limbaugh adalah ideolog konservatif. Pembawa suara ideologi republikan. Kalau mencaci maki kelompok liberal luar biasa memikatnya.

Dengan ejekan dan satire yang sangat tajam.

Trump meminta Limbaugh berdiri di balkon. Lalu meminta tolong istrinya untuk mengalungkan medali kepadanya. Itulah medali tertinggi untuk orang sipil di Amerika. Namanya: Presidential Medal of Freedom.

Berita sedihnya: Limbaugh lagi menderita sakit. Sakit kanker. Stadium empat.

Pokoknya Trump memanfaatkan habis kesempatan itu. Semua prestasi diuraikan. Banyak yang ia beri embel-embel “terbaik sepanjang sejarah”. “Belum pernah dilakukan presiden siapa pun”.

Pidato Trump kali ini lebih mirip sebagai proklamasi kemenangan Amerika. Juga proklamasi bahwa Amerika sudah “Great again”.

Pesaing Amerika sudah kalah semua. Musuh Amerika sudah lari semua. Mental kalah di Amerika sudah kembali menjadi mental kemenangan.

“Tiongkok yang sudah berpuluh-puluh tahun mencuri lapangan kerja Amerika sekarang sudah hormat kepada kita,” ujar Trump.

“Di lain pihak hubungan kita dengan Tiongkok sekarang ini menjadi sangat baik, termasuk dengan Presiden Xi,” tambahnya.

“Mereka tidak menyangka ternyata ada satu orang Amerika yang berani membuat mereka berhenti melakukan apa yang sudah berpuluh tahun mereka lakukan pada Amerika.”

“Belum pernah hubungan kita menjadi sebaik ini dengan Tiongkok,” katanya.

Pokoknya Trump menjadi unggul di segala lini.

Ibarat permainan American Football –yang empat babak itu– Trump kini sudah memenangkan tiga babak. Skornya pun sudah 18-0.

Kini tinggal memasuki babak 4 –Pemilu November 2020.

Demokrat sudah hancur: babak impeachment kalah, babak State of the Union kalah, babak kaukus Iowa jeblok.

Strategi Trump dalam menghadapi impeachment luar biasa hebat. Ia gunakan pedang bermata dua: bisa menyelamatkan dirinya sekaligus membunuh lawannya.

Demokrat hanya kelihatannya membela unggulan calon presidennya: Joe Biden. Tapi secara tidak langsung nama Biden justru hancur dalam proses impeachment ini.

Di kaukus negara bagian Iowa Biden kalah total dari calon Demokrat lainnya. Biden merosot justru hanya di urutan empat.

Pemenangnya adalah calon yang semula tidak diunggulkan sama sekali: Peter Buttigieg.

Nama calon ini pun sulit diucapkan. Itulah nama orang Malta –ayah Buttigieg adalah imigran dari Malta.

Maka orang Amerika lebih senang memanggilnya Peter. Lebih mudah diucapkan.

Umur Buttigieg baru 36 tahun. Sangat muda –di mata Biden maupun Bernie Sander. Apalagi di mata Donald Trump.

Jabatan terakhir Buttigieg pun ‘hanya’ wali kota. Itu pun bukan kota besar: South Band. Yakni kota kecil yang terletak di batas paling utara negara bagian Indiana. Letaknya lebih dekat ke Chicago daripada ke Indianapolis – -kota terbesar di Indiana.

Buttigieg baru saja mengakhiri masa jabatannya yang kedua sebagai wali kota. Tapi ide-idenya besar. Kalangan liberal lebih menyukai Buttigieg dari calon Demokrat lainnya.

Yang mungkin akan jadi halangan adalah: ia seorang gay. Sudah kawin dengan sesama laki-laki. Buttigieg sendiri yang mengumumkan bahwa dirinya gay.

Minggu depan akan ada kaukus Demokrat lagi. Kali ini di negara bagian New Hampshire. Kalau di sini pun Buttigieg yang menang rasanya sudah waktunya Joe Biden mundur dari pencalonan.

Sampai sekarang Trump belum mengincar Buttigieg sebagai lawan di pilpres nanti. Trump masih menganggap lawan terkuatnya hanya Biden.

Maka di babak ke-4 nanti bisa jadi Trump akan menang lagi. Dengan mudah pula.

Memang pernah ada: yang sudah kalah telak di babak tiga tapi berhasil membalikkan skor di babak 4. Tapi itu di American Football. Yakni tim dari Kansas City.

Saya ikut menonton live pertandingan besar Super Bowl Senin pagi lalu (WIB). Kansas City sudah kalah telak di akhir babak 3. Tapi dengan dramatik bisa membalik keadaan.

Itu karena Kansas City memiliki bintang muda luar biasa. Namanya: Patrick Mahomes.

Bisakah Buttigieg menjadi Mahomes-nya Demokrat? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/