DENPASAR – Wanita Bali wajib tahu sosok yang membuat mereka masih leluasa mengenakan kebaya hingga detik ini. Dia adalah I Gusti Ngurah Harta.
Saat Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi “digodok” di DPR RI mulai tahun 2006 silam,
I Gusti Ngurah Harta yang kini berstatus Calon DPD RI nomor urut 31 dipercaya memimpin Komponen Rakyat Bali (KRB) melakukan penolakan demi penolakan.
Baginya, rancangan undang-undang itu mengabaikan fakta bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural; yang memiliki keragaman dalam tafsir atas berbagai elemen sensualitas.
Pemaksaan tafsir tunggal atas apa yang bisa dinilai sebagai pornografi maupun pornoaksi, terang Ngurah Harta, berpeluang memasung
kebebasan berbagai kelompok agama dan budaya dalam merayakan dan melestarikan kekayaan budaya, kepercayaan religius serta kreativitas estetiknya.
“Tradisi budaya Bali bersifat merdeka. Tradisi ini tidak bisa diatur dengan cara-cara yang justru akan membunuh budaya itu sendiri.
Tanpa kemerdekaan, tradisi dan budaya Bali tidak bisa berkembang,” tegas Ngurah Harta, Senin (8/4) kemarin.
Tradisi, budaya, dan seni Bali jelasnya sangat mandiri, tidak seragam, dan menerima semua tradisi positif untuk pengembangan budaya Bali itu sendiri.
Penolakan dilakukan karena dinilai sebagai pemerkosaan hak terhadap tubuh wanita. Yang salah bukan si wanita, melainkan pikiran dan mata si lelaki.
Tidak boleh ada penjajahan terhadap hak asasi wanita. Inilah yang mendasari penolakan yang digawangi Komponen Rakyat Bali (KRB) tersebut.
Ngurah Harta menilai wanita Bali adalah mahkluk super fleksibel. Sangat menghormati peran lelaki sebagai purusa (kepala keluarga) dan tidak protes dengan konsep predana.
“Wanita Bali adalah ciptaan Tuhan yang menghormati laki-laki sebagai pemimpin. Bila protes, maka cara elegan dikedepankan wanita Bali. Tidak dengan cara-cara radikal,” pujinya.
Dalam konteks yang lebih luas, penolakan RUU tersebut juga dilandasi oleh fakta bahwa Bali hidup karena kemerdekaan dan keterbukaan cara berpikir masyarakatnya, khususnya dalam aspek budaya.
Kebebasan berekspresi dalam bentuk karya seni ini melekat dalam kehidupan sehari-hari diimbangi dengan sradha bakti pada Sang Pencipta.
Oleh karena itu, manusia Bali sangat menghormati hak-hak setiap orang. Konsep Rwa Bhineda (baik dan buruk) menjiwai hal itu.
Situs-situs peninggalan leluhur yang menonjolkan hal-hal vulgar (kelamin, red) harus tetap dipelihara. “Itu adalah simbol peradaban manusia Bali yang penuh dengan keterbukaan,” jelasnya. (rba)