I Ketut Gede Jiwa Artana, warga asal Banjar Bongan Kauh Kelod, Desa Bongan, Tabanan, sejak tahun 2012 sudah melakoni sebagai peternak burung Jalak Bali.
Kini pria berusia 38 sudah memiliki rumah penangkaran dan memelihara ratusan ekor Jalak Bali yang dikembangbiakkan.
JULIADI, Tabanan
KICAU burung dengan warna khas berbulu putih dengan jambul di bagian kepala menyambut Jawa Pos Radar Bali ketika bertandang ke rumah penangkaran Jalak Bali milik I Ketut Gede Jiwa Artana.
Rumah penangkaran dengan nama Kicau Bali diresmikan sejak 14 Juli 2016 oleh Ketua DPRD Tabanan dan sudah mengantongi ijin penangkaran dari Balai konservasi sumber daya alam (BKSA) Bali.
Pria yang akrab disapa Jiwa sembari memperkenalkan rumah penangkarannya menceritakan awal mulanya dirinya terjun mengembangbiakkan burung yang kini dilindungi itu.
Sebenarnya dari hobi memelihara berbagai jenis burung salah satunya Jalak Bali. Kemudian melihat kondisi Jalak Bali yang juga mengalami kepunahan.
Akhirnya terbit dipikiran untuk memelihara Jalak Bali dengan penangkaran. Hingga rumah penangkaran dapat berdiri dan eksis sampai saat ini.
“Jalak Bali saya kembangbiakkan sejak tahun 2008. Tiga pasang Jalak Bali saya beli dari Solo, Jawa Tengah. Saat itu satu ekor seharga Rp 3 juta.
Kebetulan burung tersebut dimiliki oleh teman yang juga sesama penghobi burung dan juga melakukan penangkaran Jalak Bali.
Dari sana mulai bertukar pikiran dengannya cara memelihara Jalak Bali,” ujar Jiwa memberikan makanan kepada burung Jalak Bali.
Dia lalu menjual sapi dan meminjam uang di Bank. Karena kala itu harga burung Jalak Bali sangat mahal.
Dapat dibayangkan kala itu baru anakkan saja harga mencapai Rp 3 juta. Punya uang Rp 10 juta hanya mendapat dua pasang burung Jalak Bali.
Tak hanya itu untuk menambah pengetahuan bagaimana cara memelihara Jalak Bali, diungkapkan Jiwa, sering dan bertukar pikiran dengan teman sesama pencipta burung setiap kali pertemuan dan perlombaan kicauan burung.
“Kalau cara melihat burung kapan akan bertelur, karakter burung ketika akan mengalami sakit lebih kepada belajar secara otodidak,” ucap pria yang juga senang dengan burung murai batu.
Ditambahkan Jiwa, Jalak Bali mudah dan gampang untuk dipelihara. Tidak sama dengan burung lainnya.
Secara fisik Jalak Bali tidak mudah terserang penyakit. Tingkat stresnya kecil. Beda dengan burung jenis punglor dan murai yang mudah stres.
Selain itu, dari sisi makanan yang diberikan sangat gampang. Makanan utama Jalak Bali kosentrat dari makanan ayam.
Kemudian cacing tanah, ulat, jangkrik dan pisang. Cara pemeliharaan juga tidak begitu susah mulai dari masih anakkan hingga dewasa.
Untuk Jalak Bali masih anakkan harus merawat selama satu setengah bulan dengan memberikan makanan.
Barulah diusia yang menginjak satu setengah bulan lebih, Jalak Bali dapat tumbuh sendiri dan tidak perlu dipelihara lagi.
Artinya sudah makan secara mandiri. Mengenai biaya biaya yang pemeliharaan hingga pakan dan biaya pekerja yang berjumlah 3 orang harus mengeluarkan kocek pulahan juta rupiah.
“Jalak Bali akan mulai bertelur diusianya lebih dari satu tahun. Dalam setahun Jalak Bali dapat bertelur selama sembilan kali
dengan menetaskan telur 3 sampai 5 telur setiap bulannya. Barulah fase istirahat untuk bertelur selama 4 sampai 5 bulan,” terangnya.
Untuk meneruskan perkembangbiakan agar lebih cepat tumbuhnya, Jiwa juga menciptakan sangkar inkubator.
Sangkar inkubator tersebut khusus untuk anakkan Jalak Bali yang usainya dari masa menetes sampai berusia 3 bulan.
Sangkar inkubator tersebut memliki alat pengatur suhu mulai dari 30 derajat sampai 36 derajat.
“Saat ini sebanyak 250 ekor Jalak Bali yang saya pelihara. Selain itu Jalak Bali juga ada yang saya perjualbelikan. Dengan jumlah kadang sebanyak 185 buah,” tandasnya.