29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:46 AM WIB

Perang Dagang Siapa Menang

Oleh: Dahlan Iskan

Perang dagang saat ini kian seru: Amerika Serikat vs Tiongkok. Siapa yang akan menang?

Para ahli memperkirakan dua-duanya akan kalah. Presiden Trump memang sering mengatakan: akan menang dengan mudah. Namun gertakan pertamanya ternyata dilawan.

Jam itu juga. Dengan bobot yang sama. Trump meluncurkan rudal kedua. Tiongkok bahkan membalasnya lebih telak. Lebih ke jantung Amerika: kedelai dan pesawat terbang. Lebih cepat pula.

Balasan RRT itu seperti sudah lama disiapkan.

Trump memulai perang dengan dua alasan. Pertama: neraca perdagangan AS dengan RRT selalu defisit. Angkanya selalu besar. Tahun lalu USD 250 miliar.

Kedua: RRT mencuri teknologi AS. Lewat aturan: setiap perusahaan teknologi AS harus berpartner dengan pengusaha lokal. Kalau mau investasi di RRT.

Lama-lama partner lokal itu menguasai teknologinya. Lalu membuat perusahaan sendiri. Menjadi pesaing Amerika.

Dari sudut pandang AS, dua alasan itu sangat masuk akal. Cara paling mudah untuk mengurangi defisit: kurangi invasi barang RRT. Lewat kenaikan bea masuk.

Inilah cara ampuh. Sekaligus kuno. Tidak perlu berpikir cerdas. Tidak perlu kerja keras. Cukup gunakan kekuasaan: bikin aturan.

Bagi penganut aliran cowboy cara seperti itu dianggap ampuh. Tembak saja. Urusan belakangan. Itulah juga sudut pandang nasionalisme sempit. Nasionalisme sumbu pendek.

Sebaliknya dari sudut pandang Tiongkok juga ada nasionalismenya sendiri: kami ini negara miskin. Tapi ingin maju. Tidak mau selamanya miskin. Amerika kan sudah kaya nan raya. Tidak akan jatuh miskin.

Kami kan tidak mau seperti negara itu (namanya saya rahasiakan). Yang selama 50 tahun belum juga mandiri.

Belum bisa menguasai teknologi pembakaran bensin untuk mobil. Sehingga sudah 50 tahun pun pasar mobil negara itu masih dikuasai merk asing.

Bahkan ketika negara itu ingin langsung meloncat ke mobil listrik juga susah.

Bahwa neraca perdagangan AS defisit itu bukan salah kami. Kami ini bekerja keras. Berpikir keras. Agar ekspor kami meningkat.

Kenapa bukan pengusaha AS yang disuruh kerja lebih keras? Agar bisa menaikkan ekspor ke Tiongkok? Agar neraca perdagangan lebih berimbang?

Jadi, dari sudut nasionalisme, dua-duanya benar.

Tapi kalau semua negara mengutamakan nasionalisme masing-masing tidak akan ada kemajuan. Dunia kian mundur.

Dengan menaikkan bea masuk berarti memberikan perlindungan. Kepada industri dalam negeri.

Padahal hukum dasar perlindungan itu jelas: membuat lambat dewasa. Tidak efisien. Meningkatkan perilaku malas.

Itulah perdebatan tentang sudut pandang. Tidak henti-hentinya. Kadang proteksionisme menang. Kadang pasar bebas menang.

Sebenarnya, dengan Amerika meningkatkan ekspor bukan hanya difisitnya yang berkurang. Ekonomi juga membesar.

Tapi menjadi cowboy memang terasa lebih gagah.(dis)

Oleh: Dahlan Iskan

Perang dagang saat ini kian seru: Amerika Serikat vs Tiongkok. Siapa yang akan menang?

Para ahli memperkirakan dua-duanya akan kalah. Presiden Trump memang sering mengatakan: akan menang dengan mudah. Namun gertakan pertamanya ternyata dilawan.

Jam itu juga. Dengan bobot yang sama. Trump meluncurkan rudal kedua. Tiongkok bahkan membalasnya lebih telak. Lebih ke jantung Amerika: kedelai dan pesawat terbang. Lebih cepat pula.

Balasan RRT itu seperti sudah lama disiapkan.

Trump memulai perang dengan dua alasan. Pertama: neraca perdagangan AS dengan RRT selalu defisit. Angkanya selalu besar. Tahun lalu USD 250 miliar.

Kedua: RRT mencuri teknologi AS. Lewat aturan: setiap perusahaan teknologi AS harus berpartner dengan pengusaha lokal. Kalau mau investasi di RRT.

Lama-lama partner lokal itu menguasai teknologinya. Lalu membuat perusahaan sendiri. Menjadi pesaing Amerika.

Dari sudut pandang AS, dua alasan itu sangat masuk akal. Cara paling mudah untuk mengurangi defisit: kurangi invasi barang RRT. Lewat kenaikan bea masuk.

Inilah cara ampuh. Sekaligus kuno. Tidak perlu berpikir cerdas. Tidak perlu kerja keras. Cukup gunakan kekuasaan: bikin aturan.

Bagi penganut aliran cowboy cara seperti itu dianggap ampuh. Tembak saja. Urusan belakangan. Itulah juga sudut pandang nasionalisme sempit. Nasionalisme sumbu pendek.

Sebaliknya dari sudut pandang Tiongkok juga ada nasionalismenya sendiri: kami ini negara miskin. Tapi ingin maju. Tidak mau selamanya miskin. Amerika kan sudah kaya nan raya. Tidak akan jatuh miskin.

Kami kan tidak mau seperti negara itu (namanya saya rahasiakan). Yang selama 50 tahun belum juga mandiri.

Belum bisa menguasai teknologi pembakaran bensin untuk mobil. Sehingga sudah 50 tahun pun pasar mobil negara itu masih dikuasai merk asing.

Bahkan ketika negara itu ingin langsung meloncat ke mobil listrik juga susah.

Bahwa neraca perdagangan AS defisit itu bukan salah kami. Kami ini bekerja keras. Berpikir keras. Agar ekspor kami meningkat.

Kenapa bukan pengusaha AS yang disuruh kerja lebih keras? Agar bisa menaikkan ekspor ke Tiongkok? Agar neraca perdagangan lebih berimbang?

Jadi, dari sudut nasionalisme, dua-duanya benar.

Tapi kalau semua negara mengutamakan nasionalisme masing-masing tidak akan ada kemajuan. Dunia kian mundur.

Dengan menaikkan bea masuk berarti memberikan perlindungan. Kepada industri dalam negeri.

Padahal hukum dasar perlindungan itu jelas: membuat lambat dewasa. Tidak efisien. Meningkatkan perilaku malas.

Itulah perdebatan tentang sudut pandang. Tidak henti-hentinya. Kadang proteksionisme menang. Kadang pasar bebas menang.

Sebenarnya, dengan Amerika meningkatkan ekspor bukan hanya difisitnya yang berkurang. Ekonomi juga membesar.

Tapi menjadi cowboy memang terasa lebih gagah.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/