Tak banyak pemuda yang memilih mengabdikan hidupnya untuk merawat ibu dan kakak yang didera epilepsi. Seperti di lakoni I Wayan Buda, 30, warga Duda Utara, Selat, Karangasem.
WAYAN PUTRA, Amlapura
MESKI dari keluarga miskin, I Wayan Buda Yasa, 30, terlihat gagah dan ganteng. Pria asal Dusun Karangsari Kelod, Duda Utara, Selat, ini tak canggung ketika rombongan Polres Karangasem mengunjunginya di gubuknya yang reyot.
Untuk apa polisi mendatangi rumahnya? Saat pria seusianya pada mencari pasangan atau pacar untuk bersenang – senang, Buda malah memilih mengabdikan hidupnya untuk merawat ibu dan kakaknya yang mengidap penyakit epilepsi.
Buda sekaligus menjadi tulang punggung keluarganya. “Saya tidak berani meninggalkan untuk kerja keluar rumah karena sewaktu – waktu penyakitnya bisa kumat,” ungkap Buda saat Jawa Pos Radar Bali bersama Kapolsek Selat AKP Made Sudartawan berkunjung ke gubuknya.
Sudartawan sendiri datang secara khusus untuk memberikan bantuan kepada keluarga miskin tersebut. Bantuan yang diberikan berupa sembako dan dana untuk menopang hidup kesehariannya.
Ada pula perusahaan obat herbal asal Denpasar yang juga menyerahkan bantuan. Ibundanya Ni Wayan Sukiasa, 70, mengaku tidak bisa berbuat banyak sejak sang suami meninggal dunia.
Selain karena usia sudah sepuh, juga tak punya daya untuk bertani. Akhirnya, hanya bisa pasrah dengan mengandalkan usaha Buda.
Untuk menopang hidup, Buda harus bekerja banting tulang sambil terus merawat dan mengawasi ibu dan kakaknya.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Seorang saudaranya sudah meninggal dunia dan ada yang sudah menikah. Sementara kakak Buda nomor tiga Ni Komang Noni, 35, juga masih bujang.
Dia juga mengidap penyakit epilepsi sehingga tidak mampu bekerja. Noni mengidap penyakit tersebut sejak kelas tiga SD.
Diakui Sukiasa, kalau Noni tidak pernah mendapat pengobatan secara tuntas. Ini karena kemampuan ekonomi keluarga tersebut yang serba kekurangan.
“Ya, tidak punya biaya, sehingga tidak pernah berobat,” keluhnya. Sewaktu – waktu epilepsi yang diderita Noni tiba – tiba kumat.
Karena itu Buda juga tidak berani membiarkannya sendirian di rumah. Karena alasan itu juga Buda sang adik terpaksa hanya bisa bekerja di rumah dengan menganyam ate. “Ya, sambil jaga kakak,” akunya.
Untuk menganyam ate tidaklah mudah bagi Buda. Selain rumit pekerjaan juga membutuhkan konsentrasi penuh.
Sehingga dalam 10 hari baru berhasil menyelesaikan sebuah kerajinan ate. Per buah kerajinan tersebut dia jual Rp 120 ribu.
Harga ini juga termasuk modal yakni bahan baku. Penghasilan tersebut tentu hanya cukup untuk makan sehari – hari bagi seluruh anggota keluarganya.
Sementara itu, sang paman Wayan Merta penyakit epilepsi keponakan dan iparnya tersebut memang kerap kumat. Bahkan, sebulan bisa tujuh kali kumat.
Setiap kumat pihak keluarga hanya bisa menunggu sampai sadar sendiri tanpa pertolongan dokter. Karena kalau memanggil dokter setiap kumat juga tidak ada biaya.
Buda sendiri mengaku tidak mencari istri karena selain ekonomi sulit juga punya tanggung jawab merawat orang tua dan kakaknya.
Kalau dia menikah maka tanggung jawabnya akan lebih besar untuk istri dan juga anak nantinya kalau sudah punya anak.
Dengan penghasilan yang pas – pasan tersebut dia pun memilih untuk menyendiri sambil merawat keluarganya.
Dia juga pasrah dan sudah ikhlas dengan keadaan ini. Keluarga ini memiliki dua rumah yang sederhana. Satu rumah dengan tembok batako dan lantai semen kasar ditempati Noni dan Buda.
Rumah ini juga merupakan bantuan rehab dari pemerintah. Sementara rumah ibunya dengan ukuran 3x 2,5 meter dengan dinding gedeg dan lantai tanah.
Disini Sukiasa tidur. Sementara pekarangan yang ditempati juga bukan milik sendiri namun pinjam dari kepala dusun setempat.