32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 14:54 PM WIB

Geber Peradaban Air Warga Badung, Diuji 6 Profesor, Gandeng 120 Talent

Fungsi air (yeh) dalam  budaya  dan religi di Bali begitu luas dan mendalam. Terlebih lagi, manfaat air  menyesuaikan dengan  ruang,

waktu  dan fungsir air sebagai sumber kehidupan dan  perlengkapan penting dalam kegiatan spiritual  masyarakat Hindu Bali.

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

BEJI Langon, salah satu sumber air yang berlokasi di Desa Kapal, Mengwi Kabupaten Badung, menjadi pijakan inspiratif bagi  A.A Gede Agung Rahma Putra, mahasiswa pascasarjana ISI Surakarta,

untuk meraih gelar Doktor Penciptaan Karya Seni yang dilaksanakan, Senin (9/9) malam ini di Puri Beji Langon Desa Kapal, Badung.

Dalam perspektif budaya, Beji Langon merupakan salah satu tinggalan situs tua yang merekam jejak peradaban air di wilayah Badung.

Konon sebelum bernama Beji Langon, tempat ini bernama pancoran dedari. Selain memiliki keindahan alam, di tempat ini juga memiliki ritus air yang masih eksis dilaksanakan hingga hari ini.

Seiring dengan laju perjalanan waktu, ritus air menjadi bagian ritual keyakinan orang Bali, hingga kepercayaan di Bali dikenal dengan sebutan Agama Tirta.

Gung De Rahma, sapaan akrabnya, pihaknya menyebutkan sumber air di Beji Langon hingga kini masih dijaga kesucian dan kelestarianya oleh masyarakat setempat.

Namun, dibalik peranan beji masih perlu ada upaya pemahaman konsep air sesuai fungsinya. “Ada tiga konsep pemanfaatan air, yang kami angkat dalam karya seni serangkaian  

ujian yang saya jalani kali ini, yakni di tempat ini terdapat sumber mata air atau disebut Yeh yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat.

Sedangkan air disini juga disebut toya, fungsinya untuk berbagai keperluan upacara ritual agama Hindu. Sementara  air disini sebagai tirta

fungsinya untuk penyucian spiritual,” ungkap Gung De Rahma disela gladi bersih yang berlangsung di Beji Langon, Kapal.

Dijelaskan, dari  tiga fungsi penggunaan air di Beji Langon ini, ia  tuangkan dalam wujud karya seni pertunjukan, dengan  memanfaatkan alam sekitar Beji Langon yang masih asri sebagai panggung.  

“We Beji Langon dengan tema Air Dalam Budaya dan Religi. Garapan We Bali Langon, ini dihasilkan berdasarkan practice base research, yakni bertujuan untuk mengangkat

nilai-nilai kearifan lokal Bali, yaitu sentral dan esensialnya peran air dalam kehidupan sosial kultural dan religious masyarakat Hindu di Bali,” bebernya.

“Pesan yang ingin kami bawa adalah mengingatkan kembali pemahaman masyarakat sekitar, mereka senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian air di Beji Langon beserta alam sekitarnya ,” papar Gung De yang juga pemilik Sanggar Pancer Langiit ini.

 

Lebih lanjut dijelaskan, karya ini dibagi menjadi tiga babak, berlokasi di Beji Langon. Pertama suguhan yang menampilkan tentang kehidupan masyarakat yang  memanfaatkan yeh di lingkungan Sungai Penet.

Di dalamnya mengangkat isu lingkungan, tentang problema sampah plastic dan mengakibatkan rusaknya ekosistem sungai.

Belum lagi permasalahan air menjadi isu sentral di Bali, akibat kepungan industri, dengan pemanfaatan air bawah tanah dan sebagainya.

Babak kedua , garapan tari yang menceritakan konsep toya sebagai sumber air yang dikeramatkan , dan juga menghadirkan mitos pancoran dedari, yang menggunakan jaba tengah Pura Beji Langon.

Respons ruang Jaba Beji ini, menyajikan garapan tari dedari, didukung dinding pancoran Beji yang memiliki lima patung dedari.

Babak ketiga, bagaimana menggambarkan proses pembuatan tirta yang menggunakan area tegalan Puri Muncan.

Karya seni We Beji Langon ini melibatkan 120 talent atau seniman, dengan durasi satu jam dan akan diujikan oleh 6 Profesor dan 3 doktor seni.

Dalam garapan ujian pomosi doctor kali ini, Gung De Rahma didukung oleh Desa Adat Kapal, Sanggar Seni Pancer Langiit, Sanggar Seni taksu Agung, BTS, Sanggar Dhananjaya,

Sanggar Brahma Diva Kencana, Langowangi, Geoks, Karang Taruna Kapal, Jegeg Bagus Kapal, Jegeg Bagus Badung, Sama Kaki Art dan Yayasan Batur Kalawasan. (zul)

 

Fungsi air (yeh) dalam  budaya  dan religi di Bali begitu luas dan mendalam. Terlebih lagi, manfaat air  menyesuaikan dengan  ruang,

waktu  dan fungsir air sebagai sumber kehidupan dan  perlengkapan penting dalam kegiatan spiritual  masyarakat Hindu Bali.

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

BEJI Langon, salah satu sumber air yang berlokasi di Desa Kapal, Mengwi Kabupaten Badung, menjadi pijakan inspiratif bagi  A.A Gede Agung Rahma Putra, mahasiswa pascasarjana ISI Surakarta,

untuk meraih gelar Doktor Penciptaan Karya Seni yang dilaksanakan, Senin (9/9) malam ini di Puri Beji Langon Desa Kapal, Badung.

Dalam perspektif budaya, Beji Langon merupakan salah satu tinggalan situs tua yang merekam jejak peradaban air di wilayah Badung.

Konon sebelum bernama Beji Langon, tempat ini bernama pancoran dedari. Selain memiliki keindahan alam, di tempat ini juga memiliki ritus air yang masih eksis dilaksanakan hingga hari ini.

Seiring dengan laju perjalanan waktu, ritus air menjadi bagian ritual keyakinan orang Bali, hingga kepercayaan di Bali dikenal dengan sebutan Agama Tirta.

Gung De Rahma, sapaan akrabnya, pihaknya menyebutkan sumber air di Beji Langon hingga kini masih dijaga kesucian dan kelestarianya oleh masyarakat setempat.

Namun, dibalik peranan beji masih perlu ada upaya pemahaman konsep air sesuai fungsinya. “Ada tiga konsep pemanfaatan air, yang kami angkat dalam karya seni serangkaian  

ujian yang saya jalani kali ini, yakni di tempat ini terdapat sumber mata air atau disebut Yeh yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat.

Sedangkan air disini juga disebut toya, fungsinya untuk berbagai keperluan upacara ritual agama Hindu. Sementara  air disini sebagai tirta

fungsinya untuk penyucian spiritual,” ungkap Gung De Rahma disela gladi bersih yang berlangsung di Beji Langon, Kapal.

Dijelaskan, dari  tiga fungsi penggunaan air di Beji Langon ini, ia  tuangkan dalam wujud karya seni pertunjukan, dengan  memanfaatkan alam sekitar Beji Langon yang masih asri sebagai panggung.  

“We Beji Langon dengan tema Air Dalam Budaya dan Religi. Garapan We Bali Langon, ini dihasilkan berdasarkan practice base research, yakni bertujuan untuk mengangkat

nilai-nilai kearifan lokal Bali, yaitu sentral dan esensialnya peran air dalam kehidupan sosial kultural dan religious masyarakat Hindu di Bali,” bebernya.

“Pesan yang ingin kami bawa adalah mengingatkan kembali pemahaman masyarakat sekitar, mereka senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian air di Beji Langon beserta alam sekitarnya ,” papar Gung De yang juga pemilik Sanggar Pancer Langiit ini.

 

Lebih lanjut dijelaskan, karya ini dibagi menjadi tiga babak, berlokasi di Beji Langon. Pertama suguhan yang menampilkan tentang kehidupan masyarakat yang  memanfaatkan yeh di lingkungan Sungai Penet.

Di dalamnya mengangkat isu lingkungan, tentang problema sampah plastic dan mengakibatkan rusaknya ekosistem sungai.

Belum lagi permasalahan air menjadi isu sentral di Bali, akibat kepungan industri, dengan pemanfaatan air bawah tanah dan sebagainya.

Babak kedua , garapan tari yang menceritakan konsep toya sebagai sumber air yang dikeramatkan , dan juga menghadirkan mitos pancoran dedari, yang menggunakan jaba tengah Pura Beji Langon.

Respons ruang Jaba Beji ini, menyajikan garapan tari dedari, didukung dinding pancoran Beji yang memiliki lima patung dedari.

Babak ketiga, bagaimana menggambarkan proses pembuatan tirta yang menggunakan area tegalan Puri Muncan.

Karya seni We Beji Langon ini melibatkan 120 talent atau seniman, dengan durasi satu jam dan akan diujikan oleh 6 Profesor dan 3 doktor seni.

Dalam garapan ujian pomosi doctor kali ini, Gung De Rahma didukung oleh Desa Adat Kapal, Sanggar Seni Pancer Langiit, Sanggar Seni taksu Agung, BTS, Sanggar Dhananjaya,

Sanggar Brahma Diva Kencana, Langowangi, Geoks, Karang Taruna Kapal, Jegeg Bagus Kapal, Jegeg Bagus Badung, Sama Kaki Art dan Yayasan Batur Kalawasan. (zul)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/