I Made Pasek dikenal sebagai pionir Sastra Bali Modern. Pada awal 1900-an ia telah menulis cerpen. Selain menulis sastra ia juga menulis sejumlah bahan ajar maupun buku pendidikan bagi para siswa. Seperti apa sosoknya?
EKA PRASETYA, Singaraja
RUMAH yang terletak di Jalan Gunung Batur, Kelurahan Paket Agung itu terlihat begitu bersahaja. Lokasinya tak terlalu jauh dari simpang tiga Lingkungan Paketan.
Siang itu, aktifitas di dalam rumah milik Ketut Putu Astita itu begitu ramai. Puluhan orang penyuluh Bahasa Bali tengah melakukan pembersihan dan identifikasi lontar.
Lontar itu merupakan koleksi dari mendiang I Made Pasek (1889-1924), sosok yang sangat penting di dunia sastra Bali modern.
Menukil Prof. I Nyoman Darma Putra dalam buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern, sosok I Made Pasek merupakan pionir dari dunia sastra Bali Modern. Namanya baru dikenal pada tahun 2000 silam.
Sebelumnya pionir sastra Bali modern yang dikenal ialah I Wayan Gobyah. Seorang guru asal Denpasar yang mukim di Singaraja.
Gobyah diketahui menulis karya berjudul Nemu Karma pada tahun 1931 silam. Narasi itu bertahan sejak 1969 hingga 1999.
Hingga pada tahun 2000, Darma Putra menyatakan bahwa ada sosok lain yang telah lebih dulu menulis sastra Bali Modern.
Sosok itu ialah I Made Pasek. Guru asal Kelurahan Paket Agung itu sudah menulis karya-karya sastra Bali Modern pada periode 1913-1922.
Pasek merupakan lulusan Kweekschool, sekolah guru bentukan pemerintah kolonial yang ada di Bandung. Setelah lulus sekolah, ia diangkat menjadi guru.
Kemudian naik pangkat menjadi gurunya guru alias mantri guru. Ia sempat bertugas di daerah kelahirannya, Buleleng. Hingga akhirnya merantau di Gianyar.
Selama masa-masa itu, I Made Pasek cukup giat menulis. Buku pertamanya berjudul Tjatoer Perenidana. Peramataning Tjakepan Papeladjahan Sang Mamanah Maoeroek Mamaos Aksara Belanda.
Buku itu diterbitkan di Semarang pada 1913 silam, lewat percetakan Drukkerij en Boekhandel milik H.A. Benjamins. Buku itu merupakan buku diktat atau buku pegangan bagi para guru.
Ada pula buku berjudul Eka-Lawia. Inggih Poenika Tjatjakan Makekoedang-Koedang Raos Bali Kesoerat Antoek Sastera Belanda.
Buku itu diterbitkan percetakan Landsdrukkerij yang berbasis di Batavia (kini Jakarta), pada 1916 silam. Buku ini merupakan kumpulan kosa kata bahasa Bali yang ditulis dalam aksara latin.
Ada pula bukunya yang diterbitkan oleh percetakan Drukkerijen Ruygork&Co pada 1921. Seluruh buku karya I Made Pasek dicetak oleh percetakan yang diakui oleh pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu karya I Made Pasek yang paling dikenal adalah terjemahan cerita Ni Diah Tantri. Cerita Ni Diah Tantri yang dulunya hanya ditulis di lontar menggunakan aksara dan bahasa kawi, diterjemahkan dalam Bahasa Bali.
Cerita itu kemudian diadopsi kedalam buku pelajaran Bahasa Bali. Baik itu buku paket maupun Lembar Kerja Siswa (LKS).
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Gede Gita Purnama mengatakan, karya-karya milik I Made Pasek pertama kali ditemukan di Australia.
Saat itu Prof. I Nyoman Darma Putra tengah menyusun bahan disertasi. Saat itu Prof. Darma Putra menemukan karya I Made Pasek dalam bentuk mikro-film.
“Saya kemudian melanjutkan penelitian Prof. Darma Putra. Saya meneliti beberapa karya beliau (I Made Pasek). Ada beberapa naskah yang saya temukan di Gedong Kirtya,
koleksi buku Perpustakaan Nasional, termasuk di Perpustakaan Leiden Belanda. Kurang lebih ada 13 judul buku yang saya temukan,” kata Gita.
Menurutnya, karya-karya I Made Pasek di dunia sastra Bali modern kebanyakan dalam bentuk cerpen. Pada awal 1910-an, ia telah menulis cerpen. Hal yang tak biasa pada masa itu.
“Pada masa itu, biasanya kan yang ditulis itu gegurtan atau digubah dalam bentuk satwa. Tapi beliau sudah menulis cerpen. Konflik cerita yang dibuat pun sudah sangat modern untuk saat itu,” imbuhnya.
Beberapa cerpen yang ditulis I Made Pasek diantaranya Ajam Mepaloe, I Kelioed Tekeni I Teragia, Pemadat, Keneh Djoedjoer Dadi Modjoer,
serta Djelen Anake Demen Nginem Inoem-Inoeman ane Mekada Ponjeah, Loire: Djenewe, Berandi Tekeni ane len-lenan.
Menariknya pada masa itu, Pasek sudah menulis judul cerpen yang panjang. Padahal judul panjang itu baru menjadi trend di cerpen Indonesia sekitar tahun 2000-an.
Karya-karya I Made Pasek pun tersebar cukup luas. Selain di Indonesia, karyanya juga ditemukan di Australia, Jepang, dan Belanda.
Sayangnya, pihak keluarga tak memiliki satu pun salinan karya I Made Pasek. Kontribusi Pasek di dunia sastra Bali Modern pun membuat ia diberikan penghargaan Wija Kusuma oleh Pemkab Buleleng pada 2009 silam.
Sementara itu cucu mendiang I Made Pasek, Ketut Putu Astita mengatakan, karya-karya beliau memang tak ada yang tersimpan di rumah.
“Hanya ada lontar-lontar peninggalan beliau. Setiap piodalan saraswati, kami buatkan banten,” kata Astita.
Minimnya karya-karya Pasek di rumah keluarga besar, membuat pengetahuan keluarga tentang leluhurnya itu sangat terbatas.
Selama ini pihak keluarga harus mengumpulkan cerita-cerita dari para peneliti yang datang ke rumah keluarga besar.
Astita pun berusaha membaca beberapa karya milik Pasek. Salah satu karya yang paling diingat, ialah terjemahan kisah Ni Diah Tantri.
“Kami sebenarnya bersyukur ada peneliti yang datang ke rumah, jadi kami dapat banyak informasi, imbuh Astita.
Sayang kini di keluarga besar, belum ada yang mewarisi kebiasaan I Made Pasek menulis. Astita sendiri lebih banyak menekuni
dunia elektronika dan usadha Bali. Meski begitu, kontribusi Pasek di dunia sastra Bali Modern tak lekang oleh waktu. (*)