27.8 C
Jakarta
12 Desember 2024, 1:09 AM WIB

Mata Pertama

Kasihan kita ini. Baru satu orang ini yang benar-benar telah jadi donor mata di Jatim: Iwan Santoso.

Ia orang Malang. Meninggal dunia akibat kecelakaan tunggal. Jumat lalu.

Sore itu hujan lebat. Pak Iwan naik sepeda motor. Dari tugas gereja ke rumah salah satu jemaatnya. Mungkin terkena lubang. Jatuh.

Meninggal dunia.

Usianya 60 tahun.

Baru seminggu sebelumnya Pak Iwan menerima kiriman sertifikat dari Bank Mata Indonesia Jakarta: resmi pemegang kartu pendonor mata.

Tidak terduga. Seminggu kemudian kartu itu membuatnya jadi orang pertama di Jatim yang donor mata.

Putrinyalah yang menghubungi Bank Mata Jakarta. Agar ayahnya itu bisa melaksanakan niatnya jadi pendonor mata.

Bank Mata langsung menghubungi dokter mata Surabaya, Dini Dharmawidiarini. Satu-satunya dokter mata di Surabaya yang punya keahlian transplantasi mata. Alumnus Universitas Airlangga Surabaya ini belajar transplantasi kornea di universitas di Hyderabad, India.

Di seluruh Indonesia hanya ada enam dokter mata seperti Dini.

Malam itu juga dokter Dini ke Malang. Melakukan pengambilan kornea Pak Iwan. Di RS Syaiful Anwar.

Dokter Dini juga mengambil darah Pak Iwan.

Ambil darah mayat?

“Masih bisa. Meski agak sulit,” ujar dokter Dini. “Setelah pindah tiga tempat baru bisa mendapat sedikit. 5 cc,” tambahnyi.

Pengambilan darah mayat itu dilakukan lewat urat darah leher bawah –dekat bahu.

Jam 02.00 dini hari dokter Dini baru tiba kembali di Surabaya. Dua kornea Pak Iwan langsung disimpan di tempat khusus di RS Mata Undaan Surabaya.

Sedang darah Pak Iwan dimasukkan ke lab. Untuk diperiksa apakah mengandung HIV atau hepatitis.

“Ayah saya sehat. Mestinya tidak mengandung penyakit-penyakit itu,” ujar Jessika Juwithatma Santoso, putri ketiga. “Bapak tidak punya riwayat hepatitis maupun gula darah,” tambahnyi.

Jessika baru tamat SMA. Inginnyi menyusul kakak sulungnyi ke Hawaii. Kuliah di sana.

Jenazah Pak Iwan kini diistirahatkan di rumah duka Gotong Royong Malang. Saya melayat ke situ. Yakni usai mengunjungi sekolah Islam Tazkia.

Setelah menghormati dan berdoa, saya menengok wajah Pak Iwan di dalam peti matinya. Wajahnya teduh. Matanya terpejam sempurna.

Tidak terlihat sama sekali bekas operasi pengambilan kornea.

Pelayat pun tidak akan tahu kalau kornea mata Pak Iwan sudah tidak ada di tempatnya. Kecuali pelayat yang sudah baca DI’s Way ini.

Wajah Pak Iwan baru akan ditutup setelah putri sulung tiba dari Hawaii –pagi ini.

Pak Iwan memang aktivis gereja. Asal Jogjakarta. Marganya Lim. Beristeri orang Jawa asal Malang.

“Ketemu pertama dengan Pak Iwan di mana?“ tanya saya pada istrinya.

“Kami sama-sama sekolah di Akademi Bahasa Asing Malang,” ujar Ny Iwan. “Beliau kakak kelas saya,” tambahnyi.

Gereja Pak Iwan ini agak jarang di Indonesia: Gereja Yesus Kristus Orang-orang Suci Zaman Akhir.

Orang mengenalnya dengan sebutan pendek: Gereja Mormon. Hanya ada satu di Malang. Dengan jemaat sekitar 150 orang.

“Kenapa hujan-hujan naik motor ke rumah jemaat?” tanya saya.

“Kami tidak punya mobil,” ujar Ny. Iwan.

Saya juga akrab dengan gereja ini. Yang oleh gereja mainstream dianggap menganut aliran sesat –tapi tidak dimusuhi habis-habisan.

Saya pernah bermalam di gereja Mormon di Hawaii. Dua malam. Tempat anak sulung Pak Iwan kuliah.

Saya juga sudah ke pusat Mormon di Salt Lake City, Utah, USA. Juga dua kali.

Gus Dur pernah ke rumah sakit mata di Salt Lake City ditemani orang-orang gereja Mormon.

Saya juga pernah diminta dialog di gereja Mormon Surabaya –dan Jessika ternyata masih menyimpan foto-fotonya.

Saya juga pernah menonton teater musikal di Broadway, New York. Judulnya “The Book of Mormon”. Menceritakan militansi misionaris Mormon. Dengan ciri khas naik sepeda, dua orang, celana hitam, baju putih lengan pendek, dan dasi hitam.

Saya sampai dua kali menonton teater Broadway ini. Yang kedua mengajak Ustadz Yusuf Mansyur yang kebetulan juga lagi ke New York.

Orang Mormon sangat benci dengan pertunjukan itu. Dianggap melecehkan Mormon –meski tidak sampai mendemonya.

Gereja Mormon-lah yang membuat Pak Iwan menjadi pendonor mata. Waktu itu Pak Iwan ke Jakarta. Bersama pendeta Mormon se-Indonesia.

“Di pertemuan itu pimpinan Mormon Indonesia mengarahkan agar kami menjadi pendonor mata,” ujar Ny. Iwan.

“Kami sekeluarga sudah mendaftar. Tapi baru tiga orang yang mendapat kartu donor,” ujar Jessika.

Saya pun baru tahu dari dokter Dini. Bahwa satu kornea dari pendonor bisa diberikan pada lima orang buta. Tergantung kondisi yang buta.

Saya bertemu dokter Dini secara kebetulan. Sama-sama akan menonton teater di Ciputra Hall Surabaya Sabtu malam. Yakni teater Gandrik-nya Butet Kartarajasa. Dengan lakon ‘Para Pensiunan’.

Bersama dr Dini (kiri penulis) dan Rina (kanan) di pertunjukan teater Gandrik.

Dokter Dini masih begitu muda. Tapi dua tahun terakhir sudah melakukan 70 kali transplan mata di Surabaya.

“Sulit sekali mendapat donor mata di Indonesia,” ujar dokter Dini. “Biasanya kami impor dari Nepal atau Srilanka,” tambahnyi.

Dua negara Buddha itu memang jadi sumber utama donor mata dunia.

“Sekarang ini ada 20 orang yang antre di RS Mata Undaan Surabaya,” ujar dokter Dini.

Saat berbincang dengan dokter Dini teman saya ikut mendengarkan. Namanyi Rina. Asli Batu. Saya pernah menjadi atasannyi.

“Saya sudah lama ingin donor mata. Tapi tidak tahu mendaftar ke mana,” ujar Rina. “Sekarang saya mendaftar ke dokter Dini,” katanyi. “Saya dan seluruh keluarga. Bapak ibu saya juga,” tambah Rina.

Dia juga beragama Buddha.(dahlan iskan)

 

Kasihan kita ini. Baru satu orang ini yang benar-benar telah jadi donor mata di Jatim: Iwan Santoso.

Ia orang Malang. Meninggal dunia akibat kecelakaan tunggal. Jumat lalu.

Sore itu hujan lebat. Pak Iwan naik sepeda motor. Dari tugas gereja ke rumah salah satu jemaatnya. Mungkin terkena lubang. Jatuh.

Meninggal dunia.

Usianya 60 tahun.

Baru seminggu sebelumnya Pak Iwan menerima kiriman sertifikat dari Bank Mata Indonesia Jakarta: resmi pemegang kartu pendonor mata.

Tidak terduga. Seminggu kemudian kartu itu membuatnya jadi orang pertama di Jatim yang donor mata.

Putrinyalah yang menghubungi Bank Mata Jakarta. Agar ayahnya itu bisa melaksanakan niatnya jadi pendonor mata.

Bank Mata langsung menghubungi dokter mata Surabaya, Dini Dharmawidiarini. Satu-satunya dokter mata di Surabaya yang punya keahlian transplantasi mata. Alumnus Universitas Airlangga Surabaya ini belajar transplantasi kornea di universitas di Hyderabad, India.

Di seluruh Indonesia hanya ada enam dokter mata seperti Dini.

Malam itu juga dokter Dini ke Malang. Melakukan pengambilan kornea Pak Iwan. Di RS Syaiful Anwar.

Dokter Dini juga mengambil darah Pak Iwan.

Ambil darah mayat?

“Masih bisa. Meski agak sulit,” ujar dokter Dini. “Setelah pindah tiga tempat baru bisa mendapat sedikit. 5 cc,” tambahnyi.

Pengambilan darah mayat itu dilakukan lewat urat darah leher bawah –dekat bahu.

Jam 02.00 dini hari dokter Dini baru tiba kembali di Surabaya. Dua kornea Pak Iwan langsung disimpan di tempat khusus di RS Mata Undaan Surabaya.

Sedang darah Pak Iwan dimasukkan ke lab. Untuk diperiksa apakah mengandung HIV atau hepatitis.

“Ayah saya sehat. Mestinya tidak mengandung penyakit-penyakit itu,” ujar Jessika Juwithatma Santoso, putri ketiga. “Bapak tidak punya riwayat hepatitis maupun gula darah,” tambahnyi.

Jessika baru tamat SMA. Inginnyi menyusul kakak sulungnyi ke Hawaii. Kuliah di sana.

Jenazah Pak Iwan kini diistirahatkan di rumah duka Gotong Royong Malang. Saya melayat ke situ. Yakni usai mengunjungi sekolah Islam Tazkia.

Setelah menghormati dan berdoa, saya menengok wajah Pak Iwan di dalam peti matinya. Wajahnya teduh. Matanya terpejam sempurna.

Tidak terlihat sama sekali bekas operasi pengambilan kornea.

Pelayat pun tidak akan tahu kalau kornea mata Pak Iwan sudah tidak ada di tempatnya. Kecuali pelayat yang sudah baca DI’s Way ini.

Wajah Pak Iwan baru akan ditutup setelah putri sulung tiba dari Hawaii –pagi ini.

Pak Iwan memang aktivis gereja. Asal Jogjakarta. Marganya Lim. Beristeri orang Jawa asal Malang.

“Ketemu pertama dengan Pak Iwan di mana?“ tanya saya pada istrinya.

“Kami sama-sama sekolah di Akademi Bahasa Asing Malang,” ujar Ny Iwan. “Beliau kakak kelas saya,” tambahnyi.

Gereja Pak Iwan ini agak jarang di Indonesia: Gereja Yesus Kristus Orang-orang Suci Zaman Akhir.

Orang mengenalnya dengan sebutan pendek: Gereja Mormon. Hanya ada satu di Malang. Dengan jemaat sekitar 150 orang.

“Kenapa hujan-hujan naik motor ke rumah jemaat?” tanya saya.

“Kami tidak punya mobil,” ujar Ny. Iwan.

Saya juga akrab dengan gereja ini. Yang oleh gereja mainstream dianggap menganut aliran sesat –tapi tidak dimusuhi habis-habisan.

Saya pernah bermalam di gereja Mormon di Hawaii. Dua malam. Tempat anak sulung Pak Iwan kuliah.

Saya juga sudah ke pusat Mormon di Salt Lake City, Utah, USA. Juga dua kali.

Gus Dur pernah ke rumah sakit mata di Salt Lake City ditemani orang-orang gereja Mormon.

Saya juga pernah diminta dialog di gereja Mormon Surabaya –dan Jessika ternyata masih menyimpan foto-fotonya.

Saya juga pernah menonton teater musikal di Broadway, New York. Judulnya “The Book of Mormon”. Menceritakan militansi misionaris Mormon. Dengan ciri khas naik sepeda, dua orang, celana hitam, baju putih lengan pendek, dan dasi hitam.

Saya sampai dua kali menonton teater Broadway ini. Yang kedua mengajak Ustadz Yusuf Mansyur yang kebetulan juga lagi ke New York.

Orang Mormon sangat benci dengan pertunjukan itu. Dianggap melecehkan Mormon –meski tidak sampai mendemonya.

Gereja Mormon-lah yang membuat Pak Iwan menjadi pendonor mata. Waktu itu Pak Iwan ke Jakarta. Bersama pendeta Mormon se-Indonesia.

“Di pertemuan itu pimpinan Mormon Indonesia mengarahkan agar kami menjadi pendonor mata,” ujar Ny. Iwan.

“Kami sekeluarga sudah mendaftar. Tapi baru tiga orang yang mendapat kartu donor,” ujar Jessika.

Saya pun baru tahu dari dokter Dini. Bahwa satu kornea dari pendonor bisa diberikan pada lima orang buta. Tergantung kondisi yang buta.

Saya bertemu dokter Dini secara kebetulan. Sama-sama akan menonton teater di Ciputra Hall Surabaya Sabtu malam. Yakni teater Gandrik-nya Butet Kartarajasa. Dengan lakon ‘Para Pensiunan’.

Bersama dr Dini (kiri penulis) dan Rina (kanan) di pertunjukan teater Gandrik.

Dokter Dini masih begitu muda. Tapi dua tahun terakhir sudah melakukan 70 kali transplan mata di Surabaya.

“Sulit sekali mendapat donor mata di Indonesia,” ujar dokter Dini. “Biasanya kami impor dari Nepal atau Srilanka,” tambahnyi.

Dua negara Buddha itu memang jadi sumber utama donor mata dunia.

“Sekarang ini ada 20 orang yang antre di RS Mata Undaan Surabaya,” ujar dokter Dini.

Saat berbincang dengan dokter Dini teman saya ikut mendengarkan. Namanyi Rina. Asli Batu. Saya pernah menjadi atasannyi.

“Saya sudah lama ingin donor mata. Tapi tidak tahu mendaftar ke mana,” ujar Rina. “Sekarang saya mendaftar ke dokter Dini,” katanyi. “Saya dan seluruh keluarga. Bapak ibu saya juga,” tambah Rina.

Dia juga beragama Buddha.(dahlan iskan)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/