29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:16 AM WIB

Kembangkan Potensi Otak, Lupakan Kalkulator

Mari sejenak lupakan carut marut dunia pendidikan di Indonesia. Pasalnya, masih ada kabar gembira yang bikin kita tersenyum. Ya, rupanya, masih banyak anak Indonesia yang menggunakan otak mereka dengan semestinya.

 

KADEK SURYA KENCANA, Denpasar

SILAKAN ambil kalkulator atau ponsel pintar Anda untuk menjawab pertanyaan 917,28 + 6.340,59 + 596,83 + 2.138,64 + 903,47 + 3.751,28 + 276,81 + 5.143,06 + 802,79 +7.496,50.

Setidaknya butuh waktu lebih dari satu setengah menit untuk menyalin soal ini sebelum mendapat jawaban 28.367,25.

Kalah jauh dengan Nikolas Nathaniel Kosasih, 13, dan Andrea Benita Wiguna, 15. Kurang dari 50 detik, kedua pelajar itu sudah menulis jawaban di lembaran soal. Tanpa kalkulator.

Mereka menunjukkan kepada ribuan orang di aula lantai dua Hotel Harris Sunset Road, Kuta, Sabtu (8/7) lalu bahwa otak manusia tak kalah dengan komputer.

Tak hanya Nikolas dan Andrea Benita. Di ruangan yang sama  ada ratusan peserta International Olympic Abacus and Mental Arithmetic World Competition 2017 dengan kemampuan setara bahkan lebih.

Memasuki Sunset Garden Convention Centre (SGCC) Harris Sunset Road, Jawa Pos Radar Bali merasa bertemu dengan Josh Waitzkin dalam film Searching for Bobby FischerË— diadaptasi dari kisah nyataË— yang diputar perdana tahun 1993 silam.

Bedanya, Josh Waitzkin memindahkan bidak catur, sementara tangan mungil Neilson Gunawan, 6, asal Bali memindahkan biji-biji sempoa.

Ada persamaan mencolok yang melekat pada mereka, yakni sama-sama menggunakan otaknya dengan sangat brilian.

Selain kagum yang terbersit dalam benak adalah perasaan cemburu plus minder bercampur malu. Napas rasanya naik turun saat menatap mata lugu para peserta.

Beberapa kali rasa was-was menyerbu. Berpikir seandainya bocah-bocah mungil dan pelajar kebanggaan Indonesia plus sembilan negara tetangga mengajukan pertanyaan balik kepada wartawan. Syukur cobaan itu tak kunjung datang.

“Aku suka bulutangkis. Selain ikut ekstrakurikuler di sekolah juga sering berlatih sendiri,” ucap Nikolas Nathaniel Kosasih ditemui di sela-sela acara.

Disodori pertanyaan kok hebat berhitung, siswa kelas IX SMP Santa Laurensia, Jalan Sutera Utama No. 1, Alam Sutera, Serpong-Tangerang menjawab santai sembari tersenyum.

“Itu ada rumusnya. Awalnya belajar dari yang satuan. Lama-lama dikembangin ke yang makin susah dan angkanya tambah banyak,” tandasnya. Nikolas menyebut dirinya belajar sempoa sejak kelas TK B.

“Kalau ada pelajaran hitungan di sekolah jadi lebih enak. Nggak perlu pake jari atau kalkulator. Bisa langsung dapat jawaban,” bebernya saat ditanyai seputar keuntungan belajar sempoa.

Nikolas menyebut dirinya telah mengikuti kompetisi di beberapa provinsi di Indonesia, antara lain Yogyakarta, Medan, Bandung, dan Bali.

Hal serupa disampaikan Andrea Benita Wiguna yang baru lulus SMP dan melanjutkan pendidikan di SMA Tarakanita Gading Serpong, Jalam Raya Kelapa Cengkir Tengah No.1 Sektor 7 Gading Serpong.

Berkat sempoa dirinya mengaku tak minder beradu hitung cepat dengan anak-anak dari negara lain. “Aku sudah ikut kompetisi hingga Singapura,” pungkas remaja putri yang hanya butuh waktu 40 detik untuk menemukan jawaban 28.367,25 sesuai pertanyaan di atas.

Tak kalah hebat, Neilson Gunawan siswa preschool Regents School Bali tercatat meraih juara II lomba sempoa tingkat nasional level foundation 1 yang digelar Medan, Sumatera Utara.

 “Kategori peserta tingkat nasional ada 12 level. Kategori 4-5 tahun, 6-7 tahun, dan 8 tahun ke atas. Terus kalau internasional ada 7 kategori. Tingkat internasional ini dari peserta usia 4 tahun,” ucap koordinator Sempoa SIP Bali, Sherly.

Dijelaskannya brain gym merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Sempoa SIP dalam metode belajar sempoa.

Metode belajar yang fun dan brain gym yang diterapkan dalam pembelajaran di Sempoa SIP dapat membantu anak dalam melatih dan mengoptimalkan potensi otak anak.

Tidak hanya meningkatkan kecepatan dalam berhitung, tapi juga meningkatkan konsentrasi dan fokus pelajaran lainnya.

“Hal ini akan sangat membantu anak dalam proses adaptasi dunia pendidikan zaman sekarang yang lebih menekankan pada kualitas kecerdasan anak, prestasi, dan keterampilan disertai dengan kurikulum pendidikan yang lebih beragam,” tandas ibu kandung Neilson Gunawan.

Imbuhnya, pemenang dari lomba nasional akan mendapatkan training di Jepang selama 5 hari, tepatnya di Soroban Camp Japan 2017 Agustus mendatang.

“Di sana peserta akan diberikan pelatihan eksklusif mengenai sempoa,” pungkasnya. Ditambahkannya lomba sempoa diselenggarakan di Bali tak sekadar untuk mengasah kemampuan anak dalam berhitung cepat menggunakan metode sempoa, melainkan juga untuk mengembangkan dan membangun relasi anak-anak dengan pelajar dari negara lain.

Menariknya, Direktur Sempoa SIP Jakarta, Alexander K. Taslim mengaku 20 tahun silam dirinya berinisiatif mendirikan kursus sempoa ini kala menyadari betapa malangnya nasib para siswa di tanah air.

“Terus terang, ini dimulai 20 tahun lalu, waktu anak saya masih pre-school naik ke SD. Mata pelajaran yang harus dihadapi anak saya luar biasa sangat banyak. Anak SD mulai kelas III  ke atas sudah tidak bawa tas, melainkan koper. Saking banyaknya pelajaran yang ditempuh, 13 mata pelajaran. SMP mereka bawa tas, SMA bawa tas kecil, kuliah mereka tak bawa apa-apa. Itulah Indonesia,” ungkapnya.

Kala itulah Alex berusaha mencari formula agar anaknya tak stres di sekolah; termasuk agar perkembangan otak sang anak tumbuh normal.

 “Di luar negeri sebaliknya. Waktu kecil anak-anak tidak diberikan begitu banyak mata pelajaran. Di Singapura malah lima mata pelajaran. Yang penting-penting saja; yang bersifat mengembangkan otak. Di SMP dan SMA, waktu kuliah mereka sudah tidak bisa bawa apa-apa lagi karena mata pelajarannya begitu banyak dan mereka harus datang langsung ke perpustakaan. Ini konsep yang benar,” tandasnya sembari menyebut sempoa merupakan kepanjangan dari sistem edukasi mengoptimalkan potensi otak anak. “Ini adalah sistem pendidikan yang mengoptimalkan potensi otak anak,” tegasnya.  

Bagi Alex, semua anak terlahir dengan bakat dan otak yang sama. Bergantung bagaimana si anak dan orang tua mengoptimalkan fungsi otak tersebut.

“Yang paling penting bukan pintar atau bodoh. Semua anak itu sama. Saya tidak pernah takut sama anak-anak luar negeri. Mau dari Amerika, Jepang, semua sama. Anak kita tidak kalah. Kita telah membuktikan berulangkali. Di tingkat internasional anak Indonesia tidak kalah. Asal dilatih. Belajar sempoa itu tujuannya di situ,” paparnya sembari menyebut bila metode sempoa ini sering dilatih anak-anak bisa menghitung dengan sangat cepat tanpa alat bantu.

“Secara normal kita pikir tak bisa. Tapi kalau kita lihat langsung ternyata bisa kan?” selorohnya. Apakah anak-anak tidak stres?

Alex menjawab bisa diperhatikan langsung wajah anak-anak anak Sempoa SIP. “Muka mereka tak ada yang stres. Mereka sudah terlatih. Kalau anak yang tidak terlatih, menghadapi soal yang sulit mereka langsung gugup. Sebaliknya, anak-anak Sempoa SIP selalu percaya diri. Anak-anak ini santai dan pintar,” ucapnya.

Disodori pertanyaan terkait bakat anak-anak Pulau Dewata, Alex mengaku kagum. Diungkapkannya anak-anak Bali memiliki bakat seni yang luar biasa karena pengaruh lingkungan.

“Namun, penyakit kita umumnya adalah tidak berani bersaing dengan anak-anak luar Indonesia. Belum apa-apa sudah berpikir orang luar apalagi yang berhidung mancung lebih pintar. Nggak. Cara berpikir seperti itu yang tak boleh kita percaya. Ini bagian dari keinginan Sempoa SIP untuk melatih anak-anak agar berani bersaing,” paparnya.

Alex menyebut anak-anak jebolan Sempoa SIP kini ada yang bekerja di NASA dan Google. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak berusia 12 tahun ke atas tergolong kurang efektif belajar Sempoa; tak banyak berguna.

Yang sangat ideal jelasnya mulai usia 4 tahun hingga SD. “Anak usia 4 tahun yang belajar sempoa setelah enam bulan saya jamin guru yang ngajar dia kalah pintar sama si anak. Rata-rata dari pengalaman saya seperti itu. Hampir-hampir dari 1000 guru hanya satu dua orang saja yang pintar sempoa seperti anak-anak itu,” bebernya.

Alex tak menampik orang dewasa bisa belajar sempoa. Namun dia memastikan tak akan sepintar anak-anak itu karena terbentur faktor usia.

“Setelah usia 12 tahun yang berkembang bukan otak lagi, tapi otot. Jadi, kalau kita punya anak di bawah usia 12 tahun, terlepas kita punya uang, mampu atau tidak mampu investasi otak sangat penting. Lewat 12 tahun kemampuan otak sudah tak banyak lagi berkembang. Jangan sampai kita salah seperti itu. Sangat disayangkan. Kalau lewat, sudah tidak bisa maksimal lagi,” tegasnya.

Usia yang ideal jelasnya antara 4 tahun hingga 12 tahun. “6 sampai 8 tahun adalah masa-masa yang paling bagus,” tuturnya.

Lebih lanjut, Alex menyebut metode pelatihan sempoa juga menjadi alternatif bagi anak-anak yang mengalami masalah perkembangan otak.

“Sempoa juga menjadi solusi bagi anak-anak yang bermasalah dengan perkembangan otaknya. Dilatih pakai ini, ternyata hasilnya luar biasa. Di Tiongkok, sebelum saya mulai usaha ini 20 tahun yang lalu, di sana anak-anak autis sudah ditangani dengan sempoa Begitu kita lihat apa yang mereka lakukan kita akan berpikir yang idiot sebenarnya kita atau anak-anak yang dicap terbelakang tersebut,” cetusnya.  

 

 

Mari sejenak lupakan carut marut dunia pendidikan di Indonesia. Pasalnya, masih ada kabar gembira yang bikin kita tersenyum. Ya, rupanya, masih banyak anak Indonesia yang menggunakan otak mereka dengan semestinya.

 

KADEK SURYA KENCANA, Denpasar

SILAKAN ambil kalkulator atau ponsel pintar Anda untuk menjawab pertanyaan 917,28 + 6.340,59 + 596,83 + 2.138,64 + 903,47 + 3.751,28 + 276,81 + 5.143,06 + 802,79 +7.496,50.

Setidaknya butuh waktu lebih dari satu setengah menit untuk menyalin soal ini sebelum mendapat jawaban 28.367,25.

Kalah jauh dengan Nikolas Nathaniel Kosasih, 13, dan Andrea Benita Wiguna, 15. Kurang dari 50 detik, kedua pelajar itu sudah menulis jawaban di lembaran soal. Tanpa kalkulator.

Mereka menunjukkan kepada ribuan orang di aula lantai dua Hotel Harris Sunset Road, Kuta, Sabtu (8/7) lalu bahwa otak manusia tak kalah dengan komputer.

Tak hanya Nikolas dan Andrea Benita. Di ruangan yang sama  ada ratusan peserta International Olympic Abacus and Mental Arithmetic World Competition 2017 dengan kemampuan setara bahkan lebih.

Memasuki Sunset Garden Convention Centre (SGCC) Harris Sunset Road, Jawa Pos Radar Bali merasa bertemu dengan Josh Waitzkin dalam film Searching for Bobby FischerË— diadaptasi dari kisah nyataË— yang diputar perdana tahun 1993 silam.

Bedanya, Josh Waitzkin memindahkan bidak catur, sementara tangan mungil Neilson Gunawan, 6, asal Bali memindahkan biji-biji sempoa.

Ada persamaan mencolok yang melekat pada mereka, yakni sama-sama menggunakan otaknya dengan sangat brilian.

Selain kagum yang terbersit dalam benak adalah perasaan cemburu plus minder bercampur malu. Napas rasanya naik turun saat menatap mata lugu para peserta.

Beberapa kali rasa was-was menyerbu. Berpikir seandainya bocah-bocah mungil dan pelajar kebanggaan Indonesia plus sembilan negara tetangga mengajukan pertanyaan balik kepada wartawan. Syukur cobaan itu tak kunjung datang.

“Aku suka bulutangkis. Selain ikut ekstrakurikuler di sekolah juga sering berlatih sendiri,” ucap Nikolas Nathaniel Kosasih ditemui di sela-sela acara.

Disodori pertanyaan kok hebat berhitung, siswa kelas IX SMP Santa Laurensia, Jalan Sutera Utama No. 1, Alam Sutera, Serpong-Tangerang menjawab santai sembari tersenyum.

“Itu ada rumusnya. Awalnya belajar dari yang satuan. Lama-lama dikembangin ke yang makin susah dan angkanya tambah banyak,” tandasnya. Nikolas menyebut dirinya belajar sempoa sejak kelas TK B.

“Kalau ada pelajaran hitungan di sekolah jadi lebih enak. Nggak perlu pake jari atau kalkulator. Bisa langsung dapat jawaban,” bebernya saat ditanyai seputar keuntungan belajar sempoa.

Nikolas menyebut dirinya telah mengikuti kompetisi di beberapa provinsi di Indonesia, antara lain Yogyakarta, Medan, Bandung, dan Bali.

Hal serupa disampaikan Andrea Benita Wiguna yang baru lulus SMP dan melanjutkan pendidikan di SMA Tarakanita Gading Serpong, Jalam Raya Kelapa Cengkir Tengah No.1 Sektor 7 Gading Serpong.

Berkat sempoa dirinya mengaku tak minder beradu hitung cepat dengan anak-anak dari negara lain. “Aku sudah ikut kompetisi hingga Singapura,” pungkas remaja putri yang hanya butuh waktu 40 detik untuk menemukan jawaban 28.367,25 sesuai pertanyaan di atas.

Tak kalah hebat, Neilson Gunawan siswa preschool Regents School Bali tercatat meraih juara II lomba sempoa tingkat nasional level foundation 1 yang digelar Medan, Sumatera Utara.

 “Kategori peserta tingkat nasional ada 12 level. Kategori 4-5 tahun, 6-7 tahun, dan 8 tahun ke atas. Terus kalau internasional ada 7 kategori. Tingkat internasional ini dari peserta usia 4 tahun,” ucap koordinator Sempoa SIP Bali, Sherly.

Dijelaskannya brain gym merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Sempoa SIP dalam metode belajar sempoa.

Metode belajar yang fun dan brain gym yang diterapkan dalam pembelajaran di Sempoa SIP dapat membantu anak dalam melatih dan mengoptimalkan potensi otak anak.

Tidak hanya meningkatkan kecepatan dalam berhitung, tapi juga meningkatkan konsentrasi dan fokus pelajaran lainnya.

“Hal ini akan sangat membantu anak dalam proses adaptasi dunia pendidikan zaman sekarang yang lebih menekankan pada kualitas kecerdasan anak, prestasi, dan keterampilan disertai dengan kurikulum pendidikan yang lebih beragam,” tandas ibu kandung Neilson Gunawan.

Imbuhnya, pemenang dari lomba nasional akan mendapatkan training di Jepang selama 5 hari, tepatnya di Soroban Camp Japan 2017 Agustus mendatang.

“Di sana peserta akan diberikan pelatihan eksklusif mengenai sempoa,” pungkasnya. Ditambahkannya lomba sempoa diselenggarakan di Bali tak sekadar untuk mengasah kemampuan anak dalam berhitung cepat menggunakan metode sempoa, melainkan juga untuk mengembangkan dan membangun relasi anak-anak dengan pelajar dari negara lain.

Menariknya, Direktur Sempoa SIP Jakarta, Alexander K. Taslim mengaku 20 tahun silam dirinya berinisiatif mendirikan kursus sempoa ini kala menyadari betapa malangnya nasib para siswa di tanah air.

“Terus terang, ini dimulai 20 tahun lalu, waktu anak saya masih pre-school naik ke SD. Mata pelajaran yang harus dihadapi anak saya luar biasa sangat banyak. Anak SD mulai kelas III  ke atas sudah tidak bawa tas, melainkan koper. Saking banyaknya pelajaran yang ditempuh, 13 mata pelajaran. SMP mereka bawa tas, SMA bawa tas kecil, kuliah mereka tak bawa apa-apa. Itulah Indonesia,” ungkapnya.

Kala itulah Alex berusaha mencari formula agar anaknya tak stres di sekolah; termasuk agar perkembangan otak sang anak tumbuh normal.

 “Di luar negeri sebaliknya. Waktu kecil anak-anak tidak diberikan begitu banyak mata pelajaran. Di Singapura malah lima mata pelajaran. Yang penting-penting saja; yang bersifat mengembangkan otak. Di SMP dan SMA, waktu kuliah mereka sudah tidak bisa bawa apa-apa lagi karena mata pelajarannya begitu banyak dan mereka harus datang langsung ke perpustakaan. Ini konsep yang benar,” tandasnya sembari menyebut sempoa merupakan kepanjangan dari sistem edukasi mengoptimalkan potensi otak anak. “Ini adalah sistem pendidikan yang mengoptimalkan potensi otak anak,” tegasnya.  

Bagi Alex, semua anak terlahir dengan bakat dan otak yang sama. Bergantung bagaimana si anak dan orang tua mengoptimalkan fungsi otak tersebut.

“Yang paling penting bukan pintar atau bodoh. Semua anak itu sama. Saya tidak pernah takut sama anak-anak luar negeri. Mau dari Amerika, Jepang, semua sama. Anak kita tidak kalah. Kita telah membuktikan berulangkali. Di tingkat internasional anak Indonesia tidak kalah. Asal dilatih. Belajar sempoa itu tujuannya di situ,” paparnya sembari menyebut bila metode sempoa ini sering dilatih anak-anak bisa menghitung dengan sangat cepat tanpa alat bantu.

“Secara normal kita pikir tak bisa. Tapi kalau kita lihat langsung ternyata bisa kan?” selorohnya. Apakah anak-anak tidak stres?

Alex menjawab bisa diperhatikan langsung wajah anak-anak anak Sempoa SIP. “Muka mereka tak ada yang stres. Mereka sudah terlatih. Kalau anak yang tidak terlatih, menghadapi soal yang sulit mereka langsung gugup. Sebaliknya, anak-anak Sempoa SIP selalu percaya diri. Anak-anak ini santai dan pintar,” ucapnya.

Disodori pertanyaan terkait bakat anak-anak Pulau Dewata, Alex mengaku kagum. Diungkapkannya anak-anak Bali memiliki bakat seni yang luar biasa karena pengaruh lingkungan.

“Namun, penyakit kita umumnya adalah tidak berani bersaing dengan anak-anak luar Indonesia. Belum apa-apa sudah berpikir orang luar apalagi yang berhidung mancung lebih pintar. Nggak. Cara berpikir seperti itu yang tak boleh kita percaya. Ini bagian dari keinginan Sempoa SIP untuk melatih anak-anak agar berani bersaing,” paparnya.

Alex menyebut anak-anak jebolan Sempoa SIP kini ada yang bekerja di NASA dan Google. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak berusia 12 tahun ke atas tergolong kurang efektif belajar Sempoa; tak banyak berguna.

Yang sangat ideal jelasnya mulai usia 4 tahun hingga SD. “Anak usia 4 tahun yang belajar sempoa setelah enam bulan saya jamin guru yang ngajar dia kalah pintar sama si anak. Rata-rata dari pengalaman saya seperti itu. Hampir-hampir dari 1000 guru hanya satu dua orang saja yang pintar sempoa seperti anak-anak itu,” bebernya.

Alex tak menampik orang dewasa bisa belajar sempoa. Namun dia memastikan tak akan sepintar anak-anak itu karena terbentur faktor usia.

“Setelah usia 12 tahun yang berkembang bukan otak lagi, tapi otot. Jadi, kalau kita punya anak di bawah usia 12 tahun, terlepas kita punya uang, mampu atau tidak mampu investasi otak sangat penting. Lewat 12 tahun kemampuan otak sudah tak banyak lagi berkembang. Jangan sampai kita salah seperti itu. Sangat disayangkan. Kalau lewat, sudah tidak bisa maksimal lagi,” tegasnya.

Usia yang ideal jelasnya antara 4 tahun hingga 12 tahun. “6 sampai 8 tahun adalah masa-masa yang paling bagus,” tuturnya.

Lebih lanjut, Alex menyebut metode pelatihan sempoa juga menjadi alternatif bagi anak-anak yang mengalami masalah perkembangan otak.

“Sempoa juga menjadi solusi bagi anak-anak yang bermasalah dengan perkembangan otaknya. Dilatih pakai ini, ternyata hasilnya luar biasa. Di Tiongkok, sebelum saya mulai usaha ini 20 tahun yang lalu, di sana anak-anak autis sudah ditangani dengan sempoa Begitu kita lihat apa yang mereka lakukan kita akan berpikir yang idiot sebenarnya kita atau anak-anak yang dicap terbelakang tersebut,” cetusnya.  

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/