26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 5:21 AM WIB

Bangga Claudia, Nama Indonesia Menggema di Jerman

Wartawan Radar Cirebon saya minta ke Grage City Mall. Ke lantai 2. Di situ ada gerai cepat saji. Namanya sangat masa kini: Pota Friend. “Tutup pak,” ujar Ade Goestiana, wartawan tersebut.

Ke mana pemiliknya?  “Sejak putrinya masuk final, tidak jualan lagi,” ujar pemilik gerai di sebelahnya. Pemilik kios itu seorang ibu Tionghoa. Namanya Christin Gunawan. 

Putri pertama Christin, Claudia Emmanuela Santoso, tidak hanya masuk final. Remaja 19 tahun itu menjadi pahlawan Indonesia di mancanegara. Tepat di Hari Pahlawan 10 November 2019. Claudia berhasil jadi juara The  Voice of Germany 2019. 

Itu semacam ajang cari bakat di televisi di Berlin, ibu kota Jerman. Yang finalnya diikuti lima orang. Yang peserta awalnya mencapai hampir 2000 orang. Dari berbagai negara. 

Selama sebulan terakhir nama Indonesia banyak disebut di ajang itu. Sejak Claudia masuk babak panggung. Pun sampai babak final lima besar.  Semua itu berkat penampilan Claudia.

Terutama berkat suara emasnya. Yang juga istimewa: perolehan SMS Claudia mencapai 46 persen. Lihatlah juara keduanya: hanya 17 persen. Begitu jauh jaraknya. 

Padahal SMS itu hanya bisa dikirim dari tiga negara: Jerman, Swiss dan Austria. Yakni tiga negara yang berbahasa Jerman. Christin pun tidak pernah lagi terlihat di gerainya.

“Sudah sebulan ini Pota Friend tutup,” ujar sang tetangga. “Dulu pun Bu Christin tidak terlalu aktif. Jualan ini rasanya hanya untuk mengisi waktu,” tambahnya. 

Christin memang tergolong kaya. Rumahnya di daerah elit di bagian selatan Cirebon. Pota (to) Friend memang hanya salah satu gerai di food court di mall itu. Ia jualan kentang goreng.

Yang diberi saus. Yang harganya di ojek online hanya Rp 20 ribu. “Bu Christin tidak punya pegawai yang meneruskan usaha ini,” ujar sang tetangga. “Dia jualan sendiri. Kadang ditemani putri keduanya,” tambahnya. 

Christin memang hanya punya dua putri. Dua-duanya berbakat menyanyi. Tapi yang sulung jauh lebih menonjol. Mungkin juga karena sang adik kini masih kelas 3 SMP –di sekolah yang sama dengan Claudia: Sekolah Kristen Penabur Cirebon. 

Sejak umur 4 tahun Christin sudah mengursuskan Claudia musik. Guru lesnya semula ragu. Tapi sang guru segera tahu: Claudia punya bakat besar. Sejak SD sang ibu sudah memasukkan Claudia ke berbagai lomba.

Tingkat apa pun. Di umur 8 tahun Claudia sudah mencoba tampil di Akademi Fantasi Indosiar (AFI) Junior. Lalu banyak lagi juara berbagai lomba. Akhirnya Claudia bisa ikut lomba nyanyi tingkat kota Cirebon.

Saat itu Claudia kelas 2 SMA. Claudia juara. Diikutkan ke tingkat Provinsi Jabar. Juara lagi. Di tingkat provinsi itu Claudia menyanyikan lagunya Raisa, Pemeran Utama.

Di final dia  melantunkan dua lagu: ‘Matahariku’-nya Agnes Monica dan lagu Sunda berjudul Indung. Di tingkat nasional di Manado Claudia masuk enam besar. Sang ibu juga mendaftarkan putrinya ke program Mamamia di Indosiar.

Waktu itu Indosiar belum punya Dangdut Academy.  Di Mamamia itu Claudia tidak juara. Hanya masuk 20 besar. Tapi dia mendapat pelajaran berharga. Beda dengan lomba di sekolah, di Mamamia dewan juri memberikan kritik dan komentar.

Kadang sangat pedas. Misalnya kritik dari penyanyi dangdut Syaiful Jamil. Sangat keras. Bahkan terlalu keras. Tapi Claudia menganggapnya itu cambukan.  Claudia pun lulus SMA.

Dia ingin sekolah di Jerman. Pikiran ayahnya memang sangat ‘internasional’. Pekerjaan sang ayah –Indra Gunawan Santoso– keliling dunia. Ia menjadi pelaut kapal internasional.  

Apalagi Claudia punya famili juga di Jerman. Dengan demikian ‘impian Jerman’ memang sudah hidup sejak Claudia masih anak-anak. Impian itu pun jadi kenyataan. Dia berangkat ke sana.

Setelah setahun terakhir harus mondar-mandir Cirebon-Bandung: kursus bahasa Jerman di Gothe Institute.  Sampai di Jerman, sambil menunggu penerimaan mahasiswa baru, Claudia mendaftar ikut The Voice of Germany.

Dia tahu orang asing boleh ikut.  Juara dua tahun lalu, misalnya, adalah anak dari Georgia, Eropa Timur. Claudia juga tahu: yang ikut audisi hampir 2.000 orang. Dia terpilih masuk babak naik panggung. 

Di babak ini posisi dewan juri tidak menghadap ke penyanyi. Juri hanya mendengarkan suara. Juri baru melihat penyanyi bila suara peserta sangat memikat. Dengan cara memutar kursi. 

Waktu itu Claudia menyanyikan ‘Never Enough’-nya Loren Allred. Saya menonton videonya dua hari kemudian.   Saya lihat di video itu Claudia masih terasa sangat remaja.

Badannya kurus tapi cukup tinggi. Rambutnya yang lurus dibiarkan panjang. Mencapai pinggang belakangnya. Giginya diberi anyaman kawat –dibehel. Sosoknya sangat kuat sebagai remaja Asia.

Dia memang remaja Indonesia keturunan Tionghoa Cirebon. Untung dewan juri hanya “melihat” suara Claudia. Kalau saja melihat sosok Claudia –yang sangat Asia itu– jangan-jangan juri bersikap subyektif. 

Saat itu Claudia belum separo menyanyikan lagu ‘Never Enough’ tadi seorang juri sudah membalikkan kursi. Juri itu bernama Rea Garvey. Juri lain pun segera menyusul. 

Gempar.  Claudia mulai menarik perhatian publik berbahasa Jerman.  Tapi saat Claudia dinyatakan lolos ke babak berikutnya bukan Garvey yang dia pilih sebagai mentor.  

Semua peserta memang harus memilih sendiri siapa mentor masing-masing. Sang mentorlah yang akan membimbing peserta. Agar penampilan mereka terus meningkat. 

Claudia ternyata memilih satu-satunya juri wanita sebagai mentornyi. Dia adalah Alice Merton. Penyanyi Jerman yang juga warga negara Kanada. Umurnyi baru 26 tahun. Albumnya sudah banyak yang sukses. 

Di tangan Alice-lah Claudia merasa pas. “Sebenarnya saya sempat bingung. Pilih siapa ya,” ujar Claudia pada Yuda Sanjaya, redaktur Radar Cirebon. Yuda memang sering mewawancari Claudia lewat WA-nya. 

“Sebenarnya ada juri yang sudah saya kenal. Yakni Mark Foster. Tapi akhirnya saya pilih Alice,” tambah Claudia.  Akhirnya di The Voice of Germany ini tidak hanya peserta yang berlomba.

Tapi juga mentor mereka. Alice tampak begitu bahagia ketika anak asuhnyi menjadi juara. Saya ikut berlinang melihat videonyi.  Sebenarnya tidak hanya Claudia yang memilih Alice sebagai mentor.

Ternyata ada 16 peserta yang memilih Alice. Bahkan yang memilih Mark 24 orang. Sedang yang memilih Rea 19 peserta. Yang 15 orang lagi memilih Sido.  Pada dasarnya para mentor itulah penyeleksi sejati.

Tiap mentor harus memilih sendiri siapa juara dan runner up di bawah asuhan mereka. Sejak babak final itulah Christin tidak mau lagi jualan. Dia pergi ke Jerman. Memberikan dukungan langsung ke putri sulungnya. 

Lihat sendirilah video Claudia di Youtube. Saat tampil di final. Baik ketika dia menyanyi sendirian (I Have Nothing, Whitney Houston). Atau ketika menyanyikan Castle (bersama penyanyi Freya Ridings).

Juga ketika menyanyikan lagu ciptaan Alice, Goodbye, bersama sang mentor itu sendiri.  Betapa Claudia membanggakan kita. Bisa jadi Claudia akan lebih top dari penyanyi kita lainnya: Sandhy Sondoro. Yang 10 thn lalu juara di New Wave Festival di Latvia.(Dahlan Iskan)

Wartawan Radar Cirebon saya minta ke Grage City Mall. Ke lantai 2. Di situ ada gerai cepat saji. Namanya sangat masa kini: Pota Friend. “Tutup pak,” ujar Ade Goestiana, wartawan tersebut.

Ke mana pemiliknya?  “Sejak putrinya masuk final, tidak jualan lagi,” ujar pemilik gerai di sebelahnya. Pemilik kios itu seorang ibu Tionghoa. Namanya Christin Gunawan. 

Putri pertama Christin, Claudia Emmanuela Santoso, tidak hanya masuk final. Remaja 19 tahun itu menjadi pahlawan Indonesia di mancanegara. Tepat di Hari Pahlawan 10 November 2019. Claudia berhasil jadi juara The  Voice of Germany 2019. 

Itu semacam ajang cari bakat di televisi di Berlin, ibu kota Jerman. Yang finalnya diikuti lima orang. Yang peserta awalnya mencapai hampir 2000 orang. Dari berbagai negara. 

Selama sebulan terakhir nama Indonesia banyak disebut di ajang itu. Sejak Claudia masuk babak panggung. Pun sampai babak final lima besar.  Semua itu berkat penampilan Claudia.

Terutama berkat suara emasnya. Yang juga istimewa: perolehan SMS Claudia mencapai 46 persen. Lihatlah juara keduanya: hanya 17 persen. Begitu jauh jaraknya. 

Padahal SMS itu hanya bisa dikirim dari tiga negara: Jerman, Swiss dan Austria. Yakni tiga negara yang berbahasa Jerman. Christin pun tidak pernah lagi terlihat di gerainya.

“Sudah sebulan ini Pota Friend tutup,” ujar sang tetangga. “Dulu pun Bu Christin tidak terlalu aktif. Jualan ini rasanya hanya untuk mengisi waktu,” tambahnya. 

Christin memang tergolong kaya. Rumahnya di daerah elit di bagian selatan Cirebon. Pota (to) Friend memang hanya salah satu gerai di food court di mall itu. Ia jualan kentang goreng.

Yang diberi saus. Yang harganya di ojek online hanya Rp 20 ribu. “Bu Christin tidak punya pegawai yang meneruskan usaha ini,” ujar sang tetangga. “Dia jualan sendiri. Kadang ditemani putri keduanya,” tambahnya. 

Christin memang hanya punya dua putri. Dua-duanya berbakat menyanyi. Tapi yang sulung jauh lebih menonjol. Mungkin juga karena sang adik kini masih kelas 3 SMP –di sekolah yang sama dengan Claudia: Sekolah Kristen Penabur Cirebon. 

Sejak umur 4 tahun Christin sudah mengursuskan Claudia musik. Guru lesnya semula ragu. Tapi sang guru segera tahu: Claudia punya bakat besar. Sejak SD sang ibu sudah memasukkan Claudia ke berbagai lomba.

Tingkat apa pun. Di umur 8 tahun Claudia sudah mencoba tampil di Akademi Fantasi Indosiar (AFI) Junior. Lalu banyak lagi juara berbagai lomba. Akhirnya Claudia bisa ikut lomba nyanyi tingkat kota Cirebon.

Saat itu Claudia kelas 2 SMA. Claudia juara. Diikutkan ke tingkat Provinsi Jabar. Juara lagi. Di tingkat provinsi itu Claudia menyanyikan lagunya Raisa, Pemeran Utama.

Di final dia  melantunkan dua lagu: ‘Matahariku’-nya Agnes Monica dan lagu Sunda berjudul Indung. Di tingkat nasional di Manado Claudia masuk enam besar. Sang ibu juga mendaftarkan putrinya ke program Mamamia di Indosiar.

Waktu itu Indosiar belum punya Dangdut Academy.  Di Mamamia itu Claudia tidak juara. Hanya masuk 20 besar. Tapi dia mendapat pelajaran berharga. Beda dengan lomba di sekolah, di Mamamia dewan juri memberikan kritik dan komentar.

Kadang sangat pedas. Misalnya kritik dari penyanyi dangdut Syaiful Jamil. Sangat keras. Bahkan terlalu keras. Tapi Claudia menganggapnya itu cambukan.  Claudia pun lulus SMA.

Dia ingin sekolah di Jerman. Pikiran ayahnya memang sangat ‘internasional’. Pekerjaan sang ayah –Indra Gunawan Santoso– keliling dunia. Ia menjadi pelaut kapal internasional.  

Apalagi Claudia punya famili juga di Jerman. Dengan demikian ‘impian Jerman’ memang sudah hidup sejak Claudia masih anak-anak. Impian itu pun jadi kenyataan. Dia berangkat ke sana.

Setelah setahun terakhir harus mondar-mandir Cirebon-Bandung: kursus bahasa Jerman di Gothe Institute.  Sampai di Jerman, sambil menunggu penerimaan mahasiswa baru, Claudia mendaftar ikut The Voice of Germany.

Dia tahu orang asing boleh ikut.  Juara dua tahun lalu, misalnya, adalah anak dari Georgia, Eropa Timur. Claudia juga tahu: yang ikut audisi hampir 2.000 orang. Dia terpilih masuk babak naik panggung. 

Di babak ini posisi dewan juri tidak menghadap ke penyanyi. Juri hanya mendengarkan suara. Juri baru melihat penyanyi bila suara peserta sangat memikat. Dengan cara memutar kursi. 

Waktu itu Claudia menyanyikan ‘Never Enough’-nya Loren Allred. Saya menonton videonya dua hari kemudian.   Saya lihat di video itu Claudia masih terasa sangat remaja.

Badannya kurus tapi cukup tinggi. Rambutnya yang lurus dibiarkan panjang. Mencapai pinggang belakangnya. Giginya diberi anyaman kawat –dibehel. Sosoknya sangat kuat sebagai remaja Asia.

Dia memang remaja Indonesia keturunan Tionghoa Cirebon. Untung dewan juri hanya “melihat” suara Claudia. Kalau saja melihat sosok Claudia –yang sangat Asia itu– jangan-jangan juri bersikap subyektif. 

Saat itu Claudia belum separo menyanyikan lagu ‘Never Enough’ tadi seorang juri sudah membalikkan kursi. Juri itu bernama Rea Garvey. Juri lain pun segera menyusul. 

Gempar.  Claudia mulai menarik perhatian publik berbahasa Jerman.  Tapi saat Claudia dinyatakan lolos ke babak berikutnya bukan Garvey yang dia pilih sebagai mentor.  

Semua peserta memang harus memilih sendiri siapa mentor masing-masing. Sang mentorlah yang akan membimbing peserta. Agar penampilan mereka terus meningkat. 

Claudia ternyata memilih satu-satunya juri wanita sebagai mentornyi. Dia adalah Alice Merton. Penyanyi Jerman yang juga warga negara Kanada. Umurnyi baru 26 tahun. Albumnya sudah banyak yang sukses. 

Di tangan Alice-lah Claudia merasa pas. “Sebenarnya saya sempat bingung. Pilih siapa ya,” ujar Claudia pada Yuda Sanjaya, redaktur Radar Cirebon. Yuda memang sering mewawancari Claudia lewat WA-nya. 

“Sebenarnya ada juri yang sudah saya kenal. Yakni Mark Foster. Tapi akhirnya saya pilih Alice,” tambah Claudia.  Akhirnya di The Voice of Germany ini tidak hanya peserta yang berlomba.

Tapi juga mentor mereka. Alice tampak begitu bahagia ketika anak asuhnyi menjadi juara. Saya ikut berlinang melihat videonyi.  Sebenarnya tidak hanya Claudia yang memilih Alice sebagai mentor.

Ternyata ada 16 peserta yang memilih Alice. Bahkan yang memilih Mark 24 orang. Sedang yang memilih Rea 19 peserta. Yang 15 orang lagi memilih Sido.  Pada dasarnya para mentor itulah penyeleksi sejati.

Tiap mentor harus memilih sendiri siapa juara dan runner up di bawah asuhan mereka. Sejak babak final itulah Christin tidak mau lagi jualan. Dia pergi ke Jerman. Memberikan dukungan langsung ke putri sulungnya. 

Lihat sendirilah video Claudia di Youtube. Saat tampil di final. Baik ketika dia menyanyi sendirian (I Have Nothing, Whitney Houston). Atau ketika menyanyikan Castle (bersama penyanyi Freya Ridings).

Juga ketika menyanyikan lagu ciptaan Alice, Goodbye, bersama sang mentor itu sendiri.  Betapa Claudia membanggakan kita. Bisa jadi Claudia akan lebih top dari penyanyi kita lainnya: Sandhy Sondoro. Yang 10 thn lalu juara di New Wave Festival di Latvia.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/