Peristiwa Bom Bali 2002 dan 2005 tak pernah bisa dilupakan bagi masyarakat Bali. Terlebih bagi mereka para korban dan keluarganya.
Tak hanya kehilangan tulang punggung maupun anggota keluarga yang mereka sayangi. Namun, akibat peristiwa kelam yang sempat menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Bali, kehidupan mereka pun juga berubah.
Lalu bagaimana kondisi dan harapan mereka setelah peristiwa kelam 18 tahun silam itu?
======
MENGENAKAN celana panjang warna hitam atasan putih, Theolina F Marpaung begitu bersemangat saat mendatangi Rumah Aspirasi Anggota DPR RI Komisi III Fraksi PDI Perjuangan Dapil Bali I Wayan Sudirta SH di Jalan Diponegoro No.114 Denpasar.
Perempuan 43 tahun dan biasa disapa Lina itu tidak sendirian saat bertemu Sudirta di rumah Aspirasi, Jumat siang (13/3) .
Ia datang bersama lima orang perwakilan anggota dan pengurus Yayasan Isana Dewata lainnya.
Usai tiba, Lina yang juga merupakan team penyusun Buku Bom Bali, itu kemudian menyerahkan dua buku berjudul “Luka Bom Bali”.
Selanjutnya, usai menyampaikan buku berjudul “Luka Bom Bali, iapun mengutarakan maksud dan tujuannya di depan Wayan Sudirta.
Menurut Lina, dirinya bersama perwakilan keluarga Bom Bali ini, menemui langsung Wayan Sudirta untuk mesadu atau mengadu.
Mereka mengadu, karena selama ini, keluarga pelaku bom Bali justru mendapat keiistimewan dan perlakuan khusus.
Sebaliknya, keluarga dan korban bom Bali justru mengalami kondisi terpuruk dengan merasa diperlakukan tidak adil dan tidak diperhatikan oleh pemerintah.
“Kami di Isana Dewata ada 48 anggota aktif yang terdiri dari keluarga dan korban yang berbaur dari korban bom Bali tahun 2002 dan 2005. Kami datang karena ingin meminta bantuan Pak Wayan (Sudirta, red),” ujar Lina.
Lina yang juga merupakan korban bom Bali langsung itu bersama perwakilan lain mendesak agar pemerintah untuk tidak melupakan para korban terorisme di Bali yang sudah berlalu 18 tahun silam.
Menurutnya, meski sudah sangat lama, namun bekas (lukanya) masih sangat dirasakan.
“Pemerintah juga harus tahu sejauh mana kehidupan kami-kami (para korban langsung dan tak langsung) maupun janda-janda bom Bali sampai saat ini.
Seperti saya sendiri, mata saya dulu pecah dan selama 18 tahun saya harus terus melakukan pengobatan,”jelas Lina.
Demikian juga para korban dan keluarga korban lainnya. Kata Lina, kehidupan mereka sangat susah.
“Mereka hidup susah karena yang menjadi korban penanggungjawab keluarga mereka (tulang punggung) dan kehidupan ibu janda janda bom Bali saat ini sangat susah,” beber Lina dihadapan Wayan Sudirta dan Staf Ahli, Putu Wirata Dwikora dan Wayan Ariawan.
Untuk itu, akibat perlakuan tidak adil ini, masih kata Lina, para keluarga dan korban bom Bali pun mengaku, jika selama ini hanya bisa terus meminta perhatian pemerintah melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Tapi sayangnya, dengan kondisi keterbatasan anggaran bantuan LPSK, Lina mengaku ketar-ketir alias was-was..
“Memang selama ini, kami terus berupaya. Salah satunnya Kami juga pernah bersama LPSK datang ke pemerintah Kota Denpasar untuk meminta Pak Walikota memberikan bantuan. Puji Tuhan kepada semua korban bom Bali yang ber-KTP Kota Denpasar itu diberikan kartu BPJS,”terangnya.
Namun, kata Lina, bantuan kartu BPJS itu tidak bisa dimiliki anggota Isana yang tak ber-KTP Denpasar.
“Mereka tidak mendapatkan seperti pak Walikota kasih ke kami yang ber-KTP Denpasar. Jadi beda tempat beda aturan,”imbuhnya.
Sedangkan bagi para janda bom Bali sampai saat ini, kata Lina, kehidupan mereka mengalami kesusahan khususnya untuk kelangsungan pendidikan anak.
“Namun untuk mereka yang berdomisili di Badung, mereka dari SD-SMA diberikan kartu beasiswa,”katanya sembari menegaskan bahwa aspirasi yang disampaikan kepada Wayan Sudirta yang kebetulan berada di Bali,
karena Undang-Undang No.5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diundangkan saat ini sangat minim mengatur dan memperhatikan korban bom di masa lampau.
“Harapan kami, dengan berkesempatan bertemu Pak Wayan Sudirta, kami memohon kepada bapak memberi support untuk supaya Peraturan Pemerintah bisa disahkan dan kami sebagai korban terorisme masa lampau bisa sedikit mendapatkan restitusi (ganti rugi) dan kompensasi.
Selain itu, aspirasi kedua yang disampaikan, agar monumen Ground Zero Bom Bali juga diperhatikan kembali.
“Kami sempat menyampaikan hal itu. Kami juga meminta agar dibantu komunikasikan hal itu kepada pemerintah Provinsi Bali dan Pemkab Badung agar pemerintah Bali dan Badung lebih care,” beber Lina yang juga
mengungkapkan bahwa Ground Zero ini bagian dari sejarah yang tidak bisa dihapus, sehingga seharusnya ada informasi yang bisa mengedukasi kepada masyarakat kenapa monumen ini ada di sana.
Menurutnya, selain untuk edukasi, ia berharap dengan adanya monument bisa memberikan pelajaran bagi siapapun yang akan melakukan kejahatan seperti itu lagi tidak akan dilakukan.
“Sekali lagi kami berharap agar momumen bersejarah ini dilengkapi dengan informasi itu, sehingga setiap generasi bisa mengetahui tempat apa itu sebenarnya,” tandasnya.
Di sisi lain, mendengar aspirasi tersebut, Wayan Sudirta mengaku keluhan para keluarga dan korban bom Bali tiidak boleh diabaikan, karena persoalan ini menjadi masalah kemanusiaan.
Dikatakan selama ini, pemerintah memang harus memperhatikan kelompok dan keluarga pelaku bom Bali dan wajar dapat perhatian seperti itu dan tidak ada masalah mendapat keistimewaan seperti itu.
Namun keluarga dan korban bom Bali harusnya juga mendapat perhatian yang layak .
“Karena korban ini kan tiba-tiba dan tidak siap, dan berbeda dengan pelaku. Sehingga jika tidak mendapat perhatian akan merasa tidak adil.
Seharusnya korban ini menjadi pahlawan. Apalagi kejadiannya di Bali, sehingga akan mendapatkan sorotan secara terus menerus oleh semua pihak.
Termasuk tugu peringatan (monumen, red) ini sangat positif dan patut dihargai untuk mengingatkan kembali agar tidak ada pelaku lainnya,” tandas politisi asal Desa Pidpid, Karangasem itu.
Selain itu, atas aspirasi yang disampaikan para korban,pihaknya juga mengaku sedang mempelajari secara seksama Undang-Undang tersebut.
“Tentu akan kami pelajari terlebih dahulu. Celahnya darimana? Apakah bisa mendapat pemulihan baik kesehatan maupun perhatian kesejahteraannya. Karena sudah sekian tahun UU ini disahkan,” tegas Wayan Sudirta.
Sementara, terkait PP yang belum turun, Wayan Sudirta akan berupaya menyisir pelan-pelan serta menerjemahkan agar tidak bertentangan dengan Undang-Undangmaupun aspek kemanusiaan.
“Karena mereka deritanya macam-macam. Ada telinganya belum pulih, matanya kontrol terus, sarafnya belum beres. Jadi Sila kemanusiaan yang harus diwujudnyatakan.
Toh korban bom Bali tidak banyak dan hanya minta kesehatan, butuh pekerjaaan dan pendidikan anak-anaknya,” jelasnya, seraya mengaku saat kegiatan Reses nanti akan menjajaki daerah-daerah untuk bisa membantu meringankan penderitaan para keluarga dan korban bom Bali.