27.1 C
Jakarta
22 November 2024, 2:42 AM WIB

Pasang Tato untuk Bayar Kaul Cum Laude, Rilis Buku Perempuan Bertato

Tidak hanya laku-laki yang gemar bertato. Belakangan sejumlah artis wanita di Bali juga mulai terlihat dengan bergaya menggunakan tato.

Tak tanggung-tanggung mereka juga berani bertato di sejumlah tubuhnya. Seperti di punggung maupun di seluruh tangannya. 

Salah satunya, penyanyi Bali Putu Dewi Ariantini yang populer dipanggil Dewi Pradewi.  Perempuan asal Denpasar ini tampi bertato menjadi identitas baru di dalam dunia keartisan. Seperti apa?

 

 

MADE DWIJA PUTRA, Denpasar

BEBERAPA waktu lalu Jawa Pos Radar Bali mendapat kesempatan bertandang ke tempat kerja Dewi Pradewi yang berlokasi di Bali Tourism Board (BTB), Renon, Denpasar.

Ketika berjumpa nyaris seluruh tato disekujur tubuhnya tidak kelihatan. Sebab ia menggunakan pakaian yang rapi serta memakai baju lengan panjang.

Karena ia paham betul di mana dan kapan saatnya untuk memperlihatkan tato disekujur tubuhnya. Tato Dewi Pradewi tergolong banyak.

Di bagian punggung hampir semuanya dipenuhi tato. Begitu juga di kedua tangannya juga full tato. Kendati banyak tato bukan berarti ia tidak mempunyai kualitas maupun etika.

Karena ia mempunyai prinsip tunjukkan kualitas diri dulu dan mampu menjaga etika ketika badan bertato.

Dewi Pradewi mengatakan awal ia tertarik bertato itu sudah dari lima tahun lalu. Dia menato full di seluruh punggung dengan gambar burung phoenix dan naga.

Karena ia percaya di dalam tubuh ada jiwa laki-laki dan perempuan serta itu simbul keseimbangan.

“Saya pertama bertato di punggung. Ketertarikan saya full tato di punggung ketika melihat foto cewek seksi diinternet dengan gaya hair tato nyambung ke punggung, bagus sekali,” jelasnya mengawali perbincangan.

Tak mau hanya di punggung, ia kemudian menambah full tato di kedua tangannya. Ia memilih untuk bertato di kedua tangannya itu karena bayar kaul (janji).

Kalau ia lulus kuliah S2 Kajian Budaya, Unud, bisa lulus dengan nilai cume laude, ia akan bertato. Bahkan tesis yang diangkatnya juga tentang konstruksi stigma pada perempuan Bali bertato di Kota Denpasar.

Jadi penelitian kuliahnya juga mengenai tato pada perempuan. “Pokoknya kalau nilai saya cum laude saya mau menambah tato di tangan full yang langsung kelihatan, itu janji saya,” beber perempuan kelahiran Denpasar, 12 Januari 1987 ini.

Akhirnya dengan waktu kuliah S2  satu tahun sebelas bulan ia bisa menuntaskan kuliahnya dengan hasil akhir cum laude.

Karena sudah berjanji, dia langsung menepati janjinya itu. Konsep tato di kedua tangannya itu dengan dominan gaya Japanese. Penggarapan tatonya itu hampir memakan waktu empat bulan.

“Saya mendapat nilai cum laude dan karena sudah janji saya harus bertato,” terang pelantun tembang Muani Buaya ini.

Namun, di awal-awal dia tampil bertato memang kerap mengalami stigma negatif.  Sebab orang bertato, misalnya, perempuan bertato biasanya dicap perempuan “nakal”.

Begitu juga laki-laki bertato kerap dicap premanisme. Padahal sejatinya tato itu sebuah karya seni untuk mengekspresikan dirinya pada saat itu.

“Intinya saya bertato saya bertanggung jawab. Sebab sebelum bertato saya sudah memikirkan matang-matang.

Mulai menunjukkan prestasi dulu, kualitas diri, konsep tato dan juga etika diri,” beber perempuan yang memiliki segudang prestasi di dunia tarik suara ini.

Selain itu, etika ketika dia dapat job bernyanyi juga kerap ada pesanan dari sponsor misalnya tampil menggunakan baju panjang. 

Begitu juga ke kantor dan ke banjar juga menggunakan baju panjang untuk menutupi tato. “Saya sebagai orang Bali masih memegang teguh desa, kala, patra, di mana harus memperlihatkan tato saya.

Ketika sama komunitas saya ya saya berani liatin tato saya, karena mereka sudah terbiasa. Kalau ke pura ke banjar ya ditutup lah. Karena di sana mereka menghargai kita. Karena tidak semua orang bisa menerima, ”jelasnya.

Dia juga berkeinginan menerbitkan buku soal perempuan Bali bertato. Sehingga lewat karya sebuah buku diharapkan bisa menghapus stigma negatif orang bertato.

Sebab, orang bertato itu belum tentu seburuk yang dikira. Malah mereka memiliki etika dan juga paham dengan situasi serta kondisi ketika mereka berada di lingkungannya.

“Kalau mau bertato konsep dulu tatomu, tunjukkan nilai plus diri. Karena saat itu kamu bisa mempertanggung jawabkan kualitas diri.  

Tetap ingat kita ada di Bali, kita harus bisa melihat situasi dan kondisi, kapan memperlihatkan dan tidaknya tato ,” pungkasnya. (*)

Tidak hanya laku-laki yang gemar bertato. Belakangan sejumlah artis wanita di Bali juga mulai terlihat dengan bergaya menggunakan tato.

Tak tanggung-tanggung mereka juga berani bertato di sejumlah tubuhnya. Seperti di punggung maupun di seluruh tangannya. 

Salah satunya, penyanyi Bali Putu Dewi Ariantini yang populer dipanggil Dewi Pradewi.  Perempuan asal Denpasar ini tampi bertato menjadi identitas baru di dalam dunia keartisan. Seperti apa?

 

 

MADE DWIJA PUTRA, Denpasar

BEBERAPA waktu lalu Jawa Pos Radar Bali mendapat kesempatan bertandang ke tempat kerja Dewi Pradewi yang berlokasi di Bali Tourism Board (BTB), Renon, Denpasar.

Ketika berjumpa nyaris seluruh tato disekujur tubuhnya tidak kelihatan. Sebab ia menggunakan pakaian yang rapi serta memakai baju lengan panjang.

Karena ia paham betul di mana dan kapan saatnya untuk memperlihatkan tato disekujur tubuhnya. Tato Dewi Pradewi tergolong banyak.

Di bagian punggung hampir semuanya dipenuhi tato. Begitu juga di kedua tangannya juga full tato. Kendati banyak tato bukan berarti ia tidak mempunyai kualitas maupun etika.

Karena ia mempunyai prinsip tunjukkan kualitas diri dulu dan mampu menjaga etika ketika badan bertato.

Dewi Pradewi mengatakan awal ia tertarik bertato itu sudah dari lima tahun lalu. Dia menato full di seluruh punggung dengan gambar burung phoenix dan naga.

Karena ia percaya di dalam tubuh ada jiwa laki-laki dan perempuan serta itu simbul keseimbangan.

“Saya pertama bertato di punggung. Ketertarikan saya full tato di punggung ketika melihat foto cewek seksi diinternet dengan gaya hair tato nyambung ke punggung, bagus sekali,” jelasnya mengawali perbincangan.

Tak mau hanya di punggung, ia kemudian menambah full tato di kedua tangannya. Ia memilih untuk bertato di kedua tangannya itu karena bayar kaul (janji).

Kalau ia lulus kuliah S2 Kajian Budaya, Unud, bisa lulus dengan nilai cume laude, ia akan bertato. Bahkan tesis yang diangkatnya juga tentang konstruksi stigma pada perempuan Bali bertato di Kota Denpasar.

Jadi penelitian kuliahnya juga mengenai tato pada perempuan. “Pokoknya kalau nilai saya cum laude saya mau menambah tato di tangan full yang langsung kelihatan, itu janji saya,” beber perempuan kelahiran Denpasar, 12 Januari 1987 ini.

Akhirnya dengan waktu kuliah S2  satu tahun sebelas bulan ia bisa menuntaskan kuliahnya dengan hasil akhir cum laude.

Karena sudah berjanji, dia langsung menepati janjinya itu. Konsep tato di kedua tangannya itu dengan dominan gaya Japanese. Penggarapan tatonya itu hampir memakan waktu empat bulan.

“Saya mendapat nilai cum laude dan karena sudah janji saya harus bertato,” terang pelantun tembang Muani Buaya ini.

Namun, di awal-awal dia tampil bertato memang kerap mengalami stigma negatif.  Sebab orang bertato, misalnya, perempuan bertato biasanya dicap perempuan “nakal”.

Begitu juga laki-laki bertato kerap dicap premanisme. Padahal sejatinya tato itu sebuah karya seni untuk mengekspresikan dirinya pada saat itu.

“Intinya saya bertato saya bertanggung jawab. Sebab sebelum bertato saya sudah memikirkan matang-matang.

Mulai menunjukkan prestasi dulu, kualitas diri, konsep tato dan juga etika diri,” beber perempuan yang memiliki segudang prestasi di dunia tarik suara ini.

Selain itu, etika ketika dia dapat job bernyanyi juga kerap ada pesanan dari sponsor misalnya tampil menggunakan baju panjang. 

Begitu juga ke kantor dan ke banjar juga menggunakan baju panjang untuk menutupi tato. “Saya sebagai orang Bali masih memegang teguh desa, kala, patra, di mana harus memperlihatkan tato saya.

Ketika sama komunitas saya ya saya berani liatin tato saya, karena mereka sudah terbiasa. Kalau ke pura ke banjar ya ditutup lah. Karena di sana mereka menghargai kita. Karena tidak semua orang bisa menerima, ”jelasnya.

Dia juga berkeinginan menerbitkan buku soal perempuan Bali bertato. Sehingga lewat karya sebuah buku diharapkan bisa menghapus stigma negatif orang bertato.

Sebab, orang bertato itu belum tentu seburuk yang dikira. Malah mereka memiliki etika dan juga paham dengan situasi serta kondisi ketika mereka berada di lingkungannya.

“Kalau mau bertato konsep dulu tatomu, tunjukkan nilai plus diri. Karena saat itu kamu bisa mempertanggung jawabkan kualitas diri.  

Tetap ingat kita ada di Bali, kita harus bisa melihat situasi dan kondisi, kapan memperlihatkan dan tidaknya tato ,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/