29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:24 AM WIB

Jadi Penghuni Sejak Remaja, Enggan Pindah dengan Alasan Sudah Nyaman

Awal tahun 1970 silam, pasca terjadinya Gestok 1965, Pemprov Bali membangun salah satu panti khusus penyandang penyakit lepra atau kusta di Banjar Bonian, Desa Antap, Selemadeg. 

Namun, panti itu kini terbengkalai, dan tak terurus. Namun, masih menyisakan satu penghuni yang sudah uzur.

ZULFIKA RAHMAN, Tabanan

SEBAGIAN masyarakat Bali mungkin tak banyak yang tahu keberadaan panti lepra atau panti kusta yang terletak di wilayah Selemadeg. 

Berada di pinggir jalan dengan umum Denpasar Gilimanuk, tepatnya di Banjar Bonian, Desa Antap, panti yang dulunya menjadi pusat pengobatan kusta di tahun 1970 ini kondisinya sangat memprihatinkan. 

Dengan kondisi bangunan yang sudah rusak parah, dan dipenuhi tanaman merambat hanya sekadar menjadi cerita masa lalu saja. 

Di tengah kondisi bangunan panti yang terbengkalai itu masih ada satu sosok perempuan tua yang masih setia menjadi penghuninya hingga kini. 

Dialah Ni Wayan Kendri. Nenek ini menjadi satu-satunya penghuni panti yang tersisa sejak tahun 70-an.

Saat wartawan Jawa Pos Radar Bali bertandang ke panti itu, setidaknya tidak akan menyangka bahwa areal komplek panti masih dihuni seseorang. 

Saat pertama kali memasuki areal panti, akan muncul perasaan takut. Mengingat kondisi jejeran bangunan tua itu sudah lama tidak terurus. 

Bangunannya sudah dalam kondisi rusak, material kayu juga sudah lapuk, dan sebagian besar bangunan berbentuk bilik kamar itu dipenuhi tumbuha liar yang mejalar ke sebagian bangunan.

Namun, masih ada sisa dipan bambu yang dulunya digunakan sebagai tempat tidur penghuni panti. Akar pepohonan tampak menjuntai dan rindang. Karena berada di areal perkebunan. 

Bangunan ujung sebelah kiri yang dulunya difungsikan sebagai balai pertemuan itu terpajang dua bingkai foto-foto aktivitas panti di masa lalu. 

Namun, kondisi foto itu sudah memudar karena usia foto yang sudah cukup lama. Akan terlihat kalau diteliti secara dekat dan detail. 

Menandakan panti tersebut sudah tidak terurus. Cukup lama. Hanya ada satu dari sekian bangunan yang kondisinye lebih baik dari puluhan bangunan yang ada. 

Yakni terletak di bagian belakang, berjejer dengan bangunan lain. Di sanalah Ni Wayan Kendri tinggal seorang diri. 

Kondisi sepi tak membuatnya berpindah dari tempat tinggal yang ia tempati sejak usia 15 tahun hingga kini menginjak usia 80 tahun.

Kendri menjadi satu-satunya penghuni panti penderita penyakit lepra yang masih hidup dan memilih bertahan di tempat itu. 

Mengenakan pakaian motif bunga-bunga, di usia itu ia masih terlihat sehat, pendengarannya pun masih baik. 

Hanya saja kondisi fisiknya harus dibantu dengan tongkat saat akan melakukan aktivitas. Karena kaki bagian kanannya di amputasi akibat penyakit yang dideritanya sejak kecil.

“Silakan duduk. Pakai alas ini saja biar celananya tidak kotor,” selorohnya sembari memberikan alas berupa kardus.

Ditemani tiga anjing itu, ia merasa hari-harinya tidak sepi. Tiga anjing itu juga menjadi penanda orang yang datang. 

Di depan bilik kamar itu Kendri hanya berdiam, sambil menginang sirih. Siang itu ia baru saja selesai melakukan aktivitas memasaknya. 

Dalam bangunan kamar sederhana itu terdapat dua tempat tidur, lemari kayu yang sudah lapuk dan satu meja. 

Ada juga beberapa foto pernikahan anak-anaknya. Sementara satu kamar lagi ia fungsikan untuk menyimpan alat-alat persembahyangan. 

“Kalau ada orang anjing saya akan menggonggong. Tapi, tidak galak. Biasa itu, makanya waktu menggonggong itu saya langsung bangun dari tempat tidur dan menunggu di depan kamar,” kata Kendri.

Aktivitasnya hanya seputaran masak, mandi dan tidur dan sembahyang. Untuk memasak, ia menggunakan rice cooker hasil pemberian relawan yang datang berkunjung. 

Untuk berasanya sendiri, selain bantuan dari relawan, Kendri juga kadang mendapat bantuan beras dari pemerintah. 

Namun dulunya ia mendapat 20 kg dan saat ini jatah beras tiga bulananan itu berkurang menjadi 15 kg. 

Sementara untuk memasak lauk pauknya ia masih menggunakan cara tradisional, memasak menggunakan kayu bakar. 

“Saya sih tidak terlalu berharap mendapat beras dari pemerintah, kalau dapat ya syukur enggak juga tidak apa-apa. 

Sejauh ini banyak yang berkunjung ke sini, memberikan beras, minyak kadang uang juga, termasuk warga Bonian di sini. 

Uangnya kalau ada saya belikan lauk pauk, hampir setiap pagi dagang lauk puknya ke sini nawarin. Kalau punya uang saya beli, kalau gak ya seadanya sayur apa aja,” paparnya.

Kendri menjadi satu-satu anggota panti lepra yang masih hidup dan memilih tetap bertahan di tempat itu. 

Dia menceritakan awal mula kedatangannya ke panti lepra ini. Saat itu, tahun 1970-an, perempuan asal 

Kelurahan Lelateng, Jembrana ini datang dari Jembrana bersama delapan orang lainnya pengidap penyakit lepra. 

“Sebelumnya saya dan delapan teman saya itu menghuni panti di wilayah Delod Berawah, Jembrana. Akhirnya dipindah ke sini (Bonian). 

Beberapa orang pengidap lepra dari tempat lain di Bali juga dipindah ke sini. Waktu itu usianya masih 15 tahun,” kenangnya.

Saat tiba di panti lepra banjar Bonian ini, ia melihat sudah banyak penghuni yang panti yang lebih dulu menempati. 

Kegiatan sehari-hari yang dijalani para penghuni panti, mulai dari senam sehat, bercengkrama dengan penghuni lain dan kegiatan lainnya. 

Dalam satu minggu, tim dokter akan datang melakukan pengecekan, dan memberikan pengobatan. “Di suntik sama dokternya dan diberikan obat juga,” ujarnya.

Selama menjadi penghuni panti itu, banyak rekan-rekannya yang meninggal lebih dulu, baik karena usia ataupun kondisi kesehatan yang memburuk.

Bahkan, ada beberapa rekannya yang memilih bunuh diri akibat penyakit lepra yang mendera. 

“Setranya deket dengan panti ini. Teman-teman saya yang delapan orang itu meninggal semua tinggal saya sendiri,” katanya.

Panti ini menjadi tempat paling nyaman bagi Kendri, di panti ini juga ia bertemu dengan sang suami yang juga awalnya sebagai penghuni.

Dari hasil pernikahanya itu ia dikaruniai empat anak. “Semua anak saya sudah punya anak, dua tinggal di wilayah Tabanan, satu di Bangli dan satunya di Sading (Badung). 

Yang paling sering ke sini anak-anak saya yang ada di Tabanan. Melihat kondisi saya, tapi paling sering ada dari Banjar Bonian yang hampir 

setiap hari melihat saya, memberikan lauk pauk, atau buah. Nawarin apa keinginan saya,” terang Kendri. (*)

Awal tahun 1970 silam, pasca terjadinya Gestok 1965, Pemprov Bali membangun salah satu panti khusus penyandang penyakit lepra atau kusta di Banjar Bonian, Desa Antap, Selemadeg. 

Namun, panti itu kini terbengkalai, dan tak terurus. Namun, masih menyisakan satu penghuni yang sudah uzur.

ZULFIKA RAHMAN, Tabanan

SEBAGIAN masyarakat Bali mungkin tak banyak yang tahu keberadaan panti lepra atau panti kusta yang terletak di wilayah Selemadeg. 

Berada di pinggir jalan dengan umum Denpasar Gilimanuk, tepatnya di Banjar Bonian, Desa Antap, panti yang dulunya menjadi pusat pengobatan kusta di tahun 1970 ini kondisinya sangat memprihatinkan. 

Dengan kondisi bangunan yang sudah rusak parah, dan dipenuhi tanaman merambat hanya sekadar menjadi cerita masa lalu saja. 

Di tengah kondisi bangunan panti yang terbengkalai itu masih ada satu sosok perempuan tua yang masih setia menjadi penghuninya hingga kini. 

Dialah Ni Wayan Kendri. Nenek ini menjadi satu-satunya penghuni panti yang tersisa sejak tahun 70-an.

Saat wartawan Jawa Pos Radar Bali bertandang ke panti itu, setidaknya tidak akan menyangka bahwa areal komplek panti masih dihuni seseorang. 

Saat pertama kali memasuki areal panti, akan muncul perasaan takut. Mengingat kondisi jejeran bangunan tua itu sudah lama tidak terurus. 

Bangunannya sudah dalam kondisi rusak, material kayu juga sudah lapuk, dan sebagian besar bangunan berbentuk bilik kamar itu dipenuhi tumbuha liar yang mejalar ke sebagian bangunan.

Namun, masih ada sisa dipan bambu yang dulunya digunakan sebagai tempat tidur penghuni panti. Akar pepohonan tampak menjuntai dan rindang. Karena berada di areal perkebunan. 

Bangunan ujung sebelah kiri yang dulunya difungsikan sebagai balai pertemuan itu terpajang dua bingkai foto-foto aktivitas panti di masa lalu. 

Namun, kondisi foto itu sudah memudar karena usia foto yang sudah cukup lama. Akan terlihat kalau diteliti secara dekat dan detail. 

Menandakan panti tersebut sudah tidak terurus. Cukup lama. Hanya ada satu dari sekian bangunan yang kondisinye lebih baik dari puluhan bangunan yang ada. 

Yakni terletak di bagian belakang, berjejer dengan bangunan lain. Di sanalah Ni Wayan Kendri tinggal seorang diri. 

Kondisi sepi tak membuatnya berpindah dari tempat tinggal yang ia tempati sejak usia 15 tahun hingga kini menginjak usia 80 tahun.

Kendri menjadi satu-satunya penghuni panti penderita penyakit lepra yang masih hidup dan memilih bertahan di tempat itu. 

Mengenakan pakaian motif bunga-bunga, di usia itu ia masih terlihat sehat, pendengarannya pun masih baik. 

Hanya saja kondisi fisiknya harus dibantu dengan tongkat saat akan melakukan aktivitas. Karena kaki bagian kanannya di amputasi akibat penyakit yang dideritanya sejak kecil.

“Silakan duduk. Pakai alas ini saja biar celananya tidak kotor,” selorohnya sembari memberikan alas berupa kardus.

Ditemani tiga anjing itu, ia merasa hari-harinya tidak sepi. Tiga anjing itu juga menjadi penanda orang yang datang. 

Di depan bilik kamar itu Kendri hanya berdiam, sambil menginang sirih. Siang itu ia baru saja selesai melakukan aktivitas memasaknya. 

Dalam bangunan kamar sederhana itu terdapat dua tempat tidur, lemari kayu yang sudah lapuk dan satu meja. 

Ada juga beberapa foto pernikahan anak-anaknya. Sementara satu kamar lagi ia fungsikan untuk menyimpan alat-alat persembahyangan. 

“Kalau ada orang anjing saya akan menggonggong. Tapi, tidak galak. Biasa itu, makanya waktu menggonggong itu saya langsung bangun dari tempat tidur dan menunggu di depan kamar,” kata Kendri.

Aktivitasnya hanya seputaran masak, mandi dan tidur dan sembahyang. Untuk memasak, ia menggunakan rice cooker hasil pemberian relawan yang datang berkunjung. 

Untuk berasanya sendiri, selain bantuan dari relawan, Kendri juga kadang mendapat bantuan beras dari pemerintah. 

Namun dulunya ia mendapat 20 kg dan saat ini jatah beras tiga bulananan itu berkurang menjadi 15 kg. 

Sementara untuk memasak lauk pauknya ia masih menggunakan cara tradisional, memasak menggunakan kayu bakar. 

“Saya sih tidak terlalu berharap mendapat beras dari pemerintah, kalau dapat ya syukur enggak juga tidak apa-apa. 

Sejauh ini banyak yang berkunjung ke sini, memberikan beras, minyak kadang uang juga, termasuk warga Bonian di sini. 

Uangnya kalau ada saya belikan lauk pauk, hampir setiap pagi dagang lauk puknya ke sini nawarin. Kalau punya uang saya beli, kalau gak ya seadanya sayur apa aja,” paparnya.

Kendri menjadi satu-satu anggota panti lepra yang masih hidup dan memilih tetap bertahan di tempat itu. 

Dia menceritakan awal mula kedatangannya ke panti lepra ini. Saat itu, tahun 1970-an, perempuan asal 

Kelurahan Lelateng, Jembrana ini datang dari Jembrana bersama delapan orang lainnya pengidap penyakit lepra. 

“Sebelumnya saya dan delapan teman saya itu menghuni panti di wilayah Delod Berawah, Jembrana. Akhirnya dipindah ke sini (Bonian). 

Beberapa orang pengidap lepra dari tempat lain di Bali juga dipindah ke sini. Waktu itu usianya masih 15 tahun,” kenangnya.

Saat tiba di panti lepra banjar Bonian ini, ia melihat sudah banyak penghuni yang panti yang lebih dulu menempati. 

Kegiatan sehari-hari yang dijalani para penghuni panti, mulai dari senam sehat, bercengkrama dengan penghuni lain dan kegiatan lainnya. 

Dalam satu minggu, tim dokter akan datang melakukan pengecekan, dan memberikan pengobatan. “Di suntik sama dokternya dan diberikan obat juga,” ujarnya.

Selama menjadi penghuni panti itu, banyak rekan-rekannya yang meninggal lebih dulu, baik karena usia ataupun kondisi kesehatan yang memburuk.

Bahkan, ada beberapa rekannya yang memilih bunuh diri akibat penyakit lepra yang mendera. 

“Setranya deket dengan panti ini. Teman-teman saya yang delapan orang itu meninggal semua tinggal saya sendiri,” katanya.

Panti ini menjadi tempat paling nyaman bagi Kendri, di panti ini juga ia bertemu dengan sang suami yang juga awalnya sebagai penghuni.

Dari hasil pernikahanya itu ia dikaruniai empat anak. “Semua anak saya sudah punya anak, dua tinggal di wilayah Tabanan, satu di Bangli dan satunya di Sading (Badung). 

Yang paling sering ke sini anak-anak saya yang ada di Tabanan. Melihat kondisi saya, tapi paling sering ada dari Banjar Bonian yang hampir 

setiap hari melihat saya, memberikan lauk pauk, atau buah. Nawarin apa keinginan saya,” terang Kendri. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/