33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:19 PM WIB

Persaingan PSK Kian Ketat, Yang Punya Perantara Gampang Dapat Mangsa

Gampang-gampang susah untuk mengenali mereka yang jadi penjaja cinta di Kuta. Yang sudah punya jaringan perantara lebih mudah menggaet mangsa.

 

ANDRE SULLA, Kuta

PRIA asal Jakarta yang sudah hafal seluk beluk Kuta ini seperti begitu menguasai pergaulan para penjaja cinta yang warga asing ini. Si Arkie yang usai menghilang dengan perempuan Maroko, itu balik lagi menemui koran ini.

“Feel- nya dapat. Sama-sama aktif makanya serasa pacar sendiri,” ujarnya, blak-blakan. Arkie, sumber koran ini menangkap isyarat dari “kupu-kupu malam” luar negeri tersebut.

“Dari awal sebelumnya gue sempat digoda. Tapi, gayanya jual mahal. Dia ada lagi temannya. Akhirnya saya dekati. Jadi, udah,” tuturnya. Biasanya kalau sudah ada yang kenal, bisa mengenalkan temannya yang lain.

 Jadi, sebelum perbincangan lebih jauh memang ada basa-basi dulu. Setelah berbincang beberapa saat, mereka biasanya memberi peluang untuk bisa lebih dekat. Bisa akrab.

Tidak bisa serampangan yang berbusana seronok, kelihatan nge-fly adalah para penjaja cinta impor. Karena turis yang mabuk-mabukan dari tempat hiburan malam hingga dini hari di Kuta juga banyak.

Lazimnya, harus ada perbincangan terlebih dulu. Apalagi kalau ada perantara lebih mudah transaksinya. Tapi, ini harus lewat jaringan mereka.

Bisa juga jaringan dari warga lokal yang bekerja di tempat hiburan malam. Mereka biasanya juga sudah tahu seluk-beluk Bali. Sudah repeater. Bukan hanya sekali datang terus berpraktik prostitusi. 

“Dia sering ke Bali, sudah tiga kali ke Bali, tujuan berlibur sambil cari duit,” tutur Arkie. Menurutnya, terkait tarif biasanya tidak saklek atau kaku.

Tinggal bagaimana pendekatan dan kesepakatannya saja. Misalnya dari Rp 5 juta menjadi  Rp 1,5 juta. “Ya, anggap aja itu ongkos liburannya di Bali dengan membayar penginapannya,” imbuhnya.

Di Kuta, Legian,  mereka juga paham tarif penginapan. Tidak selalu yang mahal. Menurut Arkie, sebagian dari mereka menempati homestay. Lokasinya masuk gang.

Tapi, di situ fasilitas lumayan lengkap. Ada kolam renangnya juga. Kamarnya dilengkapi toilet, kamar mandi di dalam. Ada sofa memanjang menghadap ke televisi  32 inci.

Sofa warna putih itu membelakangi spring bed berukuran jumbo,  lemari pakaian, dan kulkas. Banderol penginapan per hari Rp 300 ribuan.

Soal “mangsa” ini mereka kadang sepi, kadang ramai. Tidak menentu. Biasanya kalau sudah merasa cukup bekal, mereka balik lagi ke negaranya. Sesuai batas visa kunjungan.

Perihal wisatawan asing yang mencari rezeki dari jasa syahwat ini, juga dirasa menjadi ancaman bagi warga lokal yang berprofesi serupa.

Seorang penjaja seks komersial yang biasa mencari pasangan cinta sesaat di tempat hiburan malam, di Kuta,  berinisial SNM, 40, asal Cimahi,

Jawa Barat,  mengaku tidak suka dengan sepak terjang  perempuan penghibur “impor” di kampung turis ini.

Kehadiran mereka, mau tidak mau berdampak pada “pasaran” mereka untuk menarik perhatian.“Kami terpaksa menurunkan tarif,” akunya berterus terang.

Di sisi lain, ini juga membawa risiko lainnya. Dengan persaingan yang ketat, mereka jadi terpaksa asal-asalan melayani “pemakai”.

Dengan perhitungan, daripada tidak mendapat “pemakai” sama sekali. Karena ketatnya persaingan. “Ini beda dengan tujuh atau delapan tahun lalu. Semua sudah berubah,” imbuhnya. (*)

 

 

 

Gampang-gampang susah untuk mengenali mereka yang jadi penjaja cinta di Kuta. Yang sudah punya jaringan perantara lebih mudah menggaet mangsa.

 

ANDRE SULLA, Kuta

PRIA asal Jakarta yang sudah hafal seluk beluk Kuta ini seperti begitu menguasai pergaulan para penjaja cinta yang warga asing ini. Si Arkie yang usai menghilang dengan perempuan Maroko, itu balik lagi menemui koran ini.

“Feel- nya dapat. Sama-sama aktif makanya serasa pacar sendiri,” ujarnya, blak-blakan. Arkie, sumber koran ini menangkap isyarat dari “kupu-kupu malam” luar negeri tersebut.

“Dari awal sebelumnya gue sempat digoda. Tapi, gayanya jual mahal. Dia ada lagi temannya. Akhirnya saya dekati. Jadi, udah,” tuturnya. Biasanya kalau sudah ada yang kenal, bisa mengenalkan temannya yang lain.

 Jadi, sebelum perbincangan lebih jauh memang ada basa-basi dulu. Setelah berbincang beberapa saat, mereka biasanya memberi peluang untuk bisa lebih dekat. Bisa akrab.

Tidak bisa serampangan yang berbusana seronok, kelihatan nge-fly adalah para penjaja cinta impor. Karena turis yang mabuk-mabukan dari tempat hiburan malam hingga dini hari di Kuta juga banyak.

Lazimnya, harus ada perbincangan terlebih dulu. Apalagi kalau ada perantara lebih mudah transaksinya. Tapi, ini harus lewat jaringan mereka.

Bisa juga jaringan dari warga lokal yang bekerja di tempat hiburan malam. Mereka biasanya juga sudah tahu seluk-beluk Bali. Sudah repeater. Bukan hanya sekali datang terus berpraktik prostitusi. 

“Dia sering ke Bali, sudah tiga kali ke Bali, tujuan berlibur sambil cari duit,” tutur Arkie. Menurutnya, terkait tarif biasanya tidak saklek atau kaku.

Tinggal bagaimana pendekatan dan kesepakatannya saja. Misalnya dari Rp 5 juta menjadi  Rp 1,5 juta. “Ya, anggap aja itu ongkos liburannya di Bali dengan membayar penginapannya,” imbuhnya.

Di Kuta, Legian,  mereka juga paham tarif penginapan. Tidak selalu yang mahal. Menurut Arkie, sebagian dari mereka menempati homestay. Lokasinya masuk gang.

Tapi, di situ fasilitas lumayan lengkap. Ada kolam renangnya juga. Kamarnya dilengkapi toilet, kamar mandi di dalam. Ada sofa memanjang menghadap ke televisi  32 inci.

Sofa warna putih itu membelakangi spring bed berukuran jumbo,  lemari pakaian, dan kulkas. Banderol penginapan per hari Rp 300 ribuan.

Soal “mangsa” ini mereka kadang sepi, kadang ramai. Tidak menentu. Biasanya kalau sudah merasa cukup bekal, mereka balik lagi ke negaranya. Sesuai batas visa kunjungan.

Perihal wisatawan asing yang mencari rezeki dari jasa syahwat ini, juga dirasa menjadi ancaman bagi warga lokal yang berprofesi serupa.

Seorang penjaja seks komersial yang biasa mencari pasangan cinta sesaat di tempat hiburan malam, di Kuta,  berinisial SNM, 40, asal Cimahi,

Jawa Barat,  mengaku tidak suka dengan sepak terjang  perempuan penghibur “impor” di kampung turis ini.

Kehadiran mereka, mau tidak mau berdampak pada “pasaran” mereka untuk menarik perhatian.“Kami terpaksa menurunkan tarif,” akunya berterus terang.

Di sisi lain, ini juga membawa risiko lainnya. Dengan persaingan yang ketat, mereka jadi terpaksa asal-asalan melayani “pemakai”.

Dengan perhitungan, daripada tidak mendapat “pemakai” sama sekali. Karena ketatnya persaingan. “Ini beda dengan tujuh atau delapan tahun lalu. Semua sudah berubah,” imbuhnya. (*)

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/