33.4 C
Jakarta
20 November 2024, 17:20 PM WIB

Tergoda Lanzhou Lamian Satu-satunya

Oleh Dahlan Iskan

 

 

Robert Lai mengabarkan kesuksesan operasi itu ke keluarga saya di Surabaya. Yang sedang menata barang untuk dibawa ke Singapura keesokan harinya. 

 

Malam itu juga saya dipindah ke ICU. Untuk dua malam. Ketika istri dan anak saya tiba, saya sudah di ICU. Sudah bisa bercanda. 

 

“Bawa tajin?” canda saya ke istri yang pekan sebelumnya bikin tajin tiap hari. 

 

“Alhamdulillah saya lolos lagi dari lubang kematian,” kata saya. 

 

Istri saya hanya nyengir. 

 

Keesokan harinya saya sudah boleh pindah ke kamar biasa. 

 

Perasaan saya nyaman. Indikasi di layar monitor juga baik. Lusanya, pagi-pagi satu persatu selang dilepas. 

 

Rasanya lega sekali. Terutama setelah selang yang dimasukkan lewat lubang kemaluan dicabut. Itulah selang untuk mengalirkan air kencing selama dioperasi. 

 

Sebelum selang di kemaluan dicabut saya ketakutan tanpa alasan. Padahal saya pernah merasakannya di Tianjin. 

 

Tidak sakit. 

 

Tapi kali ini saya ingat ayah. Almarhum. Bayangan saya tiba-tiba tertuju ke penderitaan ayah. 

 

Suatu saat, ayah saya dikateter seperti itu. Umurnya, saat itu, sudah hampir 80 tahun. 

 

Ayah, sebenarnya tidak mau dibawa ke rumah sakit. Apalagi opname. 

 

Ayah selalu mengatakan sudah siap dipanggil Yang Maha Kuasa. Kapan saja. 

 

Tapi saya masih melihat peluang sembuh. Saya masukkan RS. 

 

Pagi-pagi darah berceceran di tempat tidur. Juga di lantai. Ayah ternyata mencabut paksa kateter itu tengah malam. 

 

Pasti sakit sekali. 

 

Pasti menderita sekali. 

 

Ayah type orang yang tidak pernah mengeluh. Dia tahan semua jenis sakit seperti itu. 

 

Perawat pada marah. Menyalahkan ayah saya. 

 

Saya cegah mereka agar jangan marah lebih lanjut. Saya tahu ayah saya orang desa. Pelosok. 

 

Dengan pengetahuan kesehatan yang minim. Beliau sangat taat beragama. Sangat menjaga diri dari najis. Saya kira, dengan kateter di kemaluannya itu, ayah merasa dirinya kotor. Tidak suci. Tidak bisa berwudlu. Dan seterusnya. 

 

Saya memahaminya.

 

Saat kali ini suster menarik selang dari kemaluan saya, bayangan ayah yang lagi menarik paksa kateternya itu memenuhi pikiran saya. Aduh, ayah, alangkah sakitnya saat itu.

 

Setelah keluar ICU, Isna, anak saya, mengambil alih beberapa tugas Robert. Yang sudah tiga hari kurang istirahat. Istri saya tinggal di hotel yang satu gedung dengan rumah sakit. 

 

Hari kelima, saya sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Saya pun gabung istri di hotel. Bisa tidur nyenyak. Tidak ada perawat yang tiap dua jam mengetuk pintu. 

 

Keesokan harinya Isna bertanya: pengin makan apa. Sudah sekian lama saya hanya makan makanan rumah sakit. Atau makan makanan yang dikirim Meiling, teman baik saya lainnya di Singapura. 

 

Meiling adalah teman lama sejak saya sakit di Tianjin. Dia kawin dengan orang Singapura. Menjadi warga negara Singapura. Kini dia sudah punya dua anak. 

 

Suaminya, Daniel, seorang pengusaha besar. Sehari dua kali Daniel mengirim rantang masakan ke rumah sakit.

 

“Saya ingin makan mie,” jawab saya pada Isna. 

 

“Tolong cari di internet di mana ada restoran Lanzhou Lamian. Sudah lama saya jatuh cinta pada Lanzhou Lamian.”

 

Lanzhou adalah nama kota di wilayah barat Tiongkok. Yang mayoritas penduduknya muslim. Lamian berarti “mie tarik”. Mie tarik Lanzhou.

 

Isna tahu itu. Isna juga sangat suka Lanzhou Lamian. 

 

Dengan rasa daging sapinya yang khas. Setiap ke Tiongkok Isna tahu di mana ada Lanzhou Lamian di kota yang dituju. 

 

Saya sendiri walau sedang di AS  sering mencari Lanzhou Lamian. Biasanya di China Town. Yang paling enak di Chicago!

 

Tentu saya sudah beberapa kali ke Lanzhou. Sudah tahu rasa Lanzhou Lamian yang paling asli.

 

“Hanya ada satu restoran Lanzhou Lamian di Singapura,” kata Isna sambil melihat layar HP. 

 

“Adanya di China Town. Kita ke sana. Naik mobilnya Robert Lai. Nisssan baru. Yang bisa diisi 6 orang.”

 

Sepanjang perjalanan kepala saya ternyata terasa berat. Tengkuk saya tegang. Saya coba tahan. Saya diam saja sepanjang perjalanan. 

 

Suaca lagi jelek. Hujan rintik-rintik. Sudah lebih seminggu tidak ada matahari di Singapura. Hujan dan hujan. Sepanjang hari. Sampai ada banjir segala.

 

Dengan google map kami pun menemukan satu-satunya restoran Lanzhou Lamian. 

Saya ingin juga minum teh China yang panas. Pas dengan kondisi badan saya yang lagi berat. 

 

Kekecewaan pun datang. “Tidak ada teh yang Anda maksud” jawab pelayannya. Aneh. Hanya ada satu jenis teh China di sini. 

 

Ya, sudah. Nurut saja. 

 

Lalu saya pesan Lanzhou Lamian yang daging sapi. Itulah khasnya. Rasa dagingnya beda. Sapi sekali. 

 

Sebetulnya itu bukan daging sapi, tapi daging semacam bison. Warna binatangnya seperti sapi tapi agak hitam. Bulu di bagian leher dan kepalanya lebat dan panjang. Tampak lebih menakutkan dari sapi biasa. 

 

Di padang pasir sekitar Lanzhou banyak sekali sapi bison seperti itu. 

 

“Tidak ada daging sapi di sini. Hanya ada ayam atau babi,” kata pelayan. 

 

Hah? Tidak ada daging sapi? Bukankah Lanzhou Lamian tanpa daging sapi bukan lagi Lanzhou Lamian?

 

Sudah terlanjur duduk. Sudah kecewa dua kali. Tidak ada wulong tea dan tidak ada daging sapi. 

 

“Ini restoran palsu,” kata saya dalam hati. 

 

Cita-cita sudah terlanjur tinggi. Bayangan makan Lanzhou Lamian terlanjur menitikkan air liur. 

 

Kepala saya yang berat terasa kian berat. Saya hanya diam terpaku di situ. Sambil menyandarkan kepala ke dinding.

 

Orang satu meja mengira saya gondok karena kecewa. Yang benar: saya marah! Tapi yang lebih benar, saya lagi tidak sehat. Kondisi saya memburuk. 

 

Begitu teh disajikan, ampuuuun, ini bukan Chinese tea. Tidak panas pula. Saya tambah menyandar ke dinding. 

 

Begitu mie disajikan, ampun-ampun deh. Dari warnanya saja ini sudah palsu! Apalagi rasanya.

 

Posisi badan saya kian melorot. Tidak mau bicara. Tengkuk kian berat. “Saya bukan marah, tapi sakit,” kata saya pada Robert. 

 

Robert berdiri meninggalkan meja. Saya tahu dia pasti cari obat. Mudah-mudahan minyak kayu putih atau minyak cap macam. Sahidin, sopir saya di Surabaya yang ikut ke Singapura, memijiti tengkuk saya. 

Robert ternyata balik membawa koyok. Dia tempel berlapis di tengkuk dan punggung. Terasa hangat. 

Kami pun pulang ke hotel. Dengan penuh kekecewaan dan penderitaan. 

 Sepanjang perjalanan Isna melakukan kontak dengan dokter Benjamin. Menurut Isna, saya disarankan langsung masuk UGD di Farrer Park Hospital. 

 

Dokter ahli syaraf akan menyusul ke UGD. Namanya: Dr Mohammed Tauqeer Ahmad. Kelahiran New Delhi, pendidikannya di Inggris dan kini warga negara Singapura. 

 Benjamin punya logika sendiri mengapa ia mengirim ahli syaraf. Mungkin darah saya kekurangan cairan. Akibat operasi. Juga karena kurang minum. 

 Mungkin juga karena tidak ada infus sejak keluar dari ICU.

Kami pun langsung ke UGD. Dibaringkan di tempat tidur UGD. Sakit saya hilang. Tapi begitu saya coba untuk duduk, sakitnya terasa lagi. 

Sambil menunggu kedatangan dokter Ahmad saya terus berbaring.

Setelah melakukan pemeriksaan dokter Ahmad menyarankan agar  saya opname lagi di rumah sakit. Yang baru saya tinggalkan tadi malam. Dia akan menginfus saya sampai tiga hari. Sekaligus menuntaskan demam saya yang suka timbul tenggelam. Sesekali temperatur saya masih mendekati 38.

 Saya nurut. Masuk RS Farrer Park lagi. Di kamar yang sama. 

Ngamar lagi. Beberapa perawat m nyambut saya dengan bergurau: welcome home!

Oleh Dahlan Iskan

 

 

Robert Lai mengabarkan kesuksesan operasi itu ke keluarga saya di Surabaya. Yang sedang menata barang untuk dibawa ke Singapura keesokan harinya. 

 

Malam itu juga saya dipindah ke ICU. Untuk dua malam. Ketika istri dan anak saya tiba, saya sudah di ICU. Sudah bisa bercanda. 

 

“Bawa tajin?” canda saya ke istri yang pekan sebelumnya bikin tajin tiap hari. 

 

“Alhamdulillah saya lolos lagi dari lubang kematian,” kata saya. 

 

Istri saya hanya nyengir. 

 

Keesokan harinya saya sudah boleh pindah ke kamar biasa. 

 

Perasaan saya nyaman. Indikasi di layar monitor juga baik. Lusanya, pagi-pagi satu persatu selang dilepas. 

 

Rasanya lega sekali. Terutama setelah selang yang dimasukkan lewat lubang kemaluan dicabut. Itulah selang untuk mengalirkan air kencing selama dioperasi. 

 

Sebelum selang di kemaluan dicabut saya ketakutan tanpa alasan. Padahal saya pernah merasakannya di Tianjin. 

 

Tidak sakit. 

 

Tapi kali ini saya ingat ayah. Almarhum. Bayangan saya tiba-tiba tertuju ke penderitaan ayah. 

 

Suatu saat, ayah saya dikateter seperti itu. Umurnya, saat itu, sudah hampir 80 tahun. 

 

Ayah, sebenarnya tidak mau dibawa ke rumah sakit. Apalagi opname. 

 

Ayah selalu mengatakan sudah siap dipanggil Yang Maha Kuasa. Kapan saja. 

 

Tapi saya masih melihat peluang sembuh. Saya masukkan RS. 

 

Pagi-pagi darah berceceran di tempat tidur. Juga di lantai. Ayah ternyata mencabut paksa kateter itu tengah malam. 

 

Pasti sakit sekali. 

 

Pasti menderita sekali. 

 

Ayah type orang yang tidak pernah mengeluh. Dia tahan semua jenis sakit seperti itu. 

 

Perawat pada marah. Menyalahkan ayah saya. 

 

Saya cegah mereka agar jangan marah lebih lanjut. Saya tahu ayah saya orang desa. Pelosok. 

 

Dengan pengetahuan kesehatan yang minim. Beliau sangat taat beragama. Sangat menjaga diri dari najis. Saya kira, dengan kateter di kemaluannya itu, ayah merasa dirinya kotor. Tidak suci. Tidak bisa berwudlu. Dan seterusnya. 

 

Saya memahaminya.

 

Saat kali ini suster menarik selang dari kemaluan saya, bayangan ayah yang lagi menarik paksa kateternya itu memenuhi pikiran saya. Aduh, ayah, alangkah sakitnya saat itu.

 

Setelah keluar ICU, Isna, anak saya, mengambil alih beberapa tugas Robert. Yang sudah tiga hari kurang istirahat. Istri saya tinggal di hotel yang satu gedung dengan rumah sakit. 

 

Hari kelima, saya sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Saya pun gabung istri di hotel. Bisa tidur nyenyak. Tidak ada perawat yang tiap dua jam mengetuk pintu. 

 

Keesokan harinya Isna bertanya: pengin makan apa. Sudah sekian lama saya hanya makan makanan rumah sakit. Atau makan makanan yang dikirim Meiling, teman baik saya lainnya di Singapura. 

 

Meiling adalah teman lama sejak saya sakit di Tianjin. Dia kawin dengan orang Singapura. Menjadi warga negara Singapura. Kini dia sudah punya dua anak. 

 

Suaminya, Daniel, seorang pengusaha besar. Sehari dua kali Daniel mengirim rantang masakan ke rumah sakit.

 

“Saya ingin makan mie,” jawab saya pada Isna. 

 

“Tolong cari di internet di mana ada restoran Lanzhou Lamian. Sudah lama saya jatuh cinta pada Lanzhou Lamian.”

 

Lanzhou adalah nama kota di wilayah barat Tiongkok. Yang mayoritas penduduknya muslim. Lamian berarti “mie tarik”. Mie tarik Lanzhou.

 

Isna tahu itu. Isna juga sangat suka Lanzhou Lamian. 

 

Dengan rasa daging sapinya yang khas. Setiap ke Tiongkok Isna tahu di mana ada Lanzhou Lamian di kota yang dituju. 

 

Saya sendiri walau sedang di AS  sering mencari Lanzhou Lamian. Biasanya di China Town. Yang paling enak di Chicago!

 

Tentu saya sudah beberapa kali ke Lanzhou. Sudah tahu rasa Lanzhou Lamian yang paling asli.

 

“Hanya ada satu restoran Lanzhou Lamian di Singapura,” kata Isna sambil melihat layar HP. 

 

“Adanya di China Town. Kita ke sana. Naik mobilnya Robert Lai. Nisssan baru. Yang bisa diisi 6 orang.”

 

Sepanjang perjalanan kepala saya ternyata terasa berat. Tengkuk saya tegang. Saya coba tahan. Saya diam saja sepanjang perjalanan. 

 

Suaca lagi jelek. Hujan rintik-rintik. Sudah lebih seminggu tidak ada matahari di Singapura. Hujan dan hujan. Sepanjang hari. Sampai ada banjir segala.

 

Dengan google map kami pun menemukan satu-satunya restoran Lanzhou Lamian. 

Saya ingin juga minum teh China yang panas. Pas dengan kondisi badan saya yang lagi berat. 

 

Kekecewaan pun datang. “Tidak ada teh yang Anda maksud” jawab pelayannya. Aneh. Hanya ada satu jenis teh China di sini. 

 

Ya, sudah. Nurut saja. 

 

Lalu saya pesan Lanzhou Lamian yang daging sapi. Itulah khasnya. Rasa dagingnya beda. Sapi sekali. 

 

Sebetulnya itu bukan daging sapi, tapi daging semacam bison. Warna binatangnya seperti sapi tapi agak hitam. Bulu di bagian leher dan kepalanya lebat dan panjang. Tampak lebih menakutkan dari sapi biasa. 

 

Di padang pasir sekitar Lanzhou banyak sekali sapi bison seperti itu. 

 

“Tidak ada daging sapi di sini. Hanya ada ayam atau babi,” kata pelayan. 

 

Hah? Tidak ada daging sapi? Bukankah Lanzhou Lamian tanpa daging sapi bukan lagi Lanzhou Lamian?

 

Sudah terlanjur duduk. Sudah kecewa dua kali. Tidak ada wulong tea dan tidak ada daging sapi. 

 

“Ini restoran palsu,” kata saya dalam hati. 

 

Cita-cita sudah terlanjur tinggi. Bayangan makan Lanzhou Lamian terlanjur menitikkan air liur. 

 

Kepala saya yang berat terasa kian berat. Saya hanya diam terpaku di situ. Sambil menyandarkan kepala ke dinding.

 

Orang satu meja mengira saya gondok karena kecewa. Yang benar: saya marah! Tapi yang lebih benar, saya lagi tidak sehat. Kondisi saya memburuk. 

 

Begitu teh disajikan, ampuuuun, ini bukan Chinese tea. Tidak panas pula. Saya tambah menyandar ke dinding. 

 

Begitu mie disajikan, ampun-ampun deh. Dari warnanya saja ini sudah palsu! Apalagi rasanya.

 

Posisi badan saya kian melorot. Tidak mau bicara. Tengkuk kian berat. “Saya bukan marah, tapi sakit,” kata saya pada Robert. 

 

Robert berdiri meninggalkan meja. Saya tahu dia pasti cari obat. Mudah-mudahan minyak kayu putih atau minyak cap macam. Sahidin, sopir saya di Surabaya yang ikut ke Singapura, memijiti tengkuk saya. 

Robert ternyata balik membawa koyok. Dia tempel berlapis di tengkuk dan punggung. Terasa hangat. 

Kami pun pulang ke hotel. Dengan penuh kekecewaan dan penderitaan. 

 Sepanjang perjalanan Isna melakukan kontak dengan dokter Benjamin. Menurut Isna, saya disarankan langsung masuk UGD di Farrer Park Hospital. 

 

Dokter ahli syaraf akan menyusul ke UGD. Namanya: Dr Mohammed Tauqeer Ahmad. Kelahiran New Delhi, pendidikannya di Inggris dan kini warga negara Singapura. 

 Benjamin punya logika sendiri mengapa ia mengirim ahli syaraf. Mungkin darah saya kekurangan cairan. Akibat operasi. Juga karena kurang minum. 

 Mungkin juga karena tidak ada infus sejak keluar dari ICU.

Kami pun langsung ke UGD. Dibaringkan di tempat tidur UGD. Sakit saya hilang. Tapi begitu saya coba untuk duduk, sakitnya terasa lagi. 

Sambil menunggu kedatangan dokter Ahmad saya terus berbaring.

Setelah melakukan pemeriksaan dokter Ahmad menyarankan agar  saya opname lagi di rumah sakit. Yang baru saya tinggalkan tadi malam. Dia akan menginfus saya sampai tiga hari. Sekaligus menuntaskan demam saya yang suka timbul tenggelam. Sesekali temperatur saya masih mendekati 38.

 Saya nurut. Masuk RS Farrer Park lagi. Di kamar yang sama. 

Ngamar lagi. Beberapa perawat m nyambut saya dengan bergurau: welcome home!

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/