28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:53 AM WIB

Riset Khusus ke Pegayaman, Jaga Nilai Toleransi Lewat Lukisan

Didasari oleh kepribadiannya yang menjunjung tinggi toleransi, wanita bernama lengkap Kharisma Pratiwi Natsir ini mendatangi Desa Pegayaman, Buleleng.

Di sana, dara cantik yang akrab disapa Kharisma ini melakukan riset. Apa hasilnya?

 

 

MARSELL PAMPUR, Denpasar

TOLERENSI menjadi perekat hidup berbangsa dan bernegara. Dan, Bali adalah etalase toleransi nomor wahid di Indonesia.

Di Bali, beragam suku, bahasa, dan agama berkumpul menjadi satu. Hidup harmonis. Fakta itulah yang mengundang decak kagum Kharisma Pratiwi Natsir.

Dia bahkan rela ke Bali melakukan riset khusus kehidupan toleransi masyarakat Desa Pegayaman, Buleleng, yang terbangun sejak bertahun-tahun lamanya.

Karena latar belakangnya adalah seorang seniman, wanita asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat, ini menuangkan hasil risetnya dalam lukisan.

Lukisan yang dihasilkan oleh alumni ISI Denpasar tahun 2017 lalu ini bergaya ekspresionis.

“Saya melakukan riset karena dilatarbelakangi oleh masalah yang terjadi di Jakarta tahun lalu. Di mana toleransi beragama hampir retak karena pilkada,” kata Kharisma saat ditemui di pameran tunggalnya di Colony, Plaza Renon, Denpasar, Minggu kemarin (15/4).

Dalam proses risetnya tersebut, dia melihat sesuatu yang beda terjadi di Pegayaman. Masyarakatnya yang mayoritas Muslim mampu berbaur dan hidup bertoleransi dengan masyarakat lain yang memiliki agama berbeda.

Hal ini terlihat berbanding terbalik yang terjadi di Jakarta tahun lalu. Riset yang dilakukannya ini juga sekaligus tugas akhir yang menjadi syarat mutlak untuk bisa lulus dari ISI Denpasar dengan judul Pegayaman. 

“Saya melihat di sana (Pegayaman) adem-adem saja. Bahkan meskipun masyarakatnya muslim, mereka masih mempunyai nama Bali di dalam nama panjang mereka,” tambah wanita kelahiran 11 Januari 1995 ini.

Riset ini dilakukannya dengan beberapa teknik. Dia mendatangi mendatangi Desa Pegayaman lalu mewawancarai masyarakat hingga generasi yang paling tua di daerah tersebut.

Dari penelitiannya itu wanita yang kini berusia 23 tahun ini menuangkannya dalam enam judul lukisan.

Dari enam judul tersebut, anak pertama dari dua bersaudara ini memamerkan empat judul di Colony Plaza Renon.

Pameran yang dibuka Minggu (15/4) kemarin ini akan berlangaung hingga 28 April 2018 mendatang. Empat lukisan yang dipamerkannga masing-masing berjudul Pegayaman 6:

The Origin of Name berukiran 50×50 cm, Flowers Respecting berukuran160x120 cm, Praying for Rice Fields berukuran 120×150 cm dan yang terakhir berjudul Patra punggel Rythm berukuran 150×120 cm.

Menurutnya, lewat lukisan, dia juga ingin mengambil bagian dalam menjaga toleransi.yamg ada di Indonesia.

“Saya ingin menjaga toleransi di negeri ini dengan cara saya ini,” tandas wanita yang sudah menyukai seni gambar sejak kecil ini.

Didasari oleh kepribadiannya yang menjunjung tinggi toleransi, wanita bernama lengkap Kharisma Pratiwi Natsir ini mendatangi Desa Pegayaman, Buleleng.

Di sana, dara cantik yang akrab disapa Kharisma ini melakukan riset. Apa hasilnya?

 

 

MARSELL PAMPUR, Denpasar

TOLERENSI menjadi perekat hidup berbangsa dan bernegara. Dan, Bali adalah etalase toleransi nomor wahid di Indonesia.

Di Bali, beragam suku, bahasa, dan agama berkumpul menjadi satu. Hidup harmonis. Fakta itulah yang mengundang decak kagum Kharisma Pratiwi Natsir.

Dia bahkan rela ke Bali melakukan riset khusus kehidupan toleransi masyarakat Desa Pegayaman, Buleleng, yang terbangun sejak bertahun-tahun lamanya.

Karena latar belakangnya adalah seorang seniman, wanita asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat, ini menuangkan hasil risetnya dalam lukisan.

Lukisan yang dihasilkan oleh alumni ISI Denpasar tahun 2017 lalu ini bergaya ekspresionis.

“Saya melakukan riset karena dilatarbelakangi oleh masalah yang terjadi di Jakarta tahun lalu. Di mana toleransi beragama hampir retak karena pilkada,” kata Kharisma saat ditemui di pameran tunggalnya di Colony, Plaza Renon, Denpasar, Minggu kemarin (15/4).

Dalam proses risetnya tersebut, dia melihat sesuatu yang beda terjadi di Pegayaman. Masyarakatnya yang mayoritas Muslim mampu berbaur dan hidup bertoleransi dengan masyarakat lain yang memiliki agama berbeda.

Hal ini terlihat berbanding terbalik yang terjadi di Jakarta tahun lalu. Riset yang dilakukannya ini juga sekaligus tugas akhir yang menjadi syarat mutlak untuk bisa lulus dari ISI Denpasar dengan judul Pegayaman. 

“Saya melihat di sana (Pegayaman) adem-adem saja. Bahkan meskipun masyarakatnya muslim, mereka masih mempunyai nama Bali di dalam nama panjang mereka,” tambah wanita kelahiran 11 Januari 1995 ini.

Riset ini dilakukannya dengan beberapa teknik. Dia mendatangi mendatangi Desa Pegayaman lalu mewawancarai masyarakat hingga generasi yang paling tua di daerah tersebut.

Dari penelitiannya itu wanita yang kini berusia 23 tahun ini menuangkannya dalam enam judul lukisan.

Dari enam judul tersebut, anak pertama dari dua bersaudara ini memamerkan empat judul di Colony Plaza Renon.

Pameran yang dibuka Minggu (15/4) kemarin ini akan berlangaung hingga 28 April 2018 mendatang. Empat lukisan yang dipamerkannga masing-masing berjudul Pegayaman 6:

The Origin of Name berukiran 50×50 cm, Flowers Respecting berukuran160x120 cm, Praying for Rice Fields berukuran 120×150 cm dan yang terakhir berjudul Patra punggel Rythm berukuran 150×120 cm.

Menurutnya, lewat lukisan, dia juga ingin mengambil bagian dalam menjaga toleransi.yamg ada di Indonesia.

“Saya ingin menjaga toleransi di negeri ini dengan cara saya ini,” tandas wanita yang sudah menyukai seni gambar sejak kecil ini.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/