Tumbuh kembang dunia surfing atau berselancar di Bali dibangun tak mudah. Di balik itu semua, ada kisah perjuangan yang dilakukan oleh sejumlah kalangan. Seperti apa?
I WAYAN WIDYANTARA, Denpasar
DEBURAN ombak di pantai Kuta memantik kenangan Ketut Nugra pada tahun 1969 lalu. Nugra adalah salah satu peselancar di Bali.
Di kalangan peselancar namanya memang tak asing, bahkan namanya sudah masuk dalam sebutan sebagai legenda surfing di Bali.
Dalam sebuah acara Kartini Go Surf yang digelar di Pantai Kuta pada 16 April 2021, Nugra bercerita tentang kenangan bagaimana Bali mulai mengenal Surfing.
“Tahun 1969, kami baru belajar main surfing. Saat itu kami masih meminjam papan dari para wisatawan,” ujarnya.
Dalam penelusuran sejarah yang dilakukan radarbali.id, surfing di Bali sejatinya sudah masuk pada tahun 1930-an.
Kala itu, banyak wisatawan yang datang ke Bali membawa papan surfing. Tetapi, mereka tidak berselancar, melainkan memang hanya untuk traveling.
Kembali ke tahun 1969, Nugra terus belajar terkait soal surfing bersama sejumlah rekannya. Tepat pada tahun 1975 barulah Nugra bersama rekan-rekannya membangun Bali Surfing Club (BSC) yang saat itu Ia pimpin organisasi pertama terkait surfing di Bali.
Gebrakan pertama BSC adalah dengan membuat kontes surfing secara lokal. Keluarlah nama Wayan Sudirka yang menjadi juara pertama dalam kontes tersebut di Bali.
Kini, Sudirka dalam kesehariannya tinggal di Jepang, namun karena pandemi Covid-19 ia balik ke Bali dan belum kembali ke Jepang lagi.
Nah, tahun demi tahun, perjuangan anak pantai ini kemudian membuahkan hasil. Perlahan mereka mulai merangkul para wisatawan dunia yang menggemari surfing. Salah satunya ada Mr. Steve Palmer.
“Steve pada tahun 1979 mensponsori kontes surfing internasional pertama di Bali yang diadakan di Uluwatu,” ujar Nugra yang saat ini sudah berumur 69 tahun ini.
Hampir seluruh juara dunia surfing datang dalam ajang ini. Dunia pariwisata di Bali pun menggeliat dan menjadi perhatian pemerintah saat itu. Bagi Nugra, ini adalah sisi lain dari surfing sebagai sebuah olahraga saja.
“Surfing tidak hanya dari sudut pandang olah raga, tetapi juga menjadi pendukung pariwisata yang kami lakukan,” ujarnya.
Dari sana, hampir setiap tahunnya dibuat kontes surfing di Bali. Tak hanya di wilayah Bali Selatan, kontes juga menyasar pesisir Bali lainnya. Seperti di Bali timur, tepatnya di Kramas dan masih banyak yang lainnya.
Ia pun meyakini, bila surfing hidup, maka pariwisata Bali akan cepat tumbuh pasca dihantam pandemi Covid 19.
“Bali memiliki potensi yang sangat baik dari sisi alam, surfing dan budayanya. Bila dapat dikolaborasikan, Bali akan bangkit. Terlebih Bali dikenal sebagai masyarakat yang toleran. Ini (toleran) juga dilakukan anak surfing, di mana ketika kami larut di pantai, tak ada lagi yang namanya pembatas. Di sini surfing sebagai alat pemersatu,” pungkasnya.
Sayangnya, pemerintah, terkhusus di Bali tidak terlalu melirik dunia surfing. Padahal, bila melihat sejarahnya, tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan pariwisata di Bali tak lepas dari peran para peselancar yang memperkenalkan Bali hingga ke penjuru dunia sejak dulu kala.