ASET kebudayaan Bali ternyata masih tersimpan rapi di gudang Museum Der Kulturen Basel, Swiss.
Bahkan, dari barang-barang yang dominan bertemakan kehidupan sosial itu, sudah tak ada lagi di Bali.
I WAYAN WIDYANTARA, Denpasar
Sabtu sore (15/9), di Danes Art Veranda, Jalan Hayam Huruk, No. 159 Denpasar digelar diskusi yang bertajuk Penyebaran Aset Budaya Indonesia.
Acara tersebut merupakan rangkaian pameran Finding Ida Bagus Grebuak, salah satu seniman dari Gianyar.
Diskusi santai dengan bentuk kursi huruf U tersebut, salah satunya menghadirkan Founder Danes Art Veranda, Popo Danes sebagai pembicara.
Ia berbagi pengalaman tentang penyebaran aset budaya Indonesia yang ditemui di antara koleksi institusi-institusi kebudayaan Indonesia.
Popo Danes memang dikenal sebagai “bebotoh” kebudayaan.
Uang saku pria berambut putih tersebut pun dikatakannya habis untuk membeli barang-barang kebudayaan.
Di Danes Art Veranda, tentu banyak ia memiliki koleksi-koleksi barang-barang berharga, yang tentunya memiliki sejarah tersendiri.
Nah, dalam kesempatan tersebut, Jawa Pos Radar Bali pun mendengarkan salah satu kisahnya untuk melihat aset-aset kebudayaan di Bali yang berada di luar negeri.
Singkat cerita, ia memperoleh informasi kalau koleksi aset Bali dapat ditemukan di sebuah museum bernama Der Kulturen Basel, Swiss.
Mendengar informasi tersebut, ia pun mengirim surat ke temannya yang cukup mengetahui museum tersebut.
Isi surat Popo kurang lebih begini. Saya tidak mengenal siapa pimpinan di museum Der Kulturen Basel yang sekarang. Tapi tolong sampaikan dia, kapan pun pintu gudang itu dibuka, saya siap terbang.
Setelah 6 bulan kemudian, surat tersebut pun di balas oleh temannya. Isinya, pintu gudang museum Der Kulturen dibuka untuk Popo Danes setelah bulan Maret.
Kabar ini tentu membuatnya senang. Ia pun mengajak teman yang seorang fotografer untuk berangkat ke Swiss.
Seperti janjinya, bulan Mei, ia pun akhirnya terbang.
Dalam bayangan Popo, ia akan melihat banyak aset kebudayaan Bali yang spektakuler.
Setibanya di museum Der Kulturen yang sangat luas dan memiliki 5 lantai tersebut, Popo diajak ke gudang museum.
“Barang-barang itu memang ditaruh digudang. Bukan dipajang di museum,” terangnya.
Ia pun menelusuri gudang tersebut.
Katanya, penuh dengan barang-barang kebudayaan Bali yang sangat tertata rapi.
Dari lukisan hingga barang-barang perlengkapan upacara.
“Lengkap sekali. Barang-barang seperti ini, tidak pernah saya temukan lagi di Bali,” ujarnya dengan nada heran kemarin.
Ia pun diperbolehkan untuk mengambil foto, namun tentu ada perjanjian khusus.
Yakni, Popo tidak diperbolehkan untuk menyebar luaskan melalui sosial media. Dia hanya diperbolehkan untuk memperlihatkan dalam bentuk slide untuk memperlihatkan ke publik.
Popo pun menampilkan aset-aset kebudayaan Bali dalam bentuk foto di slide kemarin.
Dalam slide tersebut, ia memperlihatkan sejumlah lukisan, seperti lukisan bergambar kalarau dan sebagainya.
Ada juga barang-barang perlengkapan upacara yang ditaruh di dalam laci.
“Saya menemukan barang yang lebih dari apa yang saya temukan di Bali. Sangat lengkap.
Benda itu ada di laci museum selama berpuluh-puluh tahun.
Di Bali pun jarang melihat hal ini. Untuk melihat barang-barang begini, saya harus terbang ke Swiss,” terangnya.
Diperlihatkan, banyak barang upacara berupa ulat-ulatan berbagai bentuk bahkan sampai ke badai untuk upacara pengaben juga ada.
Ada juga pegangan keris yang memiliki ukiran beragam dan lengkap.
Selain keris, juga ada pisau bali, cedok, hingga bumbung jangkrik dengan berbagai bentuk.
“Saat memegang pun harus pakai sarung tangan. Begitu detail mereka menjaga barang-barang yang diambil dari kita ini,” terangnya.
Popo juga melihat sejumlah arca, pratima, topeng bali lengkap dan sejumlah patung yang dia melihat ada perbedaan dengan patung sekarang.
“Saya melihat, patung-patung Bali yang dibuat oleh seniman dahulu, dibuat dengan hati.
Kalau sekarang, mohon maaf.
Gaya patung hanya sebagai oleh-oleh saja,” kritiknya.
“Intinya, saya banyak melihat barang-barang yang berkaitan dengan kehidupan orang Bali, dan mereka punya yang otentik,” tambahnya.
Baginya, orang luar setidaknya memberikan penghargaan yang jauh lebih baik terhadap seniman-seniman kita dibanding dengan kita yang sekarang.
“Banyak yang menaruh perhatian ke aset budaya kita, tapi kita justru kurang memberikan perhatian,” herannya.
Melihat fenomena ini, Popo mengaku memang banyak faktor.
Seperti faktor ekonomi dan faktor kurang pahamnya tentang aset budaya.
Bahkan, banyak yang menjual aset budaya karena alasan ekonomi.
“Kekayaan budaya terkuras habis. Dulu ada yang pernah nanya, bisa nggak barang-barang itu dibawa ke Bali? ya, pertanyaan baliknya, kita mampu nggak merawatnya sebaik mereka? Jujur saja, perawatan kita di Bali jelek. Peran pemerintah pun sangat kurang,” tutupnya.
Ia pun berharap, dari acara ini, banyak orang yang akan bercerita tentang barang-barang atau aset kebudayaan yang ada di rumahnya masing-masing yang masih tersimpan.
Dalam pemikirannya, suatu saat nanti, barang-barang tersebut dikumpulkan dengan perjanjian yang jelas dan ditaruh di sebuah gedung di Bali yang layak untuk merawatnya