Mbah Datuk Singorojo dikenal tidak hanya sebagai ulama besar atau wali. Tapi juga tokoh yang peduli tentang ekonomi kerakyatan, memberdayakan potensi warga dan alamnya di Troso, Pecangaan dan Mayong Lor.
HARI PUSPITA, Jepara
GEMERETAK mesin tenun dari perajin yang lembur terdengar begitu ritmik. Dari rumah ke rumah saat kaki melangkah di Desa Troso selalu terdengar bunyi itu. Baik siang maupun malam.
Saat Jawa Pos Radar Bali bertandang di kampung tenun itu, siang dan malam aktivitas tenun itu berlangsung dari pagi ke pagi.
Dari satu rumah, ke rumah lainnya. Seperti tidak ada jeda antara siang dan malam. Ada saja kesibukan memproduksi kain tenun itu. Dari sekadar memberi warna, mengikat benang, hingga menenun.
Desa Troso di Pecangaan sendiri termasuk desa dengan penduduk yang padat. Saat ini jumlah warganya ada 22 ribu orang warga.
Dalam pemilihan presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 lalu di Kabupaten Jepara, Desa Troso merupakan desa dengan jumlah pemilih yang terbesar, bersama Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo.
Dari jumlah penduduknya sekitar 22 ribu itu, separo lebih adalah perajin kain tenun. “Data terkini sekitar 14 ribu warga Troso saat ini adalah perajin kain tenun,” terang Kustain, pengurus Asosiasi Tenun dan Tekstil Konveksi Jepara (Asttika).
Bisa dikatakan bahwa Desa Troso adalah “Desa Tenun”. Karena aktivitas tenun itu berlangsung 24 jam. Tidak pernah berhenti. Dari hari ke hari waktu mereka juga habis untuk menenun itu.
Belakangan ini kerajinan tenun ini bahkan sudah merambah kecamatan lain. Tidak hanya di Pecangaan saja.
Tapi, juga diikuti oleh warga dari kecamatan sekitarnya. Seperti Kecamatan Mayong, Kecamatan Bugel, Kecamatan Mlonggo.
Maklum, kebutuhan kain dari tahun ke tahun juga meningkat. Bahan-bahannya juga bervariasi. Tidak hanya sutra dan katun saja.
Tapi, juga ada yang berbahan benang polister (semacam benang nilon). Sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemampuan ekonomi pemesannya. Yang paling mahal tentu bahan sutra.
“Usaha tenun ini diyakini semakin berkembang berkat arahan dan doa dari Mbah Datuk Singorojo,” terang Haji Sunarto, pengurus masjid Datuk Ampel, Troso, Pecangaan, Jepara.
Pria usia 60 tahun yang dikenal sebagai tokoh masyarakat setempat ini berkeyakinan bahwa Mbak Datuk adalah sosok ulama atau wali yang peduli kepada ajaran agama saja.
“Beliau itu semacam tokoh yang juga peduli dengan usaha, yang sekarang dikenal dengan sebutan ekonomi kerakyatan. Kira-kira begitu,” jelasnya.
Sebagai pemimpin yang kharismatis, disegani, maka apa yang diajarkan pun diikuti. Sehingga usaha kecil rumahan yang dikembangkan di Pecangaan dan Mayong itu pun berkembang.
Dari yang dia tahu tentang almarhum Datuk Singorojo yang telah wafat ratusan tahun silam, adalah sosol ulama, wali yang peka terhadap potensi ekonomi warganya.
Datuk Singorojo juga diyakini sebagai orang yang menggerakkan tradisi sebagai perajin gerabah bagi warga Mayong Lor, Kecamatan Mayong, yang berlangsung sampai saat ini.
“Termasuk kerajinan gerabah di Mayong Lor itu juga ada cerita bahwa Mbah Datuk Singorojo dulu yang mengembangkannya.
Itu karena potensi alamnya (tanahnya) juga mendukung,” terang Sunarto, tentang peran mendiang di wilayah Mayong Lor.
Makanya, dituturkan Sunarto, bahwa tidak aneh apabila kain tenun bikinan Troso yang di Jepara atau di Jawa Tengah dikatakan sebagai kain Troso itu di Bali disebut endek.
“Karena ada akar yang sama, bahwa dulu-dulunya motif itu memang dikenalkan dari orang yang berasal dari Bali dan punya tradisi tenun. Ini sudah sejak ratusan tahun lalu,” terangnya.
Jepara yang ratusan tahun silam dikenal sebagai wilayah kadipaten yang banyak aktivitas maritim ditengarai banyak perdagangan industri kerajinan. Selain ukir-ukiran, juga kain tenun dan juga gerabah dari Mayong.
Perdagangan gerabah produksi Mayong juga masuk Bali. Termasuk produksi gentengnya. Kualitas genteng bikinan Mayong juga dikenal bagus. Sehingga mampu bersaing dengan produksi dari tempat lain.
Sayangnya, kebesaran pelabuhan Jepara itu kini tak tersisa. Galangan untuk memproduksi kapal besar yang biasa dipakai untuk pelayaran perdagangan, seperti dalam cerita di novel Arus Balik, karya Pramoedya Ananta Toer juga sudah tidak ada.
Tinggal tersisa cerita saja. Beruntung, kerajinan tenun di Pecangaan dan gerabah di Mayong masih terus berkembang. [*]