28.2 C
Jakarta
21 November 2024, 18:24 PM WIB

Polisi Sepakat Tak Masuk Adat, Dewan-MUDP Rumuskan Formula Pungutan

Polda Bali dan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP), telah membuat kesepakatan di DPRD Bali pada 13 November lalu.

Polda Bali tak akan memasuki ranah adat, pascaheboh Operasi Tangkap Tangan (OTT) dugaan pungli di sejumlah pintu masuk objek wisata. Bagaimana perkembangannya?

 

DAMPAK OTT dugaan pungli di Pantai Matahari Terbit, Sanur, Denpasar dan Tirta Empul, Ginyar, cukup signifikan.

Kini, di kedua pintu masuk objek wisata tersebut mendapat pendampingan dari pemerintah setempat. Seperti PD Parkir Kota Denpasar di Matahari Terbit dan pengambil alihan oleh Pemkab Gianyar di Tirta Empul.

Hasilnya cukup baik. Karena, pendapatan di kedua objek wisata terkenal tersebut kini lebih transparan. Sehingga hasilnya diketahui pendapatan pemaasukan meningkat.

Baik tiket masuk maupun karcis parkir. Maklum, karena desa adat tetap membutuhkan pungutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan adat.

Seperti upacara keagamaan maupun kegiatan adat lainnya di wilayah masing-masing. Pihak Perusahaan Daerah (PD) Parkir Kota Denpasar telah menjalin kerjasama dengan pihak desa Adat Sanur Kaja melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

Direktur Utama PD Parkir Kota Denpasar I Nyoman Putrawan mengungkapkan, pasca terjadi kesepakatan tersebut, kerjasama yang dilakukan PD Parkir dengan desa adat Sanur Kaja sebagai hak poin sesuai dengan kesepakatan yang telah dijalani.

Salah satunya, tugas PD parkir tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan. “Kami mengawasi para pihak yang diajak kerjasama, termasuk penyelenggaraannya dan dari segi pendapatan juga,” ujarnya.

Melalui kerjasama yang dibangun tersebut, diharapkan kewajiban pajak parkir bisa terealisasi dengan baik. Disinggung mengenai pembagian dari pendapatan tersebut, Putrawan mengaku masih melakukan rekapitulasi hingga akhir tahun 2018 ini.

“Persentasenya berapa, itu ada yang menangani. Saya lupa untuk hal teknis demikian. Awal tahun nanti baru akan kami ungkapkan, setelah hasil evaluasi menyeluruh,” kata Putrawan.

Kapolres Gianyar, AKBP Priyanto Priyo Hutomo, belum bisa berkomentar banyak mengenai kelanjutan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di objek wisata Tirta Empul.

Namun, pasca-OTT, pungutan di Tirta Empul berjalan normal. Bahkan harga tiket naik drastis dari sebelumnya.

“Kami masih menunggu audit dari BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangun, red),” ujar AKBP Priyanto.

Sementara itu, situasi di Pura Tirta Empul berjalan normal. Turis domestik dan mancanegara berdatangan. Yang berbeda ada pada pungutan karcis kini diambil alihpenuh oleh Pemkab Gianyar.

Per Senin lalu (12/11) berlaku harga karcis baru untuk mancanegara. Tiket dewasa sebesar Rp 50 ribu dan anak sebesar Rp 25 ribu. Sedangkan untuk domestik, tiket dewasa sebesar Rp 30 ribu dan anak-anak sebesar Rp 15 ribu.

Keuntungan dari kenaikan harga tiket itu akan dibagi menjadi dua. Baik untuk desa pakraman Manukaya Let dan Pemkab Gianyar. Hal itu sudah sesuai dengan aturan yang diberlakukan pemerintah.

Di bagian lain, Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Kabupaten Gianyar, Anak Agung Ari Brahmanta, menyatakan kasus OTT Tirta Empul menjadi edukasi bagi Desa Pakraman lainnya yang mengelola objek wisata.

“Kami dari Dinas Pariwisata akan melanjutkan mengadakan pembinaan sebelumnya sudah kami lakukan,” ujar Ari Brahmanta, kemarin.

Kata Agung Ari, Desa Pakraman yang ada di Gianyar dianggap sebagai partner kerja pemerintah. “Dalam rangka pengelolaan objek wisata atau DTW (Daya Tarik Wisata) sambil kami menyusun regulasi standarisasi DTW,” jelasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD IGB Alit Putra yang memimpin pertemuan tersebut saat diwawancarai Jawa Pos Radar Bali, Kamis lalu (6/12) mengatakan, hasil kesepakatan MUDP-Polda Bali menyebut setiap pungutan harus ada dasar hukumnya.

Keputusannya, pekraman juga harus  diketahui pemda. Dasar memungut juga harus jelas bertujuan itu kepentingan untuk ada lokal genius setempat.

Namun, polisi akan tetap turun untuk yang berkaitan dengan narkoba atau  kasus kriminal lainnya, jelasnya. 

“Kepolisian tidak masuk. Tim saber pungli nggak masuk dalam kegiatan desa adat untuk pengembangan dan pelestarian desa. Berhubungan kriminal tetap masuk,” ucapnya. 

Walaupun ada pungutan yang saat ini tidak ada dasar hukumnya, desa pekraman diminta segera membuat landasan hukum dan segera melaporkan ke kepala daerah.

Tidak hanya itu, Alit Putra mengakui awig-awig dan pararem desa saat ini harus disempurnakan supaya semakin jelas dasar hukumnya.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD I Nyoman Parta yang juga ikut dalam pertemuan tersebut menyatakan,

pasca mengeluarkan surat tentang keputusan rapat permasalahan desa pakraman, DPRD Bali akan kembali mengundang Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) dan stakeholder terkait.

Dalam hal ini, untuk merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan pengenaan biaya terhadap objek di desa pakraman. 

Mengenai persoalan desa pakraman/adat, Gubernur Bali Wayan Koster sebelumnya mengatakan, kedudukan desa dinas dan desa adat

juga masuk dalam rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Bali. RUU tersebut kini sudah hampir selesai dan target disahkan DPR RI pada 2019.

“Supaya dua desa ini mendapat pengakuan secara kuat melalui Undang-undang. Kalau sekarang ini di Undang-Undang yang diakui kan cuma desa dinas,

desa adatnya tidak. Padahal yang paling harus kita lindungi di Bali ini adalah desa adatnya. Jadi sekarang timpang kita,” ujarnya.

Sebelum Undang-Undang itu selesai, lanjut Koster, perda tentang desa adat juga akan segera diajukan ke DPRD Bali. Konsep perda bahkan sudah selesai dan akan Desember ini  kepada DPRD Bali.

Bahkan, dia meminta untuk memprioritaskan pembahasan perda desa adat, karena begitu rampung, tidak akan ada lagi tuduhan pungli atau OTT di desa adat.

Seperti diketahui pada rapat pertemuan di DPRD Bali Bendesa Agung MUDP Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesa mengaku untuk

kasus Pura Tirta Empul itu harus  kembali benar tidaknya prosedur MoU terkait Pura Tirta Empul yang dijadikan objek wisata oleh Pemda Gianyar.

Lalu mengenai siapa yang memiliki kewenangan atau wilayah Pura itu agar tidak asal klaim. Kalau memang milik desa adat, banjar adat, atau pengempon Pura, statusnya juga harus jelas.

“Kalau membuat MoU berarti perjanjian, itu berarti status para pihak harus jelas juga. Kalau pihak-pihaknya tidak jelas, nanti dalam hukum perdata ada yang disebut batal demi hukum karena pembuatan MoU itu tidak berdasarkan hukum,” ujarnya.

Lalu bagaimana terkait kasus hukum? Sampai saat ini pasca kesepakatan Polda Bali tak memasuki wilayah adat, setelah kasus OTT terkait dugaan pungli di Pantai Matahari Terbit, Sanur dan Tampak Siring, masih berjalan.

Untuk perkembangan kasus di Sanur ini, Polda Bali melalui Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali Kombes Andi Fairan mengatakan masih menunggu keterangan ahli dari MUDP,

karena  Polda Bali sempat mengamankan 11 orang petugas Karcis di pintu masuk Pantai Matahari Terbit, Sanur.

Menurutnya, dari keterangan saksi ahli bahwa surat keputusan Nomor 44DPS/VII/2014 terkait peruntukan, nantinya dikatakan tidak benar, proses hukum yang terjadi di kasus Sanur akan tetap dilanjutkan.

Lalu kalau surat tersebut tidak benar, Andi mengatakan mungkin kasus tersebut akan dilimpahkan ke adat untuk memprosesnya.

“Misalnya menurut awing-awing sudah benar, tapi terkait pengelolaan tidak sesuai dengan peruntukan tidak benar, maka diserahkan desa itu yang menyelesaikan sendiri,” jelas Andi Fairan kepada Jawa pos Radar Bali, Sabtu kemarin (8/12).

Jika pemungutan sesuai aturan, silakan. Tapi pengelolaan dan tedapat kecurangan di dalamnya maka biarlah para pengurus desa yang menyelesaikan.

Sebab itu uangnya milik desa dan digjnakan sanksi-sanksi adat seperi pemberhentian dan lain sebagainya.

“Catat ini. Tapi akalau ada laporan yang menyangkut tindak pidananya pasti kita akan proses secara hukum yang berlaku.

Pasti ditindak lanjuti kalau ada laporan tindak pidana pasti ditindak lanjuti dan tetap kita masuk. Buktinya sudah banyak kasus pungli yang sudah P21,” tegasnya.

Di sini lanjutnya, harus mengutamakan dan menghormati hukum positif. Pun Kami sebagai Kepolisian juga menghormati hukum adat. Lalu bagaimana dengan pungutan adat selain parkir dan tiket masuk kawasan wisata, seperti pungutan untuk penduduk pendatang dan lainnya?

“Ini juga kepada Adat setempat agar ikut memantau pungutan yang tidak terkendali. Termasuk pungutan penduduk pendatang yang setiap 3 bulan dikenakan biaya ini-itu,”imbuhnya.

“Jika masyarakat tidak keberatan dan ikhas ya tidak mengapa. Tapi ada oknum yang keberatan lalu laporan ke kami maka tetap di pelajari lalu dilakukan penindakan terhadap

oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab hingga ke pengadilan. Seperti dijelaskan tadi, MUDP yang menjadi saksi ahli,” terangnya.

Ini sekaligus memberikakn efek bagi adat setempat agar tidak melakukan pungutan berlebihan. Terbukti setelah ditindak lanjuti permasalah di Sanur, sekarang sudah terdapat MoU dengan PD Parkir.

Pun di Tampak Siring, kini sudah ada MoU dengan pemerintah setempat. Karena terkait beda pendapat terkait pungli, Polda tidak mau masalah berlarut-larut dan timbulkan kegaduhan.

Selama ini, kata dia, ada persepsi dan multi-tafsir dalam sistem pungutan di wilayah desa adat dikaitkan antara awig-awig dengan hukum positif.

Karena itu sudah ada win-win solution dan penyelesaian fenomena petugas desa adat yang ditangkap karena dugaan pungli itu.

Penertiban pungli yang dilakukan jajaran Polda Bali bukan untuk melemahkan desa adat pakraman di Bali, tapi sudah sesuai aturan hukum.

“Agar tidak menjadi gesekan hukum di masyarakat, mari kita saling memghormati dan memghargai hukum Positif dan hukum adat.

Dengan harapan agar ada formula yang tepat di samping hukum positif berlaku dan juga mengakomodir aturan lokal yang hidup di masyarakat, dengan harapan gesekan dalam upaya penegakkan hukum bisa teratasi,” tambahnya.

Lagi katanya, seperti contoh kasus Pungli di Objek wisata Tirta Empul, Tampaksiring, menurutnya benang merah dari kasus pungli ini adalah pungutan

dengan karcis masuk yang tidak sesuai dengan Perda tentang Retribusi dan kerjasama antara Pemkab Gianyar dengan Desa Pekraman.

“Jadi ke depan, jika ada tangkapan, kami akan minta konfirmasi dan meminta informasi dari MUDP nanti, apa ini masalah adat atau tidak,”cetusnya.

Polda Bali dan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP), telah membuat kesepakatan di DPRD Bali pada 13 November lalu.

Polda Bali tak akan memasuki ranah adat, pascaheboh Operasi Tangkap Tangan (OTT) dugaan pungli di sejumlah pintu masuk objek wisata. Bagaimana perkembangannya?

 

DAMPAK OTT dugaan pungli di Pantai Matahari Terbit, Sanur, Denpasar dan Tirta Empul, Ginyar, cukup signifikan.

Kini, di kedua pintu masuk objek wisata tersebut mendapat pendampingan dari pemerintah setempat. Seperti PD Parkir Kota Denpasar di Matahari Terbit dan pengambil alihan oleh Pemkab Gianyar di Tirta Empul.

Hasilnya cukup baik. Karena, pendapatan di kedua objek wisata terkenal tersebut kini lebih transparan. Sehingga hasilnya diketahui pendapatan pemaasukan meningkat.

Baik tiket masuk maupun karcis parkir. Maklum, karena desa adat tetap membutuhkan pungutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan adat.

Seperti upacara keagamaan maupun kegiatan adat lainnya di wilayah masing-masing. Pihak Perusahaan Daerah (PD) Parkir Kota Denpasar telah menjalin kerjasama dengan pihak desa Adat Sanur Kaja melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

Direktur Utama PD Parkir Kota Denpasar I Nyoman Putrawan mengungkapkan, pasca terjadi kesepakatan tersebut, kerjasama yang dilakukan PD Parkir dengan desa adat Sanur Kaja sebagai hak poin sesuai dengan kesepakatan yang telah dijalani.

Salah satunya, tugas PD parkir tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan. “Kami mengawasi para pihak yang diajak kerjasama, termasuk penyelenggaraannya dan dari segi pendapatan juga,” ujarnya.

Melalui kerjasama yang dibangun tersebut, diharapkan kewajiban pajak parkir bisa terealisasi dengan baik. Disinggung mengenai pembagian dari pendapatan tersebut, Putrawan mengaku masih melakukan rekapitulasi hingga akhir tahun 2018 ini.

“Persentasenya berapa, itu ada yang menangani. Saya lupa untuk hal teknis demikian. Awal tahun nanti baru akan kami ungkapkan, setelah hasil evaluasi menyeluruh,” kata Putrawan.

Kapolres Gianyar, AKBP Priyanto Priyo Hutomo, belum bisa berkomentar banyak mengenai kelanjutan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di objek wisata Tirta Empul.

Namun, pasca-OTT, pungutan di Tirta Empul berjalan normal. Bahkan harga tiket naik drastis dari sebelumnya.

“Kami masih menunggu audit dari BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangun, red),” ujar AKBP Priyanto.

Sementara itu, situasi di Pura Tirta Empul berjalan normal. Turis domestik dan mancanegara berdatangan. Yang berbeda ada pada pungutan karcis kini diambil alihpenuh oleh Pemkab Gianyar.

Per Senin lalu (12/11) berlaku harga karcis baru untuk mancanegara. Tiket dewasa sebesar Rp 50 ribu dan anak sebesar Rp 25 ribu. Sedangkan untuk domestik, tiket dewasa sebesar Rp 30 ribu dan anak-anak sebesar Rp 15 ribu.

Keuntungan dari kenaikan harga tiket itu akan dibagi menjadi dua. Baik untuk desa pakraman Manukaya Let dan Pemkab Gianyar. Hal itu sudah sesuai dengan aturan yang diberlakukan pemerintah.

Di bagian lain, Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Kabupaten Gianyar, Anak Agung Ari Brahmanta, menyatakan kasus OTT Tirta Empul menjadi edukasi bagi Desa Pakraman lainnya yang mengelola objek wisata.

“Kami dari Dinas Pariwisata akan melanjutkan mengadakan pembinaan sebelumnya sudah kami lakukan,” ujar Ari Brahmanta, kemarin.

Kata Agung Ari, Desa Pakraman yang ada di Gianyar dianggap sebagai partner kerja pemerintah. “Dalam rangka pengelolaan objek wisata atau DTW (Daya Tarik Wisata) sambil kami menyusun regulasi standarisasi DTW,” jelasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD IGB Alit Putra yang memimpin pertemuan tersebut saat diwawancarai Jawa Pos Radar Bali, Kamis lalu (6/12) mengatakan, hasil kesepakatan MUDP-Polda Bali menyebut setiap pungutan harus ada dasar hukumnya.

Keputusannya, pekraman juga harus  diketahui pemda. Dasar memungut juga harus jelas bertujuan itu kepentingan untuk ada lokal genius setempat.

Namun, polisi akan tetap turun untuk yang berkaitan dengan narkoba atau  kasus kriminal lainnya, jelasnya. 

“Kepolisian tidak masuk. Tim saber pungli nggak masuk dalam kegiatan desa adat untuk pengembangan dan pelestarian desa. Berhubungan kriminal tetap masuk,” ucapnya. 

Walaupun ada pungutan yang saat ini tidak ada dasar hukumnya, desa pekraman diminta segera membuat landasan hukum dan segera melaporkan ke kepala daerah.

Tidak hanya itu, Alit Putra mengakui awig-awig dan pararem desa saat ini harus disempurnakan supaya semakin jelas dasar hukumnya.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD I Nyoman Parta yang juga ikut dalam pertemuan tersebut menyatakan,

pasca mengeluarkan surat tentang keputusan rapat permasalahan desa pakraman, DPRD Bali akan kembali mengundang Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) dan stakeholder terkait.

Dalam hal ini, untuk merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan pengenaan biaya terhadap objek di desa pakraman. 

Mengenai persoalan desa pakraman/adat, Gubernur Bali Wayan Koster sebelumnya mengatakan, kedudukan desa dinas dan desa adat

juga masuk dalam rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Bali. RUU tersebut kini sudah hampir selesai dan target disahkan DPR RI pada 2019.

“Supaya dua desa ini mendapat pengakuan secara kuat melalui Undang-undang. Kalau sekarang ini di Undang-Undang yang diakui kan cuma desa dinas,

desa adatnya tidak. Padahal yang paling harus kita lindungi di Bali ini adalah desa adatnya. Jadi sekarang timpang kita,” ujarnya.

Sebelum Undang-Undang itu selesai, lanjut Koster, perda tentang desa adat juga akan segera diajukan ke DPRD Bali. Konsep perda bahkan sudah selesai dan akan Desember ini  kepada DPRD Bali.

Bahkan, dia meminta untuk memprioritaskan pembahasan perda desa adat, karena begitu rampung, tidak akan ada lagi tuduhan pungli atau OTT di desa adat.

Seperti diketahui pada rapat pertemuan di DPRD Bali Bendesa Agung MUDP Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesa mengaku untuk

kasus Pura Tirta Empul itu harus  kembali benar tidaknya prosedur MoU terkait Pura Tirta Empul yang dijadikan objek wisata oleh Pemda Gianyar.

Lalu mengenai siapa yang memiliki kewenangan atau wilayah Pura itu agar tidak asal klaim. Kalau memang milik desa adat, banjar adat, atau pengempon Pura, statusnya juga harus jelas.

“Kalau membuat MoU berarti perjanjian, itu berarti status para pihak harus jelas juga. Kalau pihak-pihaknya tidak jelas, nanti dalam hukum perdata ada yang disebut batal demi hukum karena pembuatan MoU itu tidak berdasarkan hukum,” ujarnya.

Lalu bagaimana terkait kasus hukum? Sampai saat ini pasca kesepakatan Polda Bali tak memasuki wilayah adat, setelah kasus OTT terkait dugaan pungli di Pantai Matahari Terbit, Sanur dan Tampak Siring, masih berjalan.

Untuk perkembangan kasus di Sanur ini, Polda Bali melalui Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali Kombes Andi Fairan mengatakan masih menunggu keterangan ahli dari MUDP,

karena  Polda Bali sempat mengamankan 11 orang petugas Karcis di pintu masuk Pantai Matahari Terbit, Sanur.

Menurutnya, dari keterangan saksi ahli bahwa surat keputusan Nomor 44DPS/VII/2014 terkait peruntukan, nantinya dikatakan tidak benar, proses hukum yang terjadi di kasus Sanur akan tetap dilanjutkan.

Lalu kalau surat tersebut tidak benar, Andi mengatakan mungkin kasus tersebut akan dilimpahkan ke adat untuk memprosesnya.

“Misalnya menurut awing-awing sudah benar, tapi terkait pengelolaan tidak sesuai dengan peruntukan tidak benar, maka diserahkan desa itu yang menyelesaikan sendiri,” jelas Andi Fairan kepada Jawa pos Radar Bali, Sabtu kemarin (8/12).

Jika pemungutan sesuai aturan, silakan. Tapi pengelolaan dan tedapat kecurangan di dalamnya maka biarlah para pengurus desa yang menyelesaikan.

Sebab itu uangnya milik desa dan digjnakan sanksi-sanksi adat seperi pemberhentian dan lain sebagainya.

“Catat ini. Tapi akalau ada laporan yang menyangkut tindak pidananya pasti kita akan proses secara hukum yang berlaku.

Pasti ditindak lanjuti kalau ada laporan tindak pidana pasti ditindak lanjuti dan tetap kita masuk. Buktinya sudah banyak kasus pungli yang sudah P21,” tegasnya.

Di sini lanjutnya, harus mengutamakan dan menghormati hukum positif. Pun Kami sebagai Kepolisian juga menghormati hukum adat. Lalu bagaimana dengan pungutan adat selain parkir dan tiket masuk kawasan wisata, seperti pungutan untuk penduduk pendatang dan lainnya?

“Ini juga kepada Adat setempat agar ikut memantau pungutan yang tidak terkendali. Termasuk pungutan penduduk pendatang yang setiap 3 bulan dikenakan biaya ini-itu,”imbuhnya.

“Jika masyarakat tidak keberatan dan ikhas ya tidak mengapa. Tapi ada oknum yang keberatan lalu laporan ke kami maka tetap di pelajari lalu dilakukan penindakan terhadap

oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab hingga ke pengadilan. Seperti dijelaskan tadi, MUDP yang menjadi saksi ahli,” terangnya.

Ini sekaligus memberikakn efek bagi adat setempat agar tidak melakukan pungutan berlebihan. Terbukti setelah ditindak lanjuti permasalah di Sanur, sekarang sudah terdapat MoU dengan PD Parkir.

Pun di Tampak Siring, kini sudah ada MoU dengan pemerintah setempat. Karena terkait beda pendapat terkait pungli, Polda tidak mau masalah berlarut-larut dan timbulkan kegaduhan.

Selama ini, kata dia, ada persepsi dan multi-tafsir dalam sistem pungutan di wilayah desa adat dikaitkan antara awig-awig dengan hukum positif.

Karena itu sudah ada win-win solution dan penyelesaian fenomena petugas desa adat yang ditangkap karena dugaan pungli itu.

Penertiban pungli yang dilakukan jajaran Polda Bali bukan untuk melemahkan desa adat pakraman di Bali, tapi sudah sesuai aturan hukum.

“Agar tidak menjadi gesekan hukum di masyarakat, mari kita saling memghormati dan memghargai hukum Positif dan hukum adat.

Dengan harapan agar ada formula yang tepat di samping hukum positif berlaku dan juga mengakomodir aturan lokal yang hidup di masyarakat, dengan harapan gesekan dalam upaya penegakkan hukum bisa teratasi,” tambahnya.

Lagi katanya, seperti contoh kasus Pungli di Objek wisata Tirta Empul, Tampaksiring, menurutnya benang merah dari kasus pungli ini adalah pungutan

dengan karcis masuk yang tidak sesuai dengan Perda tentang Retribusi dan kerjasama antara Pemkab Gianyar dengan Desa Pekraman.

“Jadi ke depan, jika ada tangkapan, kami akan minta konfirmasi dan meminta informasi dari MUDP nanti, apa ini masalah adat atau tidak,”cetusnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/