31.2 C
Jakarta
27 April 2024, 11:04 AM WIB

AJI Denpasar Serukan Penghentian Kriminalisasi Dandhy Dwi Laksono

RadarBali.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar menyerukan penghentian upaya kriminalisasi terhadap Dandhy Dwi Laksono.

Desakan ini disampaikan menanggapi laporan DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur ke Polda Jawa Timur atas status Facebook Dandhy yang sebenarnya sudah menjadi produk jurnalistik  karena sudah diunggah sejumlah media berbasis daring.

AJI Kota Denpasar menilai bahwa pelaporan ke polisi itu sebagai bentuk kriminalisasi atas tulisan  berupa paparan fakta dan kritik dari warga negara.

Kebetulan kali ini dilakukan oleh Dandhy, seorang jurnalis, pembuat film dokumenter dan aktivis. ”Ini mengarah sebagai kriminalisasi atas warga negara yang menyampaikan ekspresi atau pendapatnya atas suatu peristiwa,” jelas Ketua AJI Kota Denpasar, Hari Puspita, kemarin (18/9).

Menurut Pipit, sapaan Hari Puspita, Dandhy dalam tulisannya menyajikan fakta-fakta tentang peraih Nobel Perdamaian tahun 1991, Aung San Suu Kyi.

Tokoh pilitik yang pernah diperjara selama 15 tahun itu belakangan dikritik karena tidak membela warga Rohingya di Myanmar.

Sikap Suu Kyi ini, oleh Dandhy, selanjutnya mengingatkan pada sikap Ketua Umum DPP PDIP Megawati saat menjabat sebagai pemimpin partai pemenang Pemilu sekaligus Presiden RI yang tak jauh berbeda dengan sikap Aung San Suu Kyi ketika menjadi pemimpin partai pemenang Pemilu, Penasihat Negara sekaligus Menteri Luar Negeri, yang setingkat dengan Perdana Menteri.

Menurut dia, paparan yang disampaikan Dandhy mengandung fakta melalui kerja-kerja jurnalistik. Berdasarkan analisis tulisan yang didiskusikan di AJI Denpasar, tidak tepat jika Dandhy dinilai melakukan pencemaran nama baik dan hate speech (ujaran kebencian) terhadap Ketum DPP PDIP Megawati dan Presiden Joko Widodo.

”Itu (pencemaran nama baik dan hate speech) sebagai penyimpulan yang terlalu subjektif. Janganlah dikit-dikit hate speech karena ini tulisan yang ada datanya,” terangnya, didampingi Koordinator  Divisi Advokasi AJI Denpasar, Yoyo Raharyo.

Dia memaparkan bahwa setelah pengurus dan anggota AJI Kota Denpasar mencermati tulisan Dandhy yang anggota Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) AJI Indonesia, dari paragraf awal sampai paragraf terakhir, yang terpapar adalah fakta dan data serta beberapa kritik atas posisi Megawati saat menjadi presiden RI.

Yakni, dalam menangani masalah Aceh, dan Papua. Waktu itu, di era Megawati sebagai presiden, Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), itu sebuah kenyataan.

Sebuah fakta di periode kepemimpinannya. Dalam tulisan diperbandingkan cara kebijakan penanganan ini pun bertolak belakang dengan cara pendahulunya, Gus Dur, yang lebih mengedepankan jalan damai dan akomodatif.

Untuk itu sebaiknya Repdem Jawa Timur mencabut laporannya di Polda Jawa Timur. Ini sekaligus mengakhiri upaya kriminalisasi terhadap Dandhy maupun warga negara lain yang menuliskan pendapat yang disertai data dan fakta.

Bila ingin memberi pembelaan terhadap Megawati atau Presiden Joko Widodo atau klarifikasi atas tulisan Dandhy, Yoyo menyarankan agar Repdem Jawa Timur menggunakan saluran yang sama. Atau mengujinya ke Dewan Pers.

Dia menandaskan bahwa status di media sosial atau tulisan yang sudah diunggah di media sebaliknya dibalas dengan hal yang sama di media sosial atau media yang lainnya.

“Bukan dengan membungkam suara yang kritis dengan cara mengkriminalisasi ke polisi,” tandasnya, seusai acara diskusi kasus Dandhy di sekretariat AJI Denpasar. 

RadarBali.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar menyerukan penghentian upaya kriminalisasi terhadap Dandhy Dwi Laksono.

Desakan ini disampaikan menanggapi laporan DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur ke Polda Jawa Timur atas status Facebook Dandhy yang sebenarnya sudah menjadi produk jurnalistik  karena sudah diunggah sejumlah media berbasis daring.

AJI Kota Denpasar menilai bahwa pelaporan ke polisi itu sebagai bentuk kriminalisasi atas tulisan  berupa paparan fakta dan kritik dari warga negara.

Kebetulan kali ini dilakukan oleh Dandhy, seorang jurnalis, pembuat film dokumenter dan aktivis. ”Ini mengarah sebagai kriminalisasi atas warga negara yang menyampaikan ekspresi atau pendapatnya atas suatu peristiwa,” jelas Ketua AJI Kota Denpasar, Hari Puspita, kemarin (18/9).

Menurut Pipit, sapaan Hari Puspita, Dandhy dalam tulisannya menyajikan fakta-fakta tentang peraih Nobel Perdamaian tahun 1991, Aung San Suu Kyi.

Tokoh pilitik yang pernah diperjara selama 15 tahun itu belakangan dikritik karena tidak membela warga Rohingya di Myanmar.

Sikap Suu Kyi ini, oleh Dandhy, selanjutnya mengingatkan pada sikap Ketua Umum DPP PDIP Megawati saat menjabat sebagai pemimpin partai pemenang Pemilu sekaligus Presiden RI yang tak jauh berbeda dengan sikap Aung San Suu Kyi ketika menjadi pemimpin partai pemenang Pemilu, Penasihat Negara sekaligus Menteri Luar Negeri, yang setingkat dengan Perdana Menteri.

Menurut dia, paparan yang disampaikan Dandhy mengandung fakta melalui kerja-kerja jurnalistik. Berdasarkan analisis tulisan yang didiskusikan di AJI Denpasar, tidak tepat jika Dandhy dinilai melakukan pencemaran nama baik dan hate speech (ujaran kebencian) terhadap Ketum DPP PDIP Megawati dan Presiden Joko Widodo.

”Itu (pencemaran nama baik dan hate speech) sebagai penyimpulan yang terlalu subjektif. Janganlah dikit-dikit hate speech karena ini tulisan yang ada datanya,” terangnya, didampingi Koordinator  Divisi Advokasi AJI Denpasar, Yoyo Raharyo.

Dia memaparkan bahwa setelah pengurus dan anggota AJI Kota Denpasar mencermati tulisan Dandhy yang anggota Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) AJI Indonesia, dari paragraf awal sampai paragraf terakhir, yang terpapar adalah fakta dan data serta beberapa kritik atas posisi Megawati saat menjadi presiden RI.

Yakni, dalam menangani masalah Aceh, dan Papua. Waktu itu, di era Megawati sebagai presiden, Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), itu sebuah kenyataan.

Sebuah fakta di periode kepemimpinannya. Dalam tulisan diperbandingkan cara kebijakan penanganan ini pun bertolak belakang dengan cara pendahulunya, Gus Dur, yang lebih mengedepankan jalan damai dan akomodatif.

Untuk itu sebaiknya Repdem Jawa Timur mencabut laporannya di Polda Jawa Timur. Ini sekaligus mengakhiri upaya kriminalisasi terhadap Dandhy maupun warga negara lain yang menuliskan pendapat yang disertai data dan fakta.

Bila ingin memberi pembelaan terhadap Megawati atau Presiden Joko Widodo atau klarifikasi atas tulisan Dandhy, Yoyo menyarankan agar Repdem Jawa Timur menggunakan saluran yang sama. Atau mengujinya ke Dewan Pers.

Dia menandaskan bahwa status di media sosial atau tulisan yang sudah diunggah di media sebaliknya dibalas dengan hal yang sama di media sosial atau media yang lainnya.

“Bukan dengan membungkam suara yang kritis dengan cara mengkriminalisasi ke polisi,” tandasnya, seusai acara diskusi kasus Dandhy di sekretariat AJI Denpasar. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/