28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:46 AM WIB

Abad 18 Budak Perempuan Bali Dihargai Mahal Karena Cantik & Baik Hati

TAHUN 1665 kongsi dagang India Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sempat melarang praktik perdagangan budak tetapi masih lemah dalam pelaksanaannya.

Karena tidak ada sanksi yang tegas atas pelanggaran. Budak-budak yang didatangkan dari Bali di era Jan Pieterszoon (JP) Coen, Gubernur Jenderal VOC

di Batavia atau Jakarta sekarang,  di pertengahan pertama abad ke-17 di kawasan Tanah Abang, Jakarta, membentuk Kampung Bali.

JP Coen dalam praktiknya mendatangkan budak mengelompokkan budak di lokasi-lokasi yang ditentukan. Tak aneh bila di Jakarta ada sejumlah kawasan berdasar sejumlah suku tertentu. Dari Bali, Melayu, Manggarai, misalnya.

Seorang pembesar Belanda, Cornelis Chastelein, kelahiran di Amsterdam, 10 Agustus 1657, meninggal di Depok, 28 Juni 1714, di usia 56 tahun juga punya riwayat terhadap jejak budak asal Bali.

Sebagai seorang tuan tanah di daerah Depok, Jawa Barat, juga banyak memanfaatkan budak asal Bali yang rajin bekerja, setia, bertanggungjawab, pintar berkesenian.

Budak miliknya yang asal Bali banyak kawin mawin dengan warga Belanda dan namanya berubah menjadi nama Kristen dan nama Belanda, tanpa nama Bali. 

VOC saat itu sangat perlu serdadu untuk mengawal perusahaan di Nusantara karena mereka memegang monopoli perdagangan.

“Di sisi lain, orang Belanda kan banyak kawin juga dengan budak itu. Apa istilahnya dipelihara atau  dikawin itu akhirnya lahir golongan indo (blasteran),” jelas Prof Dr Drs AA Bagus Wirawan SU, Guru Besar Ilmu Sejarah Unud.

Perbudakan di Bali juga penuh liku-liku dan diwarnai sejumlah kejadian. Di bulan April hingga Juli 1815 Gunung Tambora, di Sumbawa, Nusa Tenggara Timur,  meletus dahsyat.

Kejadian ini menjadikan korban jiwa setidaknya mencapai 117.000 orang. Ditaksir sekitar  ada 25.000 jiwa asal Bali meninggal akibat letusan gunung yang membawa ketebalan debu sekitar 20 centimeter tersebut.

Pada akhir abad ke -18, nilai jual budak perempuan muda asal Bali sangat mahal. Bisa tiga kali lipat dari harga budak laki-laki.

Ini karena budak perempuan Bali dinilai cantik, baik hati, setia, punya keterampilan. Sebagian budak perempuan ini menjadi simpanan pedagang Tionghoa dan Belanda di Batavia.

Budak laki-laki asal Bali juga paling banyak disukai dibandingkan dengan dari daerah lain karena kuat, tangguh, mudah beradaptasi dan relatif lebih bertanggung jawab.

Hingga abad ke -19, penjualan budak masih terus berlangsung, mencapai sekitar 2.000 budak setiap tahun dan menjadi komoditas andalan raja-raja di Bali.

Dalam masa pemerintahan Inggris, era Thomas Stamford Raffles, 1811-1816 (saat Gunung Tambora Meletus) penjualan budak sempat terhenti karena dilarang.

Pelarangan ini sempat mendapat perlawanan dari raja Karangasem dan Buleleng yang tetap ingin melakukan penjualan budak.

Raja Buleleng dan Karangasem saat itu sempat bersekutu melawan Inggris agar tetap melegalkan perbudakan namun Inggris di bawah Raffles tetap melawan pada tahun 1814 dari Banyuwangi.

Pasca Raffles, VOC memperbanyak mendatangkan budak. Ini dilakukan untuk keperluan peperangan.

Perang Diponegoro 1825-1830 di Jawa membuat VOC membutuhkan banyak tentara untuk keperluan perang dan mengambil budak dari Bali sebagai prajurit. 

Memasuki abad ke-20, atau memasuki tahun 1900-an perdagangan budak asal Bali tidak segencar era sebelumnya dan semakin berkurang. (maulana sandijaya/made dwija putra/juliadi/ni kadek novi febriani/pit)

TAHUN 1665 kongsi dagang India Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sempat melarang praktik perdagangan budak tetapi masih lemah dalam pelaksanaannya.

Karena tidak ada sanksi yang tegas atas pelanggaran. Budak-budak yang didatangkan dari Bali di era Jan Pieterszoon (JP) Coen, Gubernur Jenderal VOC

di Batavia atau Jakarta sekarang,  di pertengahan pertama abad ke-17 di kawasan Tanah Abang, Jakarta, membentuk Kampung Bali.

JP Coen dalam praktiknya mendatangkan budak mengelompokkan budak di lokasi-lokasi yang ditentukan. Tak aneh bila di Jakarta ada sejumlah kawasan berdasar sejumlah suku tertentu. Dari Bali, Melayu, Manggarai, misalnya.

Seorang pembesar Belanda, Cornelis Chastelein, kelahiran di Amsterdam, 10 Agustus 1657, meninggal di Depok, 28 Juni 1714, di usia 56 tahun juga punya riwayat terhadap jejak budak asal Bali.

Sebagai seorang tuan tanah di daerah Depok, Jawa Barat, juga banyak memanfaatkan budak asal Bali yang rajin bekerja, setia, bertanggungjawab, pintar berkesenian.

Budak miliknya yang asal Bali banyak kawin mawin dengan warga Belanda dan namanya berubah menjadi nama Kristen dan nama Belanda, tanpa nama Bali. 

VOC saat itu sangat perlu serdadu untuk mengawal perusahaan di Nusantara karena mereka memegang monopoli perdagangan.

“Di sisi lain, orang Belanda kan banyak kawin juga dengan budak itu. Apa istilahnya dipelihara atau  dikawin itu akhirnya lahir golongan indo (blasteran),” jelas Prof Dr Drs AA Bagus Wirawan SU, Guru Besar Ilmu Sejarah Unud.

Perbudakan di Bali juga penuh liku-liku dan diwarnai sejumlah kejadian. Di bulan April hingga Juli 1815 Gunung Tambora, di Sumbawa, Nusa Tenggara Timur,  meletus dahsyat.

Kejadian ini menjadikan korban jiwa setidaknya mencapai 117.000 orang. Ditaksir sekitar  ada 25.000 jiwa asal Bali meninggal akibat letusan gunung yang membawa ketebalan debu sekitar 20 centimeter tersebut.

Pada akhir abad ke -18, nilai jual budak perempuan muda asal Bali sangat mahal. Bisa tiga kali lipat dari harga budak laki-laki.

Ini karena budak perempuan Bali dinilai cantik, baik hati, setia, punya keterampilan. Sebagian budak perempuan ini menjadi simpanan pedagang Tionghoa dan Belanda di Batavia.

Budak laki-laki asal Bali juga paling banyak disukai dibandingkan dengan dari daerah lain karena kuat, tangguh, mudah beradaptasi dan relatif lebih bertanggung jawab.

Hingga abad ke -19, penjualan budak masih terus berlangsung, mencapai sekitar 2.000 budak setiap tahun dan menjadi komoditas andalan raja-raja di Bali.

Dalam masa pemerintahan Inggris, era Thomas Stamford Raffles, 1811-1816 (saat Gunung Tambora Meletus) penjualan budak sempat terhenti karena dilarang.

Pelarangan ini sempat mendapat perlawanan dari raja Karangasem dan Buleleng yang tetap ingin melakukan penjualan budak.

Raja Buleleng dan Karangasem saat itu sempat bersekutu melawan Inggris agar tetap melegalkan perbudakan namun Inggris di bawah Raffles tetap melawan pada tahun 1814 dari Banyuwangi.

Pasca Raffles, VOC memperbanyak mendatangkan budak. Ini dilakukan untuk keperluan peperangan.

Perang Diponegoro 1825-1830 di Jawa membuat VOC membutuhkan banyak tentara untuk keperluan perang dan mengambil budak dari Bali sebagai prajurit. 

Memasuki abad ke-20, atau memasuki tahun 1900-an perdagangan budak asal Bali tidak segencar era sebelumnya dan semakin berkurang. (maulana sandijaya/made dwija putra/juliadi/ni kadek novi febriani/pit)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/