29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:18 AM WIB

Memaknai Kontradiksi Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan di Bali

BADAN Pusat Statistik Provinsi Bali secara resmi merilis tingkat kemiskinan di Provinsi Bali meningkat hingga 3,78 persen pada periode Maret 2020.

Angka ini lebih tinggi dari pengukuran pada bulan September 2019 yang mencatat kemiskinan hanya sebesar 3,61 persen.

Kenaikan persentase penduduk miskin terjadi di wilayah perkotaan dimana pada periode Maret 2020 tercatat sebesar 3,33 persen, lebih tinggi dari periode September 2019 yang diperkirakan hanya mencapai 3,04 persen.

Kondisi sebaliknya justru terjadi di wilayah perdesaan yaitu turun dari 4,86 persen di bulan September 2019 menjadi 4,78 persen di periode Maret 2020.

Apakah ini pertanda bahwa gelombang pandemi menghantam penduduk perkotaan cenderung lebih hebat dibandingkan penduduk yang tinggal di daerah perdesaan?

Atau justru sebaliknya penduduk perdesaan jauh lebih tangguh dan siap menghadapi pandemi Covid-19.

Sejak ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO per tanggal 11 Maret 2020, penyebaran virus corona menjadi mimpi buruk tidak hanya di bidang kesehatan namun juga menular ke sektor-sektor strategis seperti ekonomi, sosial, politik, termasuk budaya.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindari sebagai akibat melesunya perekonomian.  

Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali menunjukkan bahwa hingga 9 Juni 2020 jumlah pekerja di sektor formal yang dirumahkan mencapai 73.397 orang.

Sedangkan pekerja yang di PHK mencapai 2.625 orang. Jumlah tersebut diperkirakan masih berpotensi meningkat sampai kondisi perekonomian benar-benar pulih dari jebakan pandemi Covid-19.

Fenomena ini berarti ada sekelompok masyarakat yang harus kehilangan sumber pendapatan sehingga sangat rentan terjerumus ke dalam jurang kemiskinan.

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

Kemiskinan yang dirilis BPS adalah kemiskinan makro yang menggambarkan situasi dalam suatu wilayah biasanya hingga tingkat kabupaten atau kota.

Dalam pengukuran kemiskinan makro ditetapkan garis kemiskinan sebagai besaran ambang batas untuk mengelompokkan penduduk kategori miskin atau tidak miskin.

Kenaikan persentase penduduk miskin menjadi 3,78 persen terjadi akibat adanya dorongan kenaikan garis kemiskinan yang naik sebesar 4,10 persen.

Pada periode September 2019 garis kemiskinan Provinsi Bali ditetapkan Rp 412,906 kemudian meningkat menjadi Rp 429,834 pada periode Maret 2020.

Kenaikan tingkat kemiskinan di perkotaan di Bali sempat terjadi pada periode Maret 2017 sebesar 0,10 persen yang diperkirakan akibat tingkat konsumsi yang rendah.

Sementara situasi saat ini dimaknai sebagai adanya tekanan biaya hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar sesuai dengan konsep BPS yang cukup signifikan sehingga

menyebabkan sekelompok orang yang mungkin sebelum pandemi tidak tergolong sebagai kelompok penduduk miskin namun akibat kehilangan mata pencarian tertarik dari kelompok rentan miskin menjadi miskin.

Hipotesis tersebut didukung hasil analisis threshold kerentanan yang dilakukan oleh Bappenas yang melaporkan bahwa peluang kelompok rentan miskin yang berpeluang jatuh ke kelompok miskin akibat pandemi diprediksi sebesar 44 persen.

Memaknai dinamika penduduk miskin yang kontradiktif antara wilayah perkotaan dan perdesaan tidak hanya cukup dengan interpretasi persentase penduduk miskin.

Sekilas tampak bahwa tekanan kemiskinan justru terjadi lebih berat di wilayah perkotaan.

Indikasi tersebut diperkirakan akibat pada tahap awal meluasnya Covid-19 gelombang PHK dominan terjadi di perkotaan karena sektor formal cenderung lebih banyak digeluti oleh penduduk di wilayah perkotaan.

Meskipun demikian kemiskinan di perdesaan tidak dapat dianggap enteng karena secara persentase masih relatif lebih tinggi dibandingkan penduduk di wilayah perkotaan.

Kecenderungan kemiskinan relatif menurun pada Maret 2020 selain diduga belum terjadi reurbanisasi sebagai respons dampak pandemi tetapi juga akibat pertanian subsisten yang masih digeluti oleh sebagian besar penduduk perdesaan.

Pada periode Maret 2020, penduduk perkotaan masih cenderung optimis bahwa dampak Covid-19 mungkin saja akan berakhir dalam waktu dekat seperti pada saat terjadinya letusan Gunung Agung ataupun tragedi Bom Bali I dan II.

Mereka cenderung bertahan dengan penyangga finansial yang tersedia untuk bertahan hidup. Di sisi lain penduduk perdesaan juga masih mampu memenuhi

kebutuhan dasarnya dimana komoditas beras sebagai komoditas dengan proporsi paling besar pada garis kemiskinan masih berpeluang diperoleh dari hasil produksi sendiri.

Konsekuensi lain dari meningkatnya persentase penduduk miskin adalah ketimpangan pendapatan penduduk di wilayah perkotaan yang cenderung meningkat dari indikator rasio gini sebesar 0,365 pada September 2019 menjadi 0,372 pada Maret 2020.

Sedangkan di perdesaan menurun dari 0,306 menjadi 0,298 pada periode yang sama. Ditinjau dari kedalaman dan keparahan kemiskinan,

penduduk miskin di wilayah perkotaan cenderung berada di dekat dengan garis kemiskinan dengan variasi pendapatan yang tidak terlalu menyebar antar penduduk miskin.

Situasi sebaliknya terjadi di wilayah perdesaan dengan kedalaman dan keparahan kemiskinan yang meningkat menandakan bahwa jarak pendapatan penduduk miskin

di daerah perdesaan semakin jauh di bawah garis kemiskinan dan variasinya cenderung tinggi antara penduduk miskin yang satu dengan penduduk miskin lainnya.

Konsekuensinya adalah diperlukan perumusan kebijakan yang lebih rumit untuk membantu penduduk perdesaan untuk keluar dari garis kemiskinan.

Dinamika kemiskinan pada periode Maret 2020, tampaknya, bisa disebut sebagai dampak awal dari pandemi.

Hal tersebut tidak terlepas dari sejak 5 Februari 2020 penerbangan dari dan ke Tiongkok resmi ditutup sehingga berimbas pada gejolak industri pariwisata Bali.

Meskipun terdapat tendensi akibat pandemi sebagai dampak awal, tarikan kemiskinan diperkirakan masih akan berlangsung lebih kuat lagi pada beberapa bulan setelahnya.

Sebagai upaya pemulihan stabilitas ekonomi nasional pemerintah pun telah mengupayakan penanganan dampak Covid-19 dengan kebijakan extraordinary dengan alokasi perlindungan sosial mencapai Rp 203,90 triliun.

Anggaran tersebut dialokasikan untuk bantuan sosial, diskon listrik, PKH, bantuan sembako dan BLT Dana Desa.

Upaya pemulihan perekonomian Bali juga ditandai dengan penetapan masa Bali adaptasi kebiasaan baru sejak 9 Juli 2020.

Dengan demikian optimisme untuk memerangi kemiskinan, tampaknya, bukan hanya sekedar retorika belaka di masa pandemi Covid-19. (I Gede Heprin Prayasta/Mahasiwa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana)

BADAN Pusat Statistik Provinsi Bali secara resmi merilis tingkat kemiskinan di Provinsi Bali meningkat hingga 3,78 persen pada periode Maret 2020.

Angka ini lebih tinggi dari pengukuran pada bulan September 2019 yang mencatat kemiskinan hanya sebesar 3,61 persen.

Kenaikan persentase penduduk miskin terjadi di wilayah perkotaan dimana pada periode Maret 2020 tercatat sebesar 3,33 persen, lebih tinggi dari periode September 2019 yang diperkirakan hanya mencapai 3,04 persen.

Kondisi sebaliknya justru terjadi di wilayah perdesaan yaitu turun dari 4,86 persen di bulan September 2019 menjadi 4,78 persen di periode Maret 2020.

Apakah ini pertanda bahwa gelombang pandemi menghantam penduduk perkotaan cenderung lebih hebat dibandingkan penduduk yang tinggal di daerah perdesaan?

Atau justru sebaliknya penduduk perdesaan jauh lebih tangguh dan siap menghadapi pandemi Covid-19.

Sejak ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO per tanggal 11 Maret 2020, penyebaran virus corona menjadi mimpi buruk tidak hanya di bidang kesehatan namun juga menular ke sektor-sektor strategis seperti ekonomi, sosial, politik, termasuk budaya.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindari sebagai akibat melesunya perekonomian.  

Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali menunjukkan bahwa hingga 9 Juni 2020 jumlah pekerja di sektor formal yang dirumahkan mencapai 73.397 orang.

Sedangkan pekerja yang di PHK mencapai 2.625 orang. Jumlah tersebut diperkirakan masih berpotensi meningkat sampai kondisi perekonomian benar-benar pulih dari jebakan pandemi Covid-19.

Fenomena ini berarti ada sekelompok masyarakat yang harus kehilangan sumber pendapatan sehingga sangat rentan terjerumus ke dalam jurang kemiskinan.

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

Kemiskinan yang dirilis BPS adalah kemiskinan makro yang menggambarkan situasi dalam suatu wilayah biasanya hingga tingkat kabupaten atau kota.

Dalam pengukuran kemiskinan makro ditetapkan garis kemiskinan sebagai besaran ambang batas untuk mengelompokkan penduduk kategori miskin atau tidak miskin.

Kenaikan persentase penduduk miskin menjadi 3,78 persen terjadi akibat adanya dorongan kenaikan garis kemiskinan yang naik sebesar 4,10 persen.

Pada periode September 2019 garis kemiskinan Provinsi Bali ditetapkan Rp 412,906 kemudian meningkat menjadi Rp 429,834 pada periode Maret 2020.

Kenaikan tingkat kemiskinan di perkotaan di Bali sempat terjadi pada periode Maret 2017 sebesar 0,10 persen yang diperkirakan akibat tingkat konsumsi yang rendah.

Sementara situasi saat ini dimaknai sebagai adanya tekanan biaya hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar sesuai dengan konsep BPS yang cukup signifikan sehingga

menyebabkan sekelompok orang yang mungkin sebelum pandemi tidak tergolong sebagai kelompok penduduk miskin namun akibat kehilangan mata pencarian tertarik dari kelompok rentan miskin menjadi miskin.

Hipotesis tersebut didukung hasil analisis threshold kerentanan yang dilakukan oleh Bappenas yang melaporkan bahwa peluang kelompok rentan miskin yang berpeluang jatuh ke kelompok miskin akibat pandemi diprediksi sebesar 44 persen.

Memaknai dinamika penduduk miskin yang kontradiktif antara wilayah perkotaan dan perdesaan tidak hanya cukup dengan interpretasi persentase penduduk miskin.

Sekilas tampak bahwa tekanan kemiskinan justru terjadi lebih berat di wilayah perkotaan.

Indikasi tersebut diperkirakan akibat pada tahap awal meluasnya Covid-19 gelombang PHK dominan terjadi di perkotaan karena sektor formal cenderung lebih banyak digeluti oleh penduduk di wilayah perkotaan.

Meskipun demikian kemiskinan di perdesaan tidak dapat dianggap enteng karena secara persentase masih relatif lebih tinggi dibandingkan penduduk di wilayah perkotaan.

Kecenderungan kemiskinan relatif menurun pada Maret 2020 selain diduga belum terjadi reurbanisasi sebagai respons dampak pandemi tetapi juga akibat pertanian subsisten yang masih digeluti oleh sebagian besar penduduk perdesaan.

Pada periode Maret 2020, penduduk perkotaan masih cenderung optimis bahwa dampak Covid-19 mungkin saja akan berakhir dalam waktu dekat seperti pada saat terjadinya letusan Gunung Agung ataupun tragedi Bom Bali I dan II.

Mereka cenderung bertahan dengan penyangga finansial yang tersedia untuk bertahan hidup. Di sisi lain penduduk perdesaan juga masih mampu memenuhi

kebutuhan dasarnya dimana komoditas beras sebagai komoditas dengan proporsi paling besar pada garis kemiskinan masih berpeluang diperoleh dari hasil produksi sendiri.

Konsekuensi lain dari meningkatnya persentase penduduk miskin adalah ketimpangan pendapatan penduduk di wilayah perkotaan yang cenderung meningkat dari indikator rasio gini sebesar 0,365 pada September 2019 menjadi 0,372 pada Maret 2020.

Sedangkan di perdesaan menurun dari 0,306 menjadi 0,298 pada periode yang sama. Ditinjau dari kedalaman dan keparahan kemiskinan,

penduduk miskin di wilayah perkotaan cenderung berada di dekat dengan garis kemiskinan dengan variasi pendapatan yang tidak terlalu menyebar antar penduduk miskin.

Situasi sebaliknya terjadi di wilayah perdesaan dengan kedalaman dan keparahan kemiskinan yang meningkat menandakan bahwa jarak pendapatan penduduk miskin

di daerah perdesaan semakin jauh di bawah garis kemiskinan dan variasinya cenderung tinggi antara penduduk miskin yang satu dengan penduduk miskin lainnya.

Konsekuensinya adalah diperlukan perumusan kebijakan yang lebih rumit untuk membantu penduduk perdesaan untuk keluar dari garis kemiskinan.

Dinamika kemiskinan pada periode Maret 2020, tampaknya, bisa disebut sebagai dampak awal dari pandemi.

Hal tersebut tidak terlepas dari sejak 5 Februari 2020 penerbangan dari dan ke Tiongkok resmi ditutup sehingga berimbas pada gejolak industri pariwisata Bali.

Meskipun terdapat tendensi akibat pandemi sebagai dampak awal, tarikan kemiskinan diperkirakan masih akan berlangsung lebih kuat lagi pada beberapa bulan setelahnya.

Sebagai upaya pemulihan stabilitas ekonomi nasional pemerintah pun telah mengupayakan penanganan dampak Covid-19 dengan kebijakan extraordinary dengan alokasi perlindungan sosial mencapai Rp 203,90 triliun.

Anggaran tersebut dialokasikan untuk bantuan sosial, diskon listrik, PKH, bantuan sembako dan BLT Dana Desa.

Upaya pemulihan perekonomian Bali juga ditandai dengan penetapan masa Bali adaptasi kebiasaan baru sejak 9 Juli 2020.

Dengan demikian optimisme untuk memerangi kemiskinan, tampaknya, bukan hanya sekedar retorika belaka di masa pandemi Covid-19. (I Gede Heprin Prayasta/Mahasiwa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/