28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:57 AM WIB

“Kami Mungkin Beda Karakteristik, tapi Tetap Satu Indonesia”

Puluhan mahasiswa asal Papua, sedang menempuh pendidikan tinggi di Kabupaten Buleleng. Ketegangan yang terjadi di kampung halaman tetap mereka pantau. Mereka tetap fokus kuliah dan berharap masalah  segera berakhir damai.

 

RUMAH itu sepintas tampak lengang. Saat masuk ke halaman, sayup-sayup terdengar suara obrolan. Ternyata di dalam ada sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang mengobrol. Mendiskusikan tugas-tugas kuliah yang harus diselesaikan hari itu juga.

Salah seorang mahasiswa yang terlibat dalam obrolan itu adalah Lukas Norman Kbarek. Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Buleleng, adalah salah seorang pemuda yang dituakan oleh persaudaraan mahasiswa asal Papua di Buleleng.

Siang itu mereka tak sedang membicarakan isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Seperti ketegangan yang terjadi di Kota Manokwari, Papua Barat dan Kota Jayapura, Provinsi Papua.

Mereka lebih memilih membicarakan tugas kuliah bersama adik-adik tingkatnya, yang baru beberapa pekan ini kuliah di Undiksha. Mereka tampak santai, fokus menuntaskan perkuliahan.

“Tugasnya hari ini harus sudah selesai. Besok harus dibawa saat penutupan OKK (Orientasi Kehidupan Kampus). Biar adik-adik tugasnya cepat selesai,” kata Lukas.

Meski sedang membicarakan tugas kuliah, bukan berarti mereka mengabaikan informasi terkini di tanah kelahirannya. Lewat portal berita online, mereka sudah tahu apa yang sedang terjadi. Namun saat ini mereka lebih memilih fokus pada tugas-tugas kuliah.

Seperti hari-hari sebelumnya, saban hari mereka memang berkumpul di rumah tersebut. Rumah itu menjadi sebuah rumah singgah sekaligus asrama bagi mahasiswa yang kuliah di Singaraja.

Jaraknya sekitar sepelemparan batu, dari Rektorat Undiksha. Saban hari mereka lebih banyak mendiskusikan tugas kuliah yang menumpuk dan harus segera diselesaikan.

Di asrama itu, para mahasiswa asal Papua saling bertukar pikiran soal tugas kuliah. Kakak-kakak tingkat, membimbing adik-adik tingkat mereka, agar tugas bisa diselesaikan dengan baik.

Bila santai, mereka memilih menghibur diri dengan bernyanyi bersama. Atau sekadar berjalan-jalan, melepas jenuh  ke Taman Kota Singaraja.

Seperti hari-hari sebelumnya,  mereka tetap beraktivitas seperti biasa. Meski kondisi di tanah kelahiran sepertinya terlihat tegang, mereka memilih mengabaikan masalah itu untuk sementara itu.

“Kami pun mendengar apa yang terjadi. Tapi, itu bukan menjadi sesuatu yang membuat kami menggebu-gebu turut campur di sana. Kami dari sini selalu memanjatkan doa supaya semua cepat selesai. Karena kami sadar betul bahwa kami ada program beasiswa, dibiayai negara di sini. Jadi aktivitas kami tetap seperti biasa, tetap fokus pada kuliah kami,” ujar Lukas.

Lukas sendiri sudah hampir empat tahun tinggal di Bali Utara. Ia pun sangat bersyukur bisa menempuh pendidikan di Singaraja. Sejauh ini kenalan-kenalan yang ia temui di Singaraja, sangat toleran. Belum pernah ia menerima perlakuan-perlakuan rasis yang bisa saja memicu konflik.

“Rasisme yang timbul konflik, sejauh ini belum pernah terjadi. Kalau singgungan sedikit, kami bawa ke arah bercanda saja. Karena kultur asli orang Buleleng itu kan suka bercanda,” katanya lagi.

Melihat kondisi yang terjadi pada mahasiswa Papua yang ada di Jawa Timur, Lukas dan kawan-kawannya di Buleleng meyakini ada disinformasi yang terjadi. Informasi keliru itu kemudian menyebar dengan pesat dan memicu hal-hal kontroversial, hingga terjadi konflik.

Hal itu kemudian direspons oleh pemuda-pemuda di Papua dan Papua Barat, hingga timbul ketegangan. Lukas pun yakin betul bila mahasiswa yang tinggal di Malang dan Surabaya tak berniat melakukan hal-hal yang kontroversial. “Kami tahu betul kawan-kawan di sana itu tujuannya kuliah. Artinya mereka datang tuntut ilmu, supaya jadi bekal untuk membangun Papua bersama-sama. Mungkin konflik ini terjadi karena berita hoaks. Mungkin juga orang-orang melakukan provokasi, sehingga jadi konflik di sana. Saya sangat yakin kawan-kawan di sana (Jawa Timur) tidak membicarakan sesuatu yang kontroversial,” tegas pemuda asal Kota Biak, Provinsi Papua itu.

Dia pun berharap pemerintah bisa segera meredam suasana dengan bijak, sejuk, sehingga kembali kondusif. “Kami mungkin beda dalam karakteristik, tapi kami tetap satu Indonesia,” ujar Lukas sambil tersenyum, santai.

Hal serupa juga diungkapkan Milka Bivak. Mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi Undiksha itu baru dua pekan terakhir bermukim di Buleleng. Dia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk menempuh pendidikan di Singaraja.

Selama dua pekan terakhir, dia merasa tak ada masalah. Tetap disambut dengan baik oleh mahasiswa-mahasiswa lain. “Untuk keluhan biasanya hanya tugas-tugas yang diberikan oleh kampus saja,” katanya seraya tersenyum

Remaja asal Merauke itu juga telah mendengar informasi ketegangan di tanah kelahirannya. “Kami sebagai mahasiswa di sini, berharap biar masalah ini bisa segera diselesaikan dengan baik. Selesai dengan pikiran dingin. Kami ingin kita ini selalu bersatu. Meski beda suku, tapi kita adalah satu NKRI,” tegas Milka.(eka prasetya)

Puluhan mahasiswa asal Papua, sedang menempuh pendidikan tinggi di Kabupaten Buleleng. Ketegangan yang terjadi di kampung halaman tetap mereka pantau. Mereka tetap fokus kuliah dan berharap masalah  segera berakhir damai.

 

RUMAH itu sepintas tampak lengang. Saat masuk ke halaman, sayup-sayup terdengar suara obrolan. Ternyata di dalam ada sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang mengobrol. Mendiskusikan tugas-tugas kuliah yang harus diselesaikan hari itu juga.

Salah seorang mahasiswa yang terlibat dalam obrolan itu adalah Lukas Norman Kbarek. Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Buleleng, adalah salah seorang pemuda yang dituakan oleh persaudaraan mahasiswa asal Papua di Buleleng.

Siang itu mereka tak sedang membicarakan isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Seperti ketegangan yang terjadi di Kota Manokwari, Papua Barat dan Kota Jayapura, Provinsi Papua.

Mereka lebih memilih membicarakan tugas kuliah bersama adik-adik tingkatnya, yang baru beberapa pekan ini kuliah di Undiksha. Mereka tampak santai, fokus menuntaskan perkuliahan.

“Tugasnya hari ini harus sudah selesai. Besok harus dibawa saat penutupan OKK (Orientasi Kehidupan Kampus). Biar adik-adik tugasnya cepat selesai,” kata Lukas.

Meski sedang membicarakan tugas kuliah, bukan berarti mereka mengabaikan informasi terkini di tanah kelahirannya. Lewat portal berita online, mereka sudah tahu apa yang sedang terjadi. Namun saat ini mereka lebih memilih fokus pada tugas-tugas kuliah.

Seperti hari-hari sebelumnya, saban hari mereka memang berkumpul di rumah tersebut. Rumah itu menjadi sebuah rumah singgah sekaligus asrama bagi mahasiswa yang kuliah di Singaraja.

Jaraknya sekitar sepelemparan batu, dari Rektorat Undiksha. Saban hari mereka lebih banyak mendiskusikan tugas kuliah yang menumpuk dan harus segera diselesaikan.

Di asrama itu, para mahasiswa asal Papua saling bertukar pikiran soal tugas kuliah. Kakak-kakak tingkat, membimbing adik-adik tingkat mereka, agar tugas bisa diselesaikan dengan baik.

Bila santai, mereka memilih menghibur diri dengan bernyanyi bersama. Atau sekadar berjalan-jalan, melepas jenuh  ke Taman Kota Singaraja.

Seperti hari-hari sebelumnya,  mereka tetap beraktivitas seperti biasa. Meski kondisi di tanah kelahiran sepertinya terlihat tegang, mereka memilih mengabaikan masalah itu untuk sementara itu.

“Kami pun mendengar apa yang terjadi. Tapi, itu bukan menjadi sesuatu yang membuat kami menggebu-gebu turut campur di sana. Kami dari sini selalu memanjatkan doa supaya semua cepat selesai. Karena kami sadar betul bahwa kami ada program beasiswa, dibiayai negara di sini. Jadi aktivitas kami tetap seperti biasa, tetap fokus pada kuliah kami,” ujar Lukas.

Lukas sendiri sudah hampir empat tahun tinggal di Bali Utara. Ia pun sangat bersyukur bisa menempuh pendidikan di Singaraja. Sejauh ini kenalan-kenalan yang ia temui di Singaraja, sangat toleran. Belum pernah ia menerima perlakuan-perlakuan rasis yang bisa saja memicu konflik.

“Rasisme yang timbul konflik, sejauh ini belum pernah terjadi. Kalau singgungan sedikit, kami bawa ke arah bercanda saja. Karena kultur asli orang Buleleng itu kan suka bercanda,” katanya lagi.

Melihat kondisi yang terjadi pada mahasiswa Papua yang ada di Jawa Timur, Lukas dan kawan-kawannya di Buleleng meyakini ada disinformasi yang terjadi. Informasi keliru itu kemudian menyebar dengan pesat dan memicu hal-hal kontroversial, hingga terjadi konflik.

Hal itu kemudian direspons oleh pemuda-pemuda di Papua dan Papua Barat, hingga timbul ketegangan. Lukas pun yakin betul bila mahasiswa yang tinggal di Malang dan Surabaya tak berniat melakukan hal-hal yang kontroversial. “Kami tahu betul kawan-kawan di sana itu tujuannya kuliah. Artinya mereka datang tuntut ilmu, supaya jadi bekal untuk membangun Papua bersama-sama. Mungkin konflik ini terjadi karena berita hoaks. Mungkin juga orang-orang melakukan provokasi, sehingga jadi konflik di sana. Saya sangat yakin kawan-kawan di sana (Jawa Timur) tidak membicarakan sesuatu yang kontroversial,” tegas pemuda asal Kota Biak, Provinsi Papua itu.

Dia pun berharap pemerintah bisa segera meredam suasana dengan bijak, sejuk, sehingga kembali kondusif. “Kami mungkin beda dalam karakteristik, tapi kami tetap satu Indonesia,” ujar Lukas sambil tersenyum, santai.

Hal serupa juga diungkapkan Milka Bivak. Mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi Undiksha itu baru dua pekan terakhir bermukim di Buleleng. Dia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk menempuh pendidikan di Singaraja.

Selama dua pekan terakhir, dia merasa tak ada masalah. Tetap disambut dengan baik oleh mahasiswa-mahasiswa lain. “Untuk keluhan biasanya hanya tugas-tugas yang diberikan oleh kampus saja,” katanya seraya tersenyum

Remaja asal Merauke itu juga telah mendengar informasi ketegangan di tanah kelahirannya. “Kami sebagai mahasiswa di sini, berharap biar masalah ini bisa segera diselesaikan dengan baik. Selesai dengan pikiran dingin. Kami ingin kita ini selalu bersatu. Meski beda suku, tapi kita adalah satu NKRI,” tegas Milka.(eka prasetya)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/