Oleh: Dahlan Iskan
Namanya masjid Istiqlal. Lokasinya di kota Houston, Texas, Amerika.
Saya salat maghrib di situ. Minggu malam kemarin. Satu jam dari Pasadena: kawasan petro chemical yang begitu masifnya. Di pantai teluk Meksiko.
Hampir saja ketinggalan salat berjamaah. Tinggal rakaat terakhir. Sore itu sulit memacu mobil. Silaunya luar biasa. Mata sampai sakit. Matahari seperti melotot tepat di depan kemudi.
Masjid itu di arah barat Houston. Kacamata hitam pun tidak membantu. Kacamata murahan. Khusus untuk di jalan: 12 dolar. Belinya pun hanya di Walmart.
Saya terpana: lokasi masjid ini luas sekali. Bangunannya terasa kecil. Bangunan lama.
Masih dalam rencana. Membangun yang baru.
Besar sekali. Dua lantai.
Ternyata tanahnya 2,3 ha.
”Semula kami beli tanah di lokasi lain,” ujar pak Muharror Zuhri. Yang jadi imam salat maghrib itu.
Setelah tanah dibeli ada info masuk. Di sebelah tanah itu ada tanah kosong. Yang juga akan dibangun masjid. Namanya masjid Darul Ulum. Pemrakarsanya masyarakat keturunan Pakistan.
Maka dicari lokasi lain. Kebetulan Darul Ulum mau membeli tanah itu. Dua kali lebih luas dari tanah Darul Ulum sendiri.
Saat cari-cari lokasi baru itulah terlihat ada gereja sepi. Seperti sudah ditinggalkan jemaatnya. Tidak ada lagi nama gerejanya. Hanya terpampang pemberitahuan: tanah ini dijual.
”Kami minta ijin masuk. Kami tanya apakah betul lokasi ini dijual,” kisah Muharror.
Ternyata betul. Hanya ada satu orang yang menunggu lokasi itu: cucu Pastor yang dulu menggembala di gereja itu.
Transaksi jual beli pun terjadi. Tiga tahun lalu.
Belum cukup uang untuk segera membangun masjid yang baru. Bangunan gereja itu saja yang dimanfaatkan. Hanya menambah tempat imam. Dan menghilangkan altar. Lalu melapisi lantainya dengan karpet. Tebal dan empuk.
”Kami beri nama Istiqlal agar ada asosiasi dengan Indonesia,” ujar Zulfan Harahap. Yang saat transaksi terjadi menjabat presiden IAMC Houston. IAMC adalah Indonesian American Muslim Community.
”Istiqlal artinya kan freedom. Cocok dengan pemikiran kami,” tambahnya.
Zulfan lulusan geofisika ITB. Yang bekerja di perusahaan terkait minyak. Asal Padang Sidempuan. Wilayah Sumut dekat perbatasan Sumbar.
Rumah Zulfan jauh dari masjid. Saya baru bertemu setelah isya. Saat makan malam. Di restoran Mama Yu. Lima mil dari masjid itu.
Pak Muharror juga menyusul ke Mama Yu. Yang tadi jadi imam itu. Bersama pengurus masjid lain. Gayeng. Bisa ngobrol lama. Sambil makan tongseng kambing, soto ayam, nasi goreng teri, tahu isi dan ikan bumbu kuning.
Tongsengnya gaya Semarangan. Yang masak bu Ayu, istri Pak Hendro Pramono.
Dulu Ayu sering main sinetron. Dikenal dengan nama Ayu Lestari.
Dari Ayu itulah nama Mama Yu diambil. Dihilangkan A-nya.
Sekilas Mama Yu seperti nama resto chinese food. Disengaja. Untuk memperluas pasar. Terbukti.
Larut malam itu masih ada dua orang Tionghoa. Lagi makan di situ. Saya sapa mereka dengan bahasa Mandarin.
”Lho saya dari Indonesia pak Dahlan. Gak bisa bahasa Mandarin. Saya dari Jakarta,” ujar wanita muda itu.
”Itu yang bisa Mandarin,” tambahnya sambil menunjuk teman laki-laki di depannya.
Saya ngobrol dengan ia. Ternyata dari Tiongkok. Dari propinsi Guangdong.
Sudah lima tahun pak Hendro membuka Mama Yu. Satu-satunya yang 100 persen masakan nusantara. Resto Indonesia lainnya disatukan dengan chinese food.
Hendro juga dari ITB. Planologi. Mengaku tidak sampai lulus. Aktivis masjid Salman. Seangkatan dengan Bang Imad.
Imam masjid asal Blitar dan juragan resto asal Salatiga ini ternyata besanan.
Muharror sendiri Blitarnya dari Ngadirejo. Sejak kecil sudah ingin jadi imam. Seperti ayahnya. Masa kecilnya tinggal di masjid. Di depan rumahnya.
Tamat SMP 3 Blitar Muharror ikut kakaknya. Ke Surabaya. Masuk SMAN di jalan Darmahusada. Lalu menggelandang ke Jakarta. Melamar bekerja di Hotel City. Yang lagi dibangun di Glodok. Diterima.
Muharror disekolahkan dulu. Sekolah masak.
Dari Hotel City Muharror pindah ke restoran Oasis. Yang terkenal itu. Milik Tirto Utomo itu. Pendiri Aqua itu.
Tirto lantas buka restoran di New York. Muharrorlah yang dikirim ke Amerika. Restoran Indonesia pertama di New York. Restaurant Nusantara.
Kelak Muharror punya restoran sendiri di New York: Borobudur.
Saat berumur 56 tahun ia jual Borobudur. Tidak kuat lagi tinggal di New York. Terlalu dingin. Kena encok. Dokter menyarankan pindah ke daerah hangat.
Ia pilih Houston ini. Ketemu masyarakat Islam Indonesia di sini. Jadilah ia imam masjid. Di Amerika ini. Seperti yang ia impikan sejak kecil. Sejak tinggal di masjid di Ngadirejo dulu. (Dahlan Iskan)