31 C
Jakarta
19 April 2024, 11:57 AM WIB

Watik Tak Mampu Tahan Tangis Saat Perankan “Aku, Perempuan Batu”

Pementasan kedua dalam project 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah, berlangsung haru. 

Tangis Watik pun pecah dalam pementasan itu. 

EKA PRASETYA, Buleleng

WATIK tak bisa menahan tangisnya saat memerankan naskah “Aku, Perempuan Batu” yang ditulis dan disutradarai Kadek Sonia Piscayanti.

Saat pementasan usai, Watik pun belum berhasil mengendalikan tangisnya.

Watik tampil pada Minggu (12/8) malam lalu di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja. 

Watik yang didaulat menjadi aktor dalam pentas monolog itu, sama sekali tak memiliki pengalaman sebagai pemain teater. 

Sebaliknya, ia hanya seorang tukang batu yang kisah hidupnya sangat getir.

 

Naskah yang dimainkan malam itu, memang banyak mengeksplorasi kisah hidup Watik sebagai seorang buruh. 

Ia hanya lulusan sekolah dasar sehingga praktis tak memilih keahlian apa-apa. 

Ia kemudian menikah pada usia 15 tahun dan terpaksa menjadi buruh kasar untuk kebutuhan sehari-hari.

Sebelum menjadi tukang batu seperti sekarang ini, ia melakoni berbagai pekerjaan kasar. 

Mulai dari buruh penyabit rumput, buruh petik buah, hingga buruh pengangkut kotoran ternak. 

Sebagaimana pekerjaan informal lainnya, upah yang diterima pun sangat minim. Seringkali Watik hanya menerima upah Rp 100ribu seminggu.

Belum lagi kisah keluarganya yang cerai berai. Ia sudah dua kali menikah, namun gagal mempertahankan biduk rumah tangga. 

Sejak perceraian kedua, ia harus menjadi tulang punggung utama keluarga. 

Memerankan kisah hidupnya dalam bentuk teater, benar-benar membuat Watik larut oleh kisah.

Sutradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti mengaku baru pertama kalinya menyutradarai seorang tukang batu. 

Ia sengaja mengangkat kisah hidup Watik, karena dimatanya hidup Watik keras bagaikan batu. 

Watik juga bekerja keras seperti batu yang tak kenal lelah dan putus asa.

Hidup Watik seolah menjadi batu pijakan bagi keluarganya.

“Ibu Watik sengaja saya libatkan sebagai perspektif untuk mewakili perempuan dari kalangan kelas sosial bawah. 

Sejak awal saya mendedikasikan project ini sebagai ruang dengar bagi perempuan, ruang bagi perempuan berbagi cerita dari kalangan manapun itu, sekaligus ruang bagi perempuan untuk saling mendukung,” kata Sonia.

Menurutnya, menyutradari Watik merupakan tantangan tersendiri. 

Bukan hanya harus melatih dari nol. 

Watik sendiri sudah belasan tahun lepas dari teks. 

Sehingga saat membaca naskah, ia mengalami kesulitan tersendiri. 

Naskah dipahami sebagai buku teks, yang dibaca selayaknya anak SD yang baru belajar membaca. 

Namun dalam pementasan malam itu, Watik benar-benar menghayati perannya.

Sementara itu salah seorang penonton, Roy Julian mengatakan, project yang digarap Sonia merupakan sebuah hal yang sangat orisinil. 

Pertunjukan dibuat sangat dekat dengan biografi aktor itu sendiri, sekaligus mementaskan sejarah hidup aktornya sendiri tanpa rekayasa.

Menurut pria yang kesehariannya bergiat di Kantor Teater Jakarta itu, proses melibatkan ibu-ibu dalam pementasan tersebut sangat menarik.

Terlebih ibu-ibu itu tak memiliki dasar sebagai seorang aktor. 

Hal itu menjadi antitesis bagi para sutradara, karena dalam sebuah project, sutradara cenderung memilih aktor yang sudah memiliki pengalaman panggung.

Selain itu, ia mengaku memiliki pengalaman baru dalam menyaksikan pmenetasan teater. 

“Saya sering menonton teater, dan ini menjadi pengalaman menonton yang menarik dan menggetarkan bagi saya.

Terutama ketika melihat Mbak Watik bermain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ini menjadi semacam pencerahan bagi aktor itu sendiri. 

Saya melihat pementasan malam ini menjadikan teater  sebagai sebuah daya hidup untuk menemukan harapan dan semangat baru, bukan sekadar hiburan semata,” kata Roy. 

Pementasan kedua dalam project 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah, berlangsung haru. 

Tangis Watik pun pecah dalam pementasan itu. 

EKA PRASETYA, Buleleng

WATIK tak bisa menahan tangisnya saat memerankan naskah “Aku, Perempuan Batu” yang ditulis dan disutradarai Kadek Sonia Piscayanti.

Saat pementasan usai, Watik pun belum berhasil mengendalikan tangisnya.

Watik tampil pada Minggu (12/8) malam lalu di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja. 

Watik yang didaulat menjadi aktor dalam pentas monolog itu, sama sekali tak memiliki pengalaman sebagai pemain teater. 

Sebaliknya, ia hanya seorang tukang batu yang kisah hidupnya sangat getir.

 

Naskah yang dimainkan malam itu, memang banyak mengeksplorasi kisah hidup Watik sebagai seorang buruh. 

Ia hanya lulusan sekolah dasar sehingga praktis tak memilih keahlian apa-apa. 

Ia kemudian menikah pada usia 15 tahun dan terpaksa menjadi buruh kasar untuk kebutuhan sehari-hari.

Sebelum menjadi tukang batu seperti sekarang ini, ia melakoni berbagai pekerjaan kasar. 

Mulai dari buruh penyabit rumput, buruh petik buah, hingga buruh pengangkut kotoran ternak. 

Sebagaimana pekerjaan informal lainnya, upah yang diterima pun sangat minim. Seringkali Watik hanya menerima upah Rp 100ribu seminggu.

Belum lagi kisah keluarganya yang cerai berai. Ia sudah dua kali menikah, namun gagal mempertahankan biduk rumah tangga. 

Sejak perceraian kedua, ia harus menjadi tulang punggung utama keluarga. 

Memerankan kisah hidupnya dalam bentuk teater, benar-benar membuat Watik larut oleh kisah.

Sutradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti mengaku baru pertama kalinya menyutradarai seorang tukang batu. 

Ia sengaja mengangkat kisah hidup Watik, karena dimatanya hidup Watik keras bagaikan batu. 

Watik juga bekerja keras seperti batu yang tak kenal lelah dan putus asa.

Hidup Watik seolah menjadi batu pijakan bagi keluarganya.

“Ibu Watik sengaja saya libatkan sebagai perspektif untuk mewakili perempuan dari kalangan kelas sosial bawah. 

Sejak awal saya mendedikasikan project ini sebagai ruang dengar bagi perempuan, ruang bagi perempuan berbagi cerita dari kalangan manapun itu, sekaligus ruang bagi perempuan untuk saling mendukung,” kata Sonia.

Menurutnya, menyutradari Watik merupakan tantangan tersendiri. 

Bukan hanya harus melatih dari nol. 

Watik sendiri sudah belasan tahun lepas dari teks. 

Sehingga saat membaca naskah, ia mengalami kesulitan tersendiri. 

Naskah dipahami sebagai buku teks, yang dibaca selayaknya anak SD yang baru belajar membaca. 

Namun dalam pementasan malam itu, Watik benar-benar menghayati perannya.

Sementara itu salah seorang penonton, Roy Julian mengatakan, project yang digarap Sonia merupakan sebuah hal yang sangat orisinil. 

Pertunjukan dibuat sangat dekat dengan biografi aktor itu sendiri, sekaligus mementaskan sejarah hidup aktornya sendiri tanpa rekayasa.

Menurut pria yang kesehariannya bergiat di Kantor Teater Jakarta itu, proses melibatkan ibu-ibu dalam pementasan tersebut sangat menarik.

Terlebih ibu-ibu itu tak memiliki dasar sebagai seorang aktor. 

Hal itu menjadi antitesis bagi para sutradara, karena dalam sebuah project, sutradara cenderung memilih aktor yang sudah memiliki pengalaman panggung.

Selain itu, ia mengaku memiliki pengalaman baru dalam menyaksikan pmenetasan teater. 

“Saya sering menonton teater, dan ini menjadi pengalaman menonton yang menarik dan menggetarkan bagi saya.

Terutama ketika melihat Mbak Watik bermain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ini menjadi semacam pencerahan bagi aktor itu sendiri. 

Saya melihat pementasan malam ini menjadikan teater  sebagai sebuah daya hidup untuk menemukan harapan dan semangat baru, bukan sekadar hiburan semata,” kata Roy. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/