Hongkong mau punya Gurkha lagi. Seperti di zaman penjajahan Inggris dulu. Gurkha baru ini juga akan dipekerjakan sebagai aparat keamanan.
Tapi khusus untuk di stasiun-stasiun MTR –kereta bawah tanah. Mengapa? Selama hampir 100 hari ini banyak stasiun MTR yang dirusak demonstran.
Setidaknya 40 stasiun yang jadi sasaran kemarahan pendemo. Banyak petugas keamanan MTR yang mudah terpancing. Mereka mudah marah. Terutama kalau terus diejek dan dimaki demonstran.
Petugas keamanan itu akan digantikan oleh Gurkha. Agar tidak mudah tersinggung. Agar tidak terjadi bentrok. Di zaman penjajahan dulu, Inggris memang mempekerjakan Gurkha.
Sebagai tentara Inggris di Hongkong. Pasukan Gurkha itu sudah dibubarkan. Sudah tidak ada lagi. Sejak Inggris menyerahkan Hongkong ke Tiongkok.
Tahun 1997. Istilah pasukan Gurkha terkenal di Indonesia. Terutama di sekitar Pertempuran 10 Nopember 1945. Yang lantas menjadi Hari Pahlawan itu.
Waktu itu Inggris kembali ke Indonesia. Setelah Jepang kalah di Perang Dunia ke-2 dan meninggalkan Indonesia. Inggris merasa berhak menguasai kembali Indonesia.
Pasukan Inggris tiba di Tanjung Perak Surabaya. Sebagian besar mereka adalah tentara Gurkha. Yakni tentara berkebangsaan Nepal. Orang Indonesia, umumnya mengira Gurkha itu berasal dari India.
Wajah mereka memang sangat mirip. Nepal memang satu rumpun dengan India. Letaknya pun berbatasan dengan India. Sekarang pun masih banyak eks Gurkha yang tinggal di Hongkong.
Beserta keluarga mereka. Menurut sensus 2011, masih ada 25.000 warga Nepal tinggal di Hongkong. Menjadi warga negara Hongkong. Mereka itulah yang akan direkrut menjadi petugas keamanan MTR.
Menghadapi demo yang tidak kunjung berakhir itu CEO MTR nekad. “Kami akan merekrut sekitar 200 Gurkha,” kata Jacob Jam, sang CEO.Mengapa? “Mereka kan tidak mengerti bahasa Kanton. Tidak mudah terpancing,” ujar Jacob.
Makian para demonstran itu umumnya memang dalam bahasa Kanton. Kata ‘anjing’, ‘babi’, ‘preman’ sering ditujukan pada mereka. Petugas keamanan MTR sering terpancing.
Lalu melawan. Akibatnya kian rusuh. Orang Gurkha tidak akan tersinggung dimaki-maki sebagai anjing –kan tidak mengerti kata anjing dalam bahasa Kanton.
Tentara Gurkha juga dianggap lebih tegas. Mereka tidak punya banyak teman atau kenalan. Siapa pun yang melanggar bisa ditindak. Orang Hongkong juga bisa lebih segan.
Terbukti dulu, penjajah Inggris sukses menjaga keamanan Hongkong dengan menggunakan Gurkha. Namun Gurkha Hongkong umumnya sudah pensiun.
Yang masih muda di tahun 1997 pun kini sudah dalam usia pensiun. Tapi Jacob akan tetap mempekerjakan mereka. “Demonstran itu tidak hanya merusak. Mereka juga banyak yang loncat portal. Menghindari pembayaran,” ujar Jacob.
Tanggal 17 September ini demo di Hongkong genap 100 hari. Kian brutal pula. Sampai pekan lalu sudah 1.453 yang ditahan. Termasuk 280 wanita.
Polisi sudah menggunakan 2.414 tabung gas airmata. Tapi demo belum surut. Memasuki hari ke 100 ini memang ada tren baru: demo nyanyi. Lagunya Glory of Hongkong –lagu perjuangan para demonstran.
Tempat nyanyinya di mal. Biasanya dilanjutkan dengan lagu-lagu gereja. Inti dari gerakan ini memang para aktivis gereja juga. Aktivis pro Tiongkok ganti menyanyi.
Lagu kebangsaan Tiongkok. Di mal yang sama. Sambil mengibarkan bendera RRT. Saling adu lagu ini hanya tiga hari. Setelah itu justru saling adu fisik.
Antara yang pro demonstran dan yang anti. Padahal asyik juga kalau perlawanan ini hanya sebatas saling serang dalam bentuk lagu. Joshua Wong sendiri sudah sampai di Washington DC.
Tokoh demo berumur 22 tahun itu sudah menemui anggota Kongres. Yang merancang usulan UU demokrasi dan kebebasan di Hongkong. Yang usulan itu sudah ditandatangani 40 anggota Kongres dan Senat.
“Itu hanya menegaskan bahwa memang ada campur tangan asing di Hongkong”. Begitu penilaian juru bicara Kemlu Tiongkok. Lebih dari itu, Tiongkok juga mengingatkan “Tidak mungkin Barat bisa menolong kalian, karena mereka sudah repot dengan diri sendiri”.
Intinya: belum ada titik terang di Hongkong. Tiongkok belum mau turun tangan –menjaga komitmen perjanjian penyerahan Hongkong tahun 1997.
Pemerintah Hongkong tidak menunjukkan tanda-tanda tunduk pada tekanan demonstran. Para pendemo masih berpegang pada lima tuntutan mereka. Yang demo tidak mau mendengar pemerintah. Pemerintah tidak mau mendengar demo.
Saya teringat ucapan tokoh masa lalu: banyak orang mau mendengar. Tapi mendengar hanya untuk menjawab, bukan mendengar untuk memahami.(Dahlan Iskan)