RadarBali.com – Bawaslu Bali memilih “menunggu” terkait kisruh rasionalisasi anggaran Pilkada 2018.
Lebih-lebih setelah “curhat” ke Kemendagri, dan Bawaslu RI, pihaknya mendapat penjelasan bahwa kasus tersebut aneh dan baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Ya, rencana pemotongan dilakukan pasca penandatanganan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Bawaslu Bali.
Ketua Bawaslu Bali Ketut Rudia kemarin (18/11) menyebut, pihaknya akan mengikuti saran Tim Ahli Monitoring Pilkada 2018.
Saran dimaksud berupa pertemuan khusus KPU – Bawaslu – Pemprov Bali – DPRD Bali. “Untuk membicarakan mana yang bisa dirasionalisasi.
Ini yang kami tunggu. Kan kami bisa menjelaskan. Seharusnya itu datang dari pihak mereka (DPRD Bali, red). Kalau kami kan sudah selesai setelah penandatangan NPHD (Rp 62.898.316.000, red),” tegasnya.
Rudia tak menampik pernah diundang untuk membahas rasionalisasi anggaran tersebut. Akan tetapi dia mengaku kecewa.
“Setelah kita jelaskan opsi yang muncul ujug-ujug harus dipotong. Yang mana harus dirasionalisasi. Kalau Rp 39 miliar titik ya rasionalisasi ini tidak masuk akal,” tegasnya.
Kenapa tidak rasional? Rudia menyebut Bawaslu sudah mulai bekerja. “Rasionalisasinya Rp 23 miliar. Sementara sekarang ini sudah ada beberapa realisasi dana.
Sewa-sewa (12 bulan, red) sudah realisasi biar mereka bisa kerja,” tandasnya sembari menyebut anggaran yang disepakati lewat NPHD diperuntukkan untuk Pemilu Nasional, Pilgub, dan Pilbup.
“Ini hajatan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin loh. Melahirkan DPR di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Persoalan ini harus dilihat secara holistik,” tegas Rudia.