Pandemi membuat warga menjadi kreatif. Seperti yang dilakukan oleh I Ketut Witama, 43, warga Desa Kayuputih Melaka, Kecamatan Sukasada.
Pria ini mengolah sampah basah menjadi eco enzyme. Cairan itu kemudian dijadikan sebagai pestisida, pupuk, hingga cairan pembersih pengganti deterjen.
EKA PRASETYA, Singaraja
I KETUT WITAMA, staf di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Buleleng itu mengaku baru mengenal eco enzyme beberapa bulan jelang pandemi.
Saat itu ia mengenal eco enzyme ketika Komunitas Eco Enzyme Buleleng mengenalkan cairan tersebut pada komunitas lingkungan.
Pada awal sosialisasi, ia justru cuek dengan sosialisasi itu. “Awalnya ya saya biasa saja dengar eco enzyme itu. Karena saya sudah pernah buat kompos,
buat olahan sampah organik yang lain juga sudah pernah. Jadi saya waktu itu merasa biasa saja,” ujar I Ketut Witama.
Belakangan saat masa pandemi, ia mulai merasa jenuh. Tadinya ia merasa senang, saat dirumahkan. Karena pekerjaan-pekerjaan rutin bisa dikerjakan dari rumah.
Namun lama kelamaan, ia malah merasa bosan. Bahkan mulai merasa stres. Biasanya bangun pagi, rutinitasnya mandi, berangkat ke kantor, ambil pekerjaan.
Saat itu mulai merasa jenuh. “Awalnya sih rasanya asyik nih. Jadi pegawai, dirumahkan, tapi tidak pusing-pusing mikirin pekerjaan. Tapi lama kelamaan kok berat juga diam di rumah,” katanya lagi.
Bermula dari rasa jenuh itu, ia mulai mengembangkan eco enzyme di rumahnya. Tadinya ia membuat eco enzyme untuk skala kecil saja.
Sebotol air mineral dengan kapasitas 1,5 liter diolah menjadi eco enzyme. Semula ia hanya memanfaatkan limbah rumah tangga di rumah untuk pembuatan eco enzyme.
Lama kelamaan ia malah memulung sampah di beberapa pedagang. Pedagang buah maupun pedagang es buah, kerap didatangi tiap kali ia pulang kantor.
Tak hanya pedagang buah, beberapa mini market juga telah “bekerjasama” dengan Witama untuk menyalurkan buah-buah busuk. Sampah buah yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam tong berukuran 35 liter.
Sampah buah dicampur dengan air dan molase. Tong kemudian ditutup dan didiamkan selama 3 bulan.
Setelah dipanen, Witama memanfaatkan eco enzyme untuk kebutuhan pribadi. Seperti pestisida dan pupuk organik tanaman di rumah.
Belakangan ia memanfaatkan eco enzyme untuk mengepel lantai, membersihkan kaca, mencuci sepeda motor, serta melunturkan kerak pada peralatan upakara.
Belakangan eco enzyme juga ia gunakan untuk mencuci pakaian, mencuci piring, keramas, sabun mandi, bahkan untuk sikat gigi.
“Jadinya ya lumayan, pengeluaran keluarga berkurang. Tidak keluar uang lagi untuk beli deterjen. Karena sudah pakai eco enzyme ini,” katanya.
Sementara itu Kepala DLH Buleleng Putu Ariadi Pribadi mengungkapkan, saat ini pihaknya juga mengembangkan eco enzyme atas saran dari komunitas.
Kini seluruh staf di DLH Buleleng sudah diwajibkan membuat eco enzyme secara swadaya. “Kami harap ini bisa mengurangi sampah yang keluar dari rumah tangga.
Jadi bisa dilakukan pemilihan sejak di rumah tangga. Sampah dapur bisa diolah jadi eco enzyme atau kompos, sampah plastik bisa ditabung di bank sampah. Sedangkan yang residu, baru nanti dibuang ke TPA,” kata Ariadi. (*)