Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) baru-baru ini merilis angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Provinsi Bali tahun ini mencapai 78 per 100 ribu kelahiran.
Angka tersebut di bawah rata-rata nasional, yakni di atas 120 per 100 ribu. Ini tentu membanggakan, mengingat di era 1969-1971 800 ibu meregang nyawa per 100 ribu kelahiran.
I KADEK SURYA KENCANA, Denpasar
RIWAYAT hidupnya cukup berliku. Serangan sakit stroke tak membuat pria 80 tahun itu melupakan ujian berat yang dihadapinya kala pertama kali menyandang gelar spesialis kandungan tahun 1969 silam.
Bayangkan dari 6.761 persalinan kala itu 54 orang ibu meninggal dunia akibat melahirkan. Berbekal keterampilan obstetri, yakni ilmu bedah kedokteran yang khusus mempelajari cara memperlakukan wanita dan bayi selama masa kehamilan, proses kelahiran, dan puerperium (periode setelah kelahiran), Ida Bagus Gde Manuaba akhirnya mampu menekan AKI hingga 680 kematian per 100 ribu kelahiran tiga tahun setelahnya (1972-1974).
Pada periode selanjutnya, jumlah tersebut semakin surut. RS Sanglah mencatat pada 1996-2000 kematian maternal atau akibat melahirkan sebesar 170 per 100 ribu kelahiran.
Dengan kata lain dari 28.872 persalinan 48 ibu meninggal dunia. “Sebenarnya waktu itu (1964 ) saya ingin mencari spesialis penyakit dalam. Tapi saya lihat daftar yang rencana masuk ke Bali 17 dokter spesialis. Saya lihat bagian kebidanan kosong. Saya pilih yang sisan pilih. Supaya lebih cepat pulang karena orang tua yang sudah lingsir (tua),” ucap pria bernama lengkap Profesor dr. Ida Bagus Gde Manuaba, SpOG yang lahir di Banjar Anyar, Kediri, Tabanan, 26 April 1937 kepada Jawa Pos Radar Bali, Rabu lalu (16/8).
Meski tak lagi muda, Ratu Aji, demikian sapaan akrab Prof. Manuaba, masih ingat betul nama kapal asing yang ditumpanginya menuju Universitas Airlangga, Surabaya.
“Kapal Belanda Blasius lewat Pelabuhan Buleleng,” kenangnya. Dirinya menyebut saat itu pesawat masih jarang.
“Naik kapal dari Tabanan ke Singaraja. Di sana bertemu dengan teman lalu berangkat bersama dari Singaraja naik kapal laut. Kapal besar di Singaraja. Di Gilimanuk kapal kecil,” ucapnya dokter spesialis kandungan pertama di Bali dan 59 di Indonesia itu.
Imbuh Prof. Manuaba, tujuh tahun sebelum mengambil spesialis orang tuanya berpesan agar bagaimana pun caranya gelar dokter harus didapat.
Kedua gelar itu pun komplit diraih tahun 1969. Menariknya, status prestisius itu diraih berbekal prestasi. Kuliah Ida Bagus Gde Manuaba dibiayai oleh negara.
“Sekolah kedokteran ikatan dinas. Dibiayai oleh negara. Uang buku dapat, gaji dapat, uang tunjangan, indekos, seperti layaknya PNS. Jadi kuliah tak bayar. Itu semua negara yang nanggung,” tandasnya.
Cerita menarik terselip kala pria penerima penghargaan sebagai 45 tokoh cendekiawan Indonesia bersama Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah (dokter spesialis saraf dan jiwa sekaligus perintis RS Sanglah) dan Prof. Dr. I Made Bandem dari Pemerintahan Presiden Soeharto dengan wakil BJ Habibie pada 1997 mengenyam bangku kuliah selama 11 tahun di Universitas Airlangga, Surabaya.
Dikisahkan, mahasiswa persiapan spesialis (semacam matrikulasi atau penyetaraan) berjumlah 440 orang.
Setelah sembilan bulan mengikuti perkuliahan hanya 33 orang yang lulus termasuk dirinya. “Harus benar-benar belajar. Sing ade nak ngerunguang (tak ada yang peduli). Dosen juga simpel. Kamu mau maju silakan, mau mundur silakan,” ungkapnya penuh senyuman.
Prof. Manuaba menyebut dosen-dosennya kala itu tak mengenal mahasiswa; begitu juga sebaliknya.
“Pokoknya dia mengajar kami harus belajar. Kalau sekarang kan didikte. Di sana baru buka pintu dosen sudah bicara. Mau tulis silakan, tidak silakan. Mau ngerti silakan, tak mengerti juga silakan,” sambungnya.
Dengan tutur kata tertata, Prof. Manuaba menyebut dia dan tujuh orang temannya harus berbagi tugas kala itu agar mendapat tempat duduk paling depan.
“Tiang punya grup tujuh orang. Tugasnya satu per satu secara bergilir harus bangun pagi cari tempat duduk di depan. Pada waktu itu orang masih menghargai kalau ada buku di atas meja berarti sudah ada orangnya,” pungkasnya.
Kalau duduk di belakang, jelasnya tentu dirinya tak akan lulus. Bayangkan kelas kuliah dengan kapasitas 300 orang diisi 440 orang. “Itu yang paling berat. Kalau tak lulus langsung harus ngulang,” kenangnya.
Namun, sialnya kala itu mesti lulus pertama bersama 32 orang calon dokter spesialis lainnya, Prof. Manuaba muda harus menunggu selama tiga bulan agar jumlah mahasiswa tingkat dua (S2) lengkap menjadi 100 orang.
Lebih lanjut, dikatakannya duduk di depan kala menjalani perkuliahan sesungguhnya tak juga menyelesaikan masalah.
Akhirnya, sepulang kuliah dirinya harus pergi ke beberapa orang untuk mencocokkan materi perkuliahan agar tak salah.
“Saking cepatnya dosen memberi kuliah. Kalau tak begitu sulit,” tandasnya. Meski lahir dalam keluarga yang tergolong berada karena selama zaman penjajahan Belanda ayahandanya bekerja sebagai Sedaan Agung alias petugas pajak, Manuaba muda tak lantas hidup santai.
Agar mandiri sejak kanak-kanak, pendiri rumah sakit swasta pertama di Bali, RS Manuaba itu menyebut dirinya harus hidup jauh dari orang tuanya sejak kelas 5 SD.
“Baru kelas 5 SD dari desa sudah dikirim ke Badung. Tujuannya bukan untuk pendidikan, tapi mendukung kakak-kakak yang masuk sekolah SLUA. Disuruh untuk mencuci, setrika, dan sebagainya,” ujarnya.
Meski diberi tugas tambahan, Manuaba kecil tak berhenti belajar. “Syukur ujian SD dapat angka 22. Syarat SMP Denpasar (SMP Negeri 1 Denpasar) angka 20. Jadi saya masuk di sana. Itu satu-satunya SMP,” bebernya.
Lulus SMP dirinya langsung ke Singaraja untuk mengenyam pendidikan di SMA satu-satunya kala itu.
“Setelah itu langsung kuliah kedokteran dan lulus tahun 1964. “Waktu itu saya nomor satu di Denpasar. Berpacu dengan titah orang tua agar saya jadi dokter,” tegasnya.