RadarBali.com – Para aktivis dan lembaga pegiat demokrasi di Bali yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Bali Kawal Demokrasi (SMBKD) mengecam aksi penyerbuan Gedung YLBHI- LBH Jakarta.
“Kejadian ini merupakan tindakan pengekangan berekspresi, melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) dan prinsip-prinsip demokrasi,” ujar Dewa Adnyana, didampingi Nyoman Mardika, dari SMBKD.
Hal ini disampaikan dalam siaran persnya Rabu kemarin (20/9), setelah sebelumnya, Selasa lalu (19/9), menggelar acara dari pukul 18.00 hingga 21.30 di Kantor YLBHI-LBH Bali, Jalan Plawa Nomor 57 Denpasar.
Pertemuan ini terkait dengan pembubaran diskusi Pelurusan Sejarah 65 pada Sabtu, 16 September 2017 yang diikuti dengan penyerangan massa terhadap Gedung YLBHI-LBH Jakarta di kawasan Menteng, Jakarta Pusat pada Minggu, 17 September 2017 malam hingga Senin, 18 September 2017 pukul 03.00 WIB dini hari.
Menyikapi hal tersebut, sekitar 30 orang baik sebagai individu maupun mewakili lembaga masyarakat berkumpul dan menyatakan sikap bersama.
Mereka yang tergabung dalam SMBKD ini antara lain dari YLBHI-LBH Bali, For BALI, Walhi Bali, Bintang Gana, LABHI, LBH Bali Women Crisis Centre (WCC), LBH Panarajon, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Forum Serikat Pekerja Mandiri (F-SPM),Aliansi Mahasiswa Papua (AMP),Lentera Anak Bali (LAB), LBH APIK, Yayasan Gaya Dewata, Yayasan Manikaya Kauci, Indonesia Police Watch (IPW), Jaringan Informasi Kerja Alternatif (JIKA),Taman 65, Mitra Bali Fair Trade, Taman Baca Kesiman, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Bali.
Juga perwakilan sejumlah individu lain dari pegiat demokrasi di Bali, seperti Wayan “Gendo” Suardana, Gede Widiatmika dan lain-lain.
Empat pernyataan sikap disampaikan oleh mereka yang tergabung dalam wadah SMBKD. Pertama, mengecam tindakan aparat yang membubarkan Seminar Pelurusan Sejarah 65 dan penyerangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok anti demokrasi di Gedung YLBHI-LBH Jakarta serta menuntut negara mengungkap dalang di balik penyerangan.
Kedua menuntut Presiden Joko Widodo dan pemerintahan konsisten dengan rekomendasi Komnas HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pelurusan sejarah bagi korban pelanggaran HAM 65/66.3.
Ketiga, menuntut negara menghormati, melindungi dan memenuhi nilai-nilai HAM dan prinsip-prinsip demokrasi.
Keempat, mengecam tindakan aparat negara yang melakukan pengekangan terhadap gerakan pengurukan Teluk Benoa.
“Dengan demikian, kami menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia di mana pun berada untuk bersama-sama menjaga dan mengawal demokrasi. Termasuk kebebasan dalam berekspresi dengan menolak tindakan kekerasan baik yang disebabkan oleh perbedaan pandangan maupun perbedaan lainnya,” tandas Adnyana, pria yang juga direktur LBH Bali ini.
Seperti diketahui, sebelumnya telah terjadi tindakan anarkis sekelompok massa yang membubarkan diskusi pelurusan sejarah 1965, pada hari Sabtu (16/9). Setelah itu berlanjut dengan penyerangan massa terhadap Gedung YLBHI-LBH Jakarta, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat pada Minggu, (17/9) malam hingga Senin, 18 September 2017 pukul 03.00 WIB dini hari yang tidak patut terjadi di sebuah negara demokrasi