Peristiwa kekejaman suami terhadap istrinya di kamar kosnya, di jalan Uma Buluh, Canggu, Kuta Utara pada Selasa lalu (5/9) masih menyimpan banyak cerita.
Cerita itu didapat setelah Jawa Pos Radar Bali Selasa sore kemarin (19/9) mengunjungi kampung halaman Ni Luh Putu Kariani, 33, korban kekejaman sang suami di Desa Alasangker, Buleleng.
WAYAN WIDYANTARA, Singaraja
BERUNTUNG untuk mencari rumah Ni Putu Kariani, Jawa Pos Radar Bali tidak begitu kesulitan. Terlebih, rumah Kariani berada di jalur utama desa tersebut.
Kariani dikabarkan sudah berada di rumah masa kecilnya tersebut sejak 6 hari yang lalu, atau tepatnya pada Kamis (14/9) setelah cukup lama mendapatkan perawatan medis di RS Sanglah, Denpasar.
Sebenarnya sempat diperbolehkan pulang oleh tim medis pada Selasa (12/9) lalu, namun kondisinya saat itu kembali drop.
Di rumahnya kemarin, terlihat cukup ramai dipenuhi sanak keluarga. Ayahanda Kariani, Ketut Karda, 65 kemudian mengantar ke ruangan tamu.
Saat memasuki pintu, di pojok sebelah kiri dalam ruang tamu tersebut terlihat Kariani yang sedang rebahan di atas kasur. Setengah badannya pun diselimuti untuk menutup kedua kakinya.
Kariani menyapa dengan wajah senyum, sementara Ketut Karda mempersilahkan Jawa Pos Radar Bali duduk di lantai dengan beralaskan sebuah karpet.
“Anak saya (Kariani), minta dipulangkan kesini (Alasangker),” ungkap Ketut Karda kemarin memulai obrolan.
Tak lama berselang, datang kakak ipar korban, Jro Mangku Gde Made Suriastawa, 50. Kami pun duduk melingkar di alas karpet dan bercerita tentang keseharian Kariani selama di rumahnya tersebut.
“Kesehatannya mulai membaik. Sekarang cuma di atas tempat tidur aja,” kata ayahanda Kariani. Saat ini Kariani masih menggunakan pampers untuk meminimalisir gerakan karena masih dalam tahap penyembuhan.
Sedangkan, bila terpaksa ke kamar mandi, maka kakak-kakaknya lah yang membantu. “Rencananya besok (hari ini,red) akan cek up ke RSUD Singaraja. Nah, nanti akan ditentukan sudah boleh pakai kursi roda atau belum,” terangnya.
Di pojok ruang tamu tersebut memang terlihat sebuah kursi roda dan tongkat pembantu jalan. Kursi roda disumbangkan oleh salah satu swalayan, sedangkan tongkat pembantu tersebut disumbangkan oleh teman-teman Kariani semasa SMP dulu.
Lalu bagaimana dengan kakinya yang terpotong? “Ohh.. sekarang masih ada di rumah sakit Sanglah. Belum tau kapan boleh di ambil. Kalau sudah boleh, akan kami bawa ke sini (Alasangker) untuk ditanam di setra alit Desa Alasangker,” jawab kakak iparnya, Jro Mangku Gde Made Suriastawa.
Lanjutnya, potongan dari pergelangan kaki kiri ke bawah tersebut awalnya akan diupacarai dengan banten piuning di Sanggah Kemulan dan kemudian dibawa ke kuburan desa untuk dikubur.
Secara kepercayaan, nanti akan “dititip” terlebih dahulu di Pura Prajapati Desa Alasangker dengan banten peras pejatisampai waktu yang akan menjawab.
“Kalau kami buang ke laut, entar balik lagi. Kaki siapa nanti ini,” ungkap Suriastawa. Saat mengobrol dengan keluarga, Kariani ikut mendengarkan obrolan kami, sambil sesekali bercanda dengan anak perempuan pertamanya yang masih duduk di bangku SMP.
Kisah kerasnya sikap suaminya, Kadek Adi Waisaka Putra tersebut pun satu per satu kembali terungkap dalam obrolan kemarin. Bahkan, Kariani pun ikut nimbrung.
Kariani bercerita, salah satunya adalah soal perkerjaannya sebagai seorang guru honorer. Diketahui, setelah menamatkan kuliah S1 pada tahun 2011 di Singaraja, setahun kemudian, Kariani sempat menjadi guru honorer di sebuah sekolah SMA di Kuta, Badung.
Namun mengabdi sebagai guru honorer itu hanya dijalaninya selama setahun lantaran suami tidak setuju kalau istrinya tersebut sebagai guru.
Sadisnya, baju sebagai guru honorernya tersebut pun dibakar oleh suaminya yang sekarang mendekam di Polres Badung.
“Tahun 2013/2014 saya langsung berhenti. Nah, tahun 2015 saya kemudian kerja di vila,” ungkap Kariani.
Cerita lainnya, Ketut Karda tiga hari sebelum kejadian ternyata sudah mendapatkan firasat buruk. Ia sempat bermimpi menggunakan sebuah jam.
Namun jam yang digunakan tersebut tidak ada mesinnya. Kode lain kembali muncul sehari sebelum kejadian, dimana Karda saat ke kamar mandi tiba-tiba jatuh dan mengalami luka di lutut.
“Saya malah menghubungkan dengan diri saya sendiri, ternyata yang tertimpa musibah itu anak saya,” ungkapnya.
Saat ini, hal yang paling ditakuti oleh Kariani adalah soal mental anak laki-lakinya yang masih duduk dibangku SD.
Sebab, kejadian sadis yang hampir mengakibatkan kedua kaki Kariani terpotong tersebut dilihat langsung oleh anaknya tersebut.
“Saya memang merasakan sakit. Tapi anak saya (laki-laki), lebih sakit. Saya berharap cepat sembuh biar bisa merawat anak saya,” tuturnya.
Sedangkan, saat diminta tanggapan terkait suaminya yang kejam tersebut, Kariani tak mampu berkata banyak.
Ia mengaku menyerahkan kepada pihak kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku. Begitu juga dengan orang tua Kariani yang berharap sama.
“Sampai sekarang saya belum pernah melihat wajahnya (menantunya). Saya serahkan pada para penegak hukum,” ujar Ketut Karda.
Tak lama kami berbincang-bincang, datanglah rombongan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI yang dipimpin langsung oleh Hasto Atmojo selaku Wakil Ketua LPSK Pusat ke rumah korban.
Selain itu, beberapa instansi lainnya juga ikut ke rumah Kariani. Pihaknya bermaksud menawarkan bantuan secara rehabilitasi medis terhadap kondisi korban dan rehabilitasi psikologis baik korban maupun anggota keluarga lainnya serta bantuan psikososial.
“Fokus kami pada perlindungan korban. Nanti kami bantu untuk menghubungi beberapa instansi untuk memberikan bantuan,” ujar Hasto.
Beragam bantuan untuk Kariani dari pihak lain juga sebelumnya juga mulai berdatangan. Salah satunya dari pihak TNI yang nanti akan ikut menyumbangkan kaki palsu juga untuk Kariani agar bisa beraktivitas meski tak seperti saat dulu lagi.
Untuk saat ini, Kariani masih membutuhkan waktu untuk penyembuhan kaki kanannya.