29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:25 AM WIB

Peluang Ekspor Melawan Mitos

Oleh : Dahlan Iskan

Rupiah memang melemah. Tapi bukan berarti dolar Amerika (USD) menguat di mana-mana.

Ternyata USD melemah terhadap Yen Jepang. Melemah terhadap Euro. Melemah terhadap dolar Singapura. Juga melemah terhadap renminbi Tiongkok. Dan seterusnya.

Total USD melemah 10 persen setahun terakhir.

Kinerja ekonomilah yang membuat negara-negara tersebut mata uangnya menguat. Kinerja ekononi mereka memang membaik.

Mereka seperti membantah dalih bahwa Amerikalah yang membuat mata uang sebuah negara merosot.

Misalnya, menurut ahli dalih itu, pemotongan pajak yang gila-gilaan di AS. Dari 35 persen ke 21 persen.

Atau karena ekononi AS yang membaik: angka penganggurannya hanya 4.1 persen bulan lalu. Terbaik dalam sejarah.

Atau rencana bank sentral AS yang akan menaikkan suku bunga empat kali tahun ini.

Semua itu betul. Bisa membuat negara seperti Indonesia kelabakan. Akibatnya, seperti rupiah melemah begitu mencolok. Tapi di tengah situasi seperti itu toh masih banyak negara yang mata uangnya menguat.

Bahkan lembaga keuangan dunia seperti Golman Sach sebenarnya sudah memberikan indikasi bahwa perekonomian dunia tahun 2018 ini akan membaik secara nyata.

Ekonomi banyak negara penting terbukti tumbuh menggembirakan. Goldman Sach bahkan menggambarkan inilah untuk pertama kalinya perbaikan ekonomi dunia paling jelas sejak tahun 2013.

Maka yang lebih penting adalah kinerja. Terutama kinerja ekonomi masing-masing negara.

Di tengah tekanan Presiden Trump yang begitu hebat dan kejam, Tiongkok mestinya kelabakan. Tapi ternyata tetap saja neraca perdagangan Tiongkok dengan AS surplus gila-gilaan.

Tahun lalu, bahkan, suplusnya mencapai rekor baru: 275 milyar dolar. Surplus satu bulan saja, Desember lalu, saat Trump lagi marah-marah, bisa mencapai 25 milyar dolar.

Padahal mata uang renminbi menguat terhadap USD. Mestinya ikut menghambat ekspornya ke Amerika.

Ekspor Tiongkok mestinya ibarat sudah jatuh (dipukuli Trump) masih tertimpa tangga (oleh renminbi yang menguat). Tapi tetap saja Tiongkok lari dan lari.

Untuk bisa mendapatkan tangga yang lebih kuat. Dan lebih tinggi. Kinerja ternyata bisa mengalahkan tangga yang jatuh.

Kinerja. Kinerja. Kinerja.

Lalu, kinerja apa yang bisa kita perbaiki? Tentu ekonomi, ekonomi, ekonomi. Bukan politik, politik, politik.

Tentu tetap harus ada yang tekun menggeluti sektor ekonomi riel. Kalau tidak, makro ekonomi kita akan terus memburuk.

Sehebat-hebat orang yang pandai mengatur makro ekonomi, tidak akan bisa membidani angka-angka yang merah kalau angka mikro ekonominya memang buruk.

Harus ada yang selalu menjelimeti peluang-peluang ekonomi yang ada. Jangan pesimistis. Jangan putus asa. Selalu akan ada peluang. Di tengah kesulitan seperti apa pun.

Misalnya adakah yang melihat bahwa saat ini Tiongkok lagi menutup semua pabrik kertasnya di sepanjang sungai mana saja di sana?

Adakah yang tahu bahwa Tiongkok saat ini, sekarang ini, lagi melarang impor bahan baku sampah plastik dan sampah apa saja?

Semua itu adalah peluang besar bagi negara seperti Indonesia. Tentu juga peluang bagi Malaysia, Vietnam, Thailand dan Kamboja. Tinggal siapa yang lebih jeli. Lalu memanfaatkannya. Dengan cara mendorong industri dalam negeri masing-masing.

Termasuk memberikan dukungan peraturan yang jelas. Dan pro ekspor. Dan cepat.

Jangan sampai peraturannya baru akan dirapatkan. Entah kapan keluarnya.

Tiongkok sekarang hanya mau mengimpor bahan baku biji plastik. Untuk bahan baku pabrik plastik mereka. Bukan lagi sampah plastik. Semua pabrik pengolahan bahan baku plastik di Tiongkok sekarang tutup. Secara massal.

Begitu besar peluang ini. Untuk ekspor biji plastik kita. Agar necara perdagangan kita tidak lagi defisit. Agar rupiah kita tidak melemah.

Jelas, kinerja yang baik hanya bisa diraih oleh tim yang serius dan fokus. Bukan oleh tim yang hanya membuatnya sebagai kerja sampingan.(dis)

Oleh : Dahlan Iskan

Rupiah memang melemah. Tapi bukan berarti dolar Amerika (USD) menguat di mana-mana.

Ternyata USD melemah terhadap Yen Jepang. Melemah terhadap Euro. Melemah terhadap dolar Singapura. Juga melemah terhadap renminbi Tiongkok. Dan seterusnya.

Total USD melemah 10 persen setahun terakhir.

Kinerja ekonomilah yang membuat negara-negara tersebut mata uangnya menguat. Kinerja ekononi mereka memang membaik.

Mereka seperti membantah dalih bahwa Amerikalah yang membuat mata uang sebuah negara merosot.

Misalnya, menurut ahli dalih itu, pemotongan pajak yang gila-gilaan di AS. Dari 35 persen ke 21 persen.

Atau karena ekononi AS yang membaik: angka penganggurannya hanya 4.1 persen bulan lalu. Terbaik dalam sejarah.

Atau rencana bank sentral AS yang akan menaikkan suku bunga empat kali tahun ini.

Semua itu betul. Bisa membuat negara seperti Indonesia kelabakan. Akibatnya, seperti rupiah melemah begitu mencolok. Tapi di tengah situasi seperti itu toh masih banyak negara yang mata uangnya menguat.

Bahkan lembaga keuangan dunia seperti Golman Sach sebenarnya sudah memberikan indikasi bahwa perekonomian dunia tahun 2018 ini akan membaik secara nyata.

Ekonomi banyak negara penting terbukti tumbuh menggembirakan. Goldman Sach bahkan menggambarkan inilah untuk pertama kalinya perbaikan ekonomi dunia paling jelas sejak tahun 2013.

Maka yang lebih penting adalah kinerja. Terutama kinerja ekonomi masing-masing negara.

Di tengah tekanan Presiden Trump yang begitu hebat dan kejam, Tiongkok mestinya kelabakan. Tapi ternyata tetap saja neraca perdagangan Tiongkok dengan AS surplus gila-gilaan.

Tahun lalu, bahkan, suplusnya mencapai rekor baru: 275 milyar dolar. Surplus satu bulan saja, Desember lalu, saat Trump lagi marah-marah, bisa mencapai 25 milyar dolar.

Padahal mata uang renminbi menguat terhadap USD. Mestinya ikut menghambat ekspornya ke Amerika.

Ekspor Tiongkok mestinya ibarat sudah jatuh (dipukuli Trump) masih tertimpa tangga (oleh renminbi yang menguat). Tapi tetap saja Tiongkok lari dan lari.

Untuk bisa mendapatkan tangga yang lebih kuat. Dan lebih tinggi. Kinerja ternyata bisa mengalahkan tangga yang jatuh.

Kinerja. Kinerja. Kinerja.

Lalu, kinerja apa yang bisa kita perbaiki? Tentu ekonomi, ekonomi, ekonomi. Bukan politik, politik, politik.

Tentu tetap harus ada yang tekun menggeluti sektor ekonomi riel. Kalau tidak, makro ekonomi kita akan terus memburuk.

Sehebat-hebat orang yang pandai mengatur makro ekonomi, tidak akan bisa membidani angka-angka yang merah kalau angka mikro ekonominya memang buruk.

Harus ada yang selalu menjelimeti peluang-peluang ekonomi yang ada. Jangan pesimistis. Jangan putus asa. Selalu akan ada peluang. Di tengah kesulitan seperti apa pun.

Misalnya adakah yang melihat bahwa saat ini Tiongkok lagi menutup semua pabrik kertasnya di sepanjang sungai mana saja di sana?

Adakah yang tahu bahwa Tiongkok saat ini, sekarang ini, lagi melarang impor bahan baku sampah plastik dan sampah apa saja?

Semua itu adalah peluang besar bagi negara seperti Indonesia. Tentu juga peluang bagi Malaysia, Vietnam, Thailand dan Kamboja. Tinggal siapa yang lebih jeli. Lalu memanfaatkannya. Dengan cara mendorong industri dalam negeri masing-masing.

Termasuk memberikan dukungan peraturan yang jelas. Dan pro ekspor. Dan cepat.

Jangan sampai peraturannya baru akan dirapatkan. Entah kapan keluarnya.

Tiongkok sekarang hanya mau mengimpor bahan baku biji plastik. Untuk bahan baku pabrik plastik mereka. Bukan lagi sampah plastik. Semua pabrik pengolahan bahan baku plastik di Tiongkok sekarang tutup. Secara massal.

Begitu besar peluang ini. Untuk ekspor biji plastik kita. Agar necara perdagangan kita tidak lagi defisit. Agar rupiah kita tidak melemah.

Jelas, kinerja yang baik hanya bisa diraih oleh tim yang serius dan fokus. Bukan oleh tim yang hanya membuatnya sebagai kerja sampingan.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/