Seniman ikut merasakan dampak pandemi. Tak bisa menunjukkan kreativitas, salah satunya. Mereka hanya bisa berkreasi lewat media virtual.
Itulah yang dilakukan Mochamad Zaenal Efendi atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Moch Satrio Welang yang membongkar karya-karya puisinya dan dijadikan sebuah album. Seperti apa?
NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar
HIRUK pikuk bekerja di kapal pesiar masih dirasakan Satrio Welang. Bekerja bak robot dengan durasi waktu yang sangat lama.
“Oh sungguh melelahkan. Pagi-pagi sudah bangun (untuk bekerja). Waktu istirahat hanya sebentar,” kenang Moch Satrio Welang.
Yup, selain sebagai penyair, Satrio Welang juga menyambung hidup dengan bekerja di kapal pesiar. Karena pandemi saja dia kembali ke darat sembari menunggu panggilan kerja.
Mengisi waktu kosong, Moch – sapaan akrabnya membuat sebuah album musikalisasi puisi. Album itu diluncurkan oleh Teater Sastra Welang di penghujung tahun 2020 ini.
Penyair eksentrik ini meluncurkan album secara virtual melalui platform Sound Cloud dengan nama Danumaya.
“Danumaya yang dalam Bahasa Sansekerta berarti menyala diharapkan dapat menjadi satu penanda agar dalam situasi apapun, kita tetap berjuang untuk tetap menyala dalam daya kreasi, daya juang dan daya hidup,” ungkap Moch.
Seluruh puisi dalam album Danumaya ini ditulis sendiri. Ia pun mengaku menghadapi banyak tantangan dalam menggarap album ini.
Menulis puisi saat bekerja di kapal pesiar memang bukan perkara mudah. Betapa tidak, saat ide muncul seringkali diganggu gelombang pekerjaan dan riuhnya kehidupan kapal.
Menariknya, tak ingin kehilangan satu kata, pernah ia tulis di kertas kotak baterai, dan sempat hilang terbuang, hingga ditemukan di tumpukan sampah.
Alumnus Fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris Universitas Udayana ini menjelaskan, puisi-puisi yang ditulis tidak hanya dari pergulatan batin, namun juga pertarungan di ambang batas kesadaran manusia.
“Antara siapa aku, untuk apa aku dan mengapa. Kehidupan yang jauh dari tanah air, jauh dari daratan, jauh dari akar kehidupan asal,” tuturnya.
Tema- tema yang dihadirkan pun beragam mulai dari tema kehidupan, kematian, tema ibu, tak luput juga tema cinta kisah asmaranya dengan pria – pria Eropa timur, yang menjadi sumber inspirasi terciptanya album ini.
Beberapa tema tertuang dalam Puisi ‘Ia Yang Datang Tiap Malam’, ‘ Di Laut, Percakapan Tak Usai’, ‘Jalan Pulang’, ‘Ibu’, ‘Biar Kupilih Ingatanku Tentangmu’, ‘Hukuman’ dan ‘Kita Menari Hingga Subuh Jatuh’.
Penggarapan album ini dimulai dari pertengahan tahun 2019. Beberapa karya dalam album ini juga diambil dari para pemenang Lomuisi Tetra Welang 2019, sebuah ajang lomba musik puisi Teater Sastra Welang di tahun yang sama.
Para musisi teater muda yang mengaransemen lagu-lagu dalam album ini antara lain Heri Windi Anggara, Wendra Wijaya, Risma Putri, Komang Adi Wiguna, Yoga Anugraha, Adiprana Kusuma, Gyan Satria dan Septian Efendy
Moch Satrio Welang menyakini bahwa jalan sastra dalam hal ini puisi, yang apabila dijalankan dengan kesungguhan, akan kerap melahirkan kemurnian.
Di jalan puisi yang sunyi, puisi akan selalu ditulis. Karena pada akhirnya kita pun akan kembali pulang.
Sembilan lagu dalam album ini dinyanyikan para penyanyi yang berangkat dari beragam komunitas di dunia teater.
Antara lain Risma Putri, Heri Windi Anggara, Goldyna Rarasari (Senja di Cakrawala), Adiprana Kusuma (Lantaidua) dan Yom Yomel ( Quito Art).
Album musik puisi Teater Sastra Welang ini merupakan album ketiga, setelah sebelumnya diluncurkan Album Taman Bunga (2013) dan Album Instalasi Bulan dan Matahari ( 2016). (*)