DENPASAR – Presiden adalah pimpinan tertinggi eksekutif di Indonesia. Presiden tidak boleh cawe-cawe urusan legislatif maupun urusan yudikatif.
Tentu jadi aneh apabila calon presiden akan melakukan tindakan-tindakan yudikatif, bahkan ingin memasukkan pelaku korupsi ke penjara dengan tangannya sendiri.
Montesquieu dengan Teori Trias Politika, membagi kekuasaan berdasarkan tiga fungsi, yaitu: fungsi legislatif untuk membuat undang-undang,
fungsi eksekutif untuk melaksanakan undang-undang, dan fungsi yudikatif untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi mengadili).
Menurut mantan Ketua KPU Bali Dr. I Wayan Jondra, kekuasaan legislatif di Indonesia dijalankan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
MPR, DPR dan DPD masing-masing memiliki tugas, dan wewenang yang berbeda satu sama lainnya.
“Dalam lembaga legislatif atau lembaga perwakilan rakyat memiliki fungsi utama yakni: Legislasi, Pengawasan dan Penganggaran,” kata Jondra.
Untuk fungsi legislasi, tugas utama lembaga legislatif dalam bidang perundang-undangan atau membuat peraturan.
Untuk itu lembaga legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun pemerintah.
Untuk fungsi pengawasan, fungsi kontrol lembaga legislatif dalam bidang pengawasan dan kontrol terhadap lembaga eksekutif (pemerintah).
Pengawasan dilakukan lembaga legislatif melalui hak – hak kontrol yang khusus, seperti hak bertanya (interpelasi), maupun hak angket.
Lantas, fungsi anggaran. Menurutnya, legislatif berhak menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara melalui DPR bersama presiden dengan melihat pertimbangan DPD.
DPD memiliki peran memberi pertimbangan terhadap anggaran yang berkaitan dengan daerah yang diwakilinya.
Terkait kekuasaan eksekutif, kata Jondra, tugas dan wewenang presiden secara umum meliputi perencanaan (menyusun program dan anggarannya);
eksekusi (melaksanakan program-program yang telah disusun), dan evaluasi, secara internal yang selanjutnya dipertanggungjawabkan dalam pengawasan DPR.
Sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 merupakan sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan eksekutif di Indonesia dipegang oleh presiden.
Presiden merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Menurut Ketua Harian PP Persadha Nusantara, ini, presiden sebagai kepala negara, melaksanakan hal-hal teknis, seremonial dan protokoler kenegaraan.
Tugas pokok presiden sebagai kepala negara diatur dalam Pasal 10 sampai 15 UUD 1945. Presiden sebagai kepala pemerintahan,
melaksanakan tugas sebagai penyelenggara tugas legislatif, dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan.
Presiden sebagai kepala pemerintahan di atur dalam pasal 4 ayat (1); pasal 5 ayat (1) dan (2); pasal 16; pasal 17 ayat (2); pasal 20 ayat (2) dan (4); pasal 21 ayat (1); pasal 23 ayat (1) dan (2); pasal 23 F ayat (1); pasal 24A ayat (3); pasal 24B ayat (3); dan pasal 24C ayat (3).
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tidak satupun kewenangan presiden memasukkan pelaku pelanggaran undang-undang ke dalam penjara, termasuk di dalamnya pelaku korupsi.
“Jika presiden melakukan hal tersebut maka patut diduga presiden bertindak sewenang-wenang,” kata Jondra.
Sementara kekuasaan yudikatif, merupakan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman telah banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi.
Dengan di amandemennya UUD 1945, terdapat tiga lembaga dalam kekuasaan yudikatif yaitu: Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir (final and binding).
Putusan bersifat final dalam proses : (a) menguji UU terhadap UUD 1945 (Judicial Review); (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; (c) memutus pembubaran partai politik;
(d) memutus perselisihan tentang pemilihan umum; serta memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presiden atas permintaan DPR.
Impeachment dilakukan karena melakukan pelanggaran berupa pengkhinatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha negara;
mengadili pada tingkat kasasi; dan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU.
Sementara Komisi Yudisial (KY) adalah suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri. KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. KY berwenang dalam menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.
Berdasar uraian di atas jadi sangatlah jelas tugas dan wewenang lembaga negara dalam menjalankan kekuasaannya dibagi menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
“Presiden tidak mempunyai kewenangan melakukan intervensi kepada lembaga yudikatif untuk menindak para pelanggar undang-undang.
Para koruptor jelas menjadi wilayah kewenangan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi,” bebernya.
Dengan azas profesionalisme presiden dapat memberhentikan jajarannya yang disangka melakukan tindak pidana korupsi,
agar pelayanan kepada Rakyat tidak terganggu oleh kesibukan oknum yang sedang berhadapan dengan permasalahan hukum, termasuk di dalamnya korupsi. (rba)