Setelah berhasil memotret lereng dan kawah Gunung Agung, drone Buffalo FX-79 banjir pujian. Maklum, drone memiliki bobot 4,1 kg itu 100 persen karya anak bangsa. Banyak pihak mulai kepincut.
MAULANA SANDIJAYA, Amlapura
NIAT tulus jika dijalankan dengan cara yang benar, maka kesuksesan pasti didapat. Hal itulah yang diyakini tim perancang Unmanned Aerical Vehicle (UAV) atau pesawat tanpa awak Universitas Gajah Mada (UGM).
Saat datang ke Bali, tim UAV UGM yang dipimpin Ruli Andaru, hanya ingin membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengetahui kondisi puncak Gunung Agung secara akurat.
Maklum, selama ini gambaran tentang Gunung Agung yang berstatus Awas (level IV) bukan gambar terbaru.
Gambar yang didapat dari pantauan citra satelit biasanya gambar lama. Ini karena citra satelit tidak bisa meotret setiap saat. Citra satelit butuh waktu bertahap atau periodik mengambil gambar.
“Kalau menggunakan drone, gambar bisa up to date dan real time. Karena itu, kami ingin menyumbangkan apa yang kami miliki, siapa tahu bisa bermanfaat bagi yang lain,” ujar pria 35 tahun itu.
Ruli dan timnya tidak mau jumawa meski Buffalo FX-79 menjadi drone pertama merekam kondisi kawah Gunung Agung.
Ruli menyebut keberhasilan tersebut tak lepas dari dukungan kampus UGM dan semua pihak. “Kami berangkat ke sini dibiayai kampus. Kami tidak memasang jasa atau tarif apapun. Kami murni penelitian,” tukasnya.
Pria berkumis tipis itu menceritakan sejarah pembuatan drone Buffalo FX-79. Ruli mengaku dirinya tidak sendiri dalam mengembangkan drone berbahan styrofoam dilapisi stiker itu.
Ada sejumlah teman pecinta aeromodeling yang diajak berjibaku merancang Buffalo FX-79. Ruli menuturkan, sejak 2009 kumpulan
dosen-dosen ahli foto Fakultas Tehnik Geodesi UGM dan praktisi aeromodeling berusaha membuat alat yang bisa mengambil gambar dari udara.
Salah satu tugas Fakultas Tehnik Geodesi yakni memetakan wilayah darat, laut dan udara. Nah, para dosen dan mahasiswa gundah karena untuk memotret gambar dari udara harus menggunakan pesawat komersial atau helikopter.
Tentu itu membutuhkan biaya besar. Sementara mereka dituntut memetakan suatu objek secara akurat dan cepat.
“Pertama kami kembangkan balon udara dipasang kamera. Tapi, balon udara geraknya terbatas,” ungkap bapak dua anak itu.
Tidak puas dengan balon udara, mereka beralih ke model layang-layang. Setali tiga uang, gambar yang didapat dari layang-layang ngeblur alias tidak jelas.
Setelah melalui serangkain uji coba, setahun kemudian akhirnya mulai ditemukan drone. Penggunaan drone mulai membuahkan hasil manis.
Pada 2010, Gunung Merapi mengalami erupsi. Momen langka itu dimanfaatkan tim UAV UGM untuk uji coba.
Dua minggu setelah letusan, mereka berangkat memotret lereng Gung Merapi pascaletusan. Hasilnya potretan lumayan bagus. Tim bisa memetakan jalur lahar.
“Tapi, waktu itu drone masih dikendalikan manual. Jadi, pilot harus melihat ke mana drone terbang. Sementara jangkauan pilot sangat terbatas,” imbuhnya.
Ruli dkk tidak menyerah. Pada 2012, ditemukan sistem sky walker. Dengan sistem tersebut drone bisa lebih jauh terbang dan arahnya bisa ditentukan.
Pilot juga cukup memantau pergerakan drone dari jarak jauh melalui layar. Bermula dari temuan itu, rancangan bentuk Buffalo FX-79 mulai didapat.
“Saya ingat waktu pertama merancang Bufallo FX-79 bentuknya besar banget. Ada yang bilang bentuknya seperti siluman,” kenangnya.
Pertama terbang, Buffalo FX-79 kerap jatuh dan menabrak. Ruli dkk meminta bantuan pakar aeromodeling untuk menyempurnakan drone.
Pihaknya juga butuh masukan ahli tehnik mesin UGM. Sementara dari luar UGM ada nama Wahyu Widianto, 38, praktisi aeromodeling dari Solo.
Wahyu saat ini menjadi pilot Buffalo FX-79 yang berhasil merekam Gunung Agung. “Kalau rekan satu kampus, ada namanya Pak Gesang. Beliau sudah sepuh, tapi sangat piawai masalah drone,” ungkap pria ramah itu.
Meski drone dirancang sendiri, bahan-bahan bodi seperti spion dan roda didatangkan dari luar negeri. Pun dengan sparpepart lainnya.
Belanja dari luar pun tidak satu negara. Barang-barang yang dibutuhkan dibeli terpisah dari sejumlah negara, seperti Hongkong dan Tiongkok.
Menurut Ruli, pesawat harus pas dan cocok. Jika tidak maka pesawat tidak bisa berfungsi. “Meski tinggal merangkai tapi harus benar-benar tepat.
Antara bodi dan prosesor pesawat harus cocok. Kami pakai sparepart yang ini, ternyata oleng. Nah, analisis itulah yang butuh waktu lama, hingga berbulan-bulan,” tegasnya.
Sampai sekarang Buffalo FX-79 menggunakan sistem elektrik batu baterai. Sistem tersebut dipilih karena karena getaran di udara tidak keras.
Jika menggunakan mesin berbahan bakar minyak guncangan keras, sehingga efek kamera bisa blur. Namun, kelemahan elketrik masa terbang hanya 30 menit.
Saat menuju puncak Gunung Agung, baterai Buffalo FX-79 dimodifikasi berbentuk pararel. Hasilnya, drone bisa terbang hingga 1,5 jam.
Kesuksesan membuat Buffalo FX-79 menarik banyak perhatian kalangan. Sejumlah pihak terang-terangan menyatakan kepincut ingin memilikinya.
Terlebih setelah berhasil menaklukkan Gunung Agung. Salah satu pihak yang menyatakan tertarik adalah BNPB.
“Kami tidak jual Buffalo FX-79 ini. Kalau ada yang minta tolong diambilkan gambar kami berusaha bantu.
Pesawat ini kami dedikasikan untuk kepentingan riset dan institusi pendidikan,” pungkas bapak dua anak itu.