29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:27 AM WIB

Banting Harga, Harap Penerbangan Internasional ke Bali Dibuka Lagi

Pengusaha hotel di Gianyar putar otak selama pandemi Covid-19 ini. Tidak ada turis. Perputaran dollar pun seret. Mereka beralih menyasar pangsa lokal. Ada yang banting harga 50 persen.

Namun, ada pula yang nekat merekrut karyawan baru.  Ada pengusaha yang membuat warung menu lokal di areal hotel untuk menggaet tamu lokal.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

LALU lalang turis asing di kampung turis Ubud tak seramai biasanya. Pandemi Covid-19 ini hanya menyisakan turis yang memang stay di Bali.

Anjloknya kunjungan turis itu berdampak pada tingkat hunian hotel, vila maupun home stay.

Ketua Ubud Homestay Association (UHSA), Ida Bagus Wiryawan, menyatakan selama pandemi ini, tidak ada pergerakan tamu yang keluar masuk home stay.

“Sama sekali belum ada pergerakan. Sementara harus bersabar saja,” ujar owner Gunung Merta Bungalows Peliatan itu.

Situasi saat ini membuat para pengusaha homestay di Ubud merubah pola dari harian ke bulanan.

“Ada beberapa homestay yang sasarannya ke long stay atau bulanan, tahunan. Harganya 50 persen dibanding sebelum Covid,” jelasnya.

Diakui, beberapa hotel di Ubud banting harga dan menyasar segmen lokal. Namun untuk homestay di Ubud, tetap meladeni turis asing. “Kalau homestay memang bukan sasaran lokal. Sementara harus bersabar saja,” ungkapnya.

Cara berbeda dilakukan owner Pillow Inn Ubud, Kadek “Rijasa” Wiradana. “Tingkat hunian masih sepi. Hanya mengandalkan pangsa lokal. Itu pun disaat weekend atau hari libur saja. Dan harganya juga jauh,” jelas Rijasa yang juga advokat Gianyar itu.

Untuk harganya, hampir separo harga turun. “Kalau biasanya Rp 600 ribu sehari, sekarang ini Rp 300 ribuan include breakfast.

Tamu lokalnya pun kebanyakan dari Jakarta, Surabaya. Bukan lokal-lokal Bali di sini. Domestik,” terang pria asal Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang itu.

Minimnya turis memaksa pihaknya mempekerjakan karyawan dengan sitem shift. “Karyawan cuma kerja setengah,” ungkapnya.

Rijasa berharap, penerbangan dari luar negeri ke Bali bisa dibuka kembali. “Biar pariwisata bangkit lagi dan ekonomi bangkit, berputar di Bali,” pintanya.

Cerita berbeda justru datang dari owner Aboetd Art Yoga Amertham Retreat and Resort, Kadek Rudiantara.

Hotel yang terletak di Jalan Raya Bona 9X itu ada 33 kamar, dengan luas lahan 5 hektar. “Pertama, banting harga. Mengalihkan arah pasar.

Biasanya, kalau kita bikin vila atau hotel itu pasti arah pasarnya ke turis luar negeri. Tyang ten (Saya tidak). Mangkin local conten (Sekarang ke pangsa lokal, red),” jelasnya.

Yang disasar adalah orang terdekat. “Tetangga kita, orang Bali yang kami sasar. Orang Bali yang ingin rasakan fasilitas hotel, itu sasaran utama tyang,” jelasnya.

Menurutnya, hotel yang dia kelola sekelas bintang 3, namun saat ini dengan harga penginapan melati. “Biasanya kalau melati harganya Rp 250 ribu. Tyang cuma Rp 150 ribu per malam,” ungkapnya.

Untuk menunjang tamu yang datang ke tempatnya, pihaknya baru saja membuat angkringan lokal.

“Namanya warung Beti (Beten Jati). Atau warung di bawah pohon jati. Ini tempat nongkrong anak muda, semua kalangan bisa. Karena tempatnya kayak di Bedugul, menyatu dengan alam. Harga murah,” jelasnya.

Beragam menu ditawarkan. “Ada nasi jinggo cuma Rp 5000, ada tipat cantok, rujak dan lain-lain. Semua harga lokal. Nggak kayak restoran. Ada menu Rp 3000,” terang owner yang juga pelukis tanda tangan itu.

Kolam renang di tempat itu juga diobral untuk lokal. Pengunjung dewasa dipungut Rp 20 ribu. Sedangkan pengunjung anak dipungut Rp 15 ribu. Mereka bisa mandi di kolam renang sepuasnya.

Bahkan, tadinya hanya ada 8 karyawan. Dua bulan terakhir, pihaknya merekrut karyawan baru. Kini jumlah karyawan mencapai 20 orang.

“Tidak ada karyawan dirumahkan. Tidak ada karyawan di shift-shift-kan. Kerja setengah bulan, libur, tidak ada. Mereka kerja full terus,” tegasnya.

Owner yang punya 10 usaha di Bali itu memutar dananya untuk operasional usaha satu sama lain. “Untuk bisa mensupport usaha ini, tyang juga menginap di sini. Tyang bayar. Tyang menginap di rumah sendiri, dan saya bayar,” ujarnya.

Upaya bayar saat menginap di hotel sendiri dilakukan untuk menyokong keuangan hotel. “Harga saya menginap di sini dua kali lipat dari harga biasanya. Sehingga tiap bulan, ada pemasukan untuk usaha ini,” terangnya.

Dia mengaku bukan tipe bos yang takut rugi. “Jadinya, dadi bos sing nyeh rugi (jadi bos tidak takut rugi). Nak len bos nyeh rugi (Orang lain bos takut rugi).

Hotel tutup, restoran tutup, rugi bedik (sedikit) sudah korbankan masa depan orang-orang yang selama ini membantu mereka,” pungkasnya. (*)

 

Pengusaha hotel di Gianyar putar otak selama pandemi Covid-19 ini. Tidak ada turis. Perputaran dollar pun seret. Mereka beralih menyasar pangsa lokal. Ada yang banting harga 50 persen.

Namun, ada pula yang nekat merekrut karyawan baru.  Ada pengusaha yang membuat warung menu lokal di areal hotel untuk menggaet tamu lokal.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

LALU lalang turis asing di kampung turis Ubud tak seramai biasanya. Pandemi Covid-19 ini hanya menyisakan turis yang memang stay di Bali.

Anjloknya kunjungan turis itu berdampak pada tingkat hunian hotel, vila maupun home stay.

Ketua Ubud Homestay Association (UHSA), Ida Bagus Wiryawan, menyatakan selama pandemi ini, tidak ada pergerakan tamu yang keluar masuk home stay.

“Sama sekali belum ada pergerakan. Sementara harus bersabar saja,” ujar owner Gunung Merta Bungalows Peliatan itu.

Situasi saat ini membuat para pengusaha homestay di Ubud merubah pola dari harian ke bulanan.

“Ada beberapa homestay yang sasarannya ke long stay atau bulanan, tahunan. Harganya 50 persen dibanding sebelum Covid,” jelasnya.

Diakui, beberapa hotel di Ubud banting harga dan menyasar segmen lokal. Namun untuk homestay di Ubud, tetap meladeni turis asing. “Kalau homestay memang bukan sasaran lokal. Sementara harus bersabar saja,” ungkapnya.

Cara berbeda dilakukan owner Pillow Inn Ubud, Kadek “Rijasa” Wiradana. “Tingkat hunian masih sepi. Hanya mengandalkan pangsa lokal. Itu pun disaat weekend atau hari libur saja. Dan harganya juga jauh,” jelas Rijasa yang juga advokat Gianyar itu.

Untuk harganya, hampir separo harga turun. “Kalau biasanya Rp 600 ribu sehari, sekarang ini Rp 300 ribuan include breakfast.

Tamu lokalnya pun kebanyakan dari Jakarta, Surabaya. Bukan lokal-lokal Bali di sini. Domestik,” terang pria asal Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang itu.

Minimnya turis memaksa pihaknya mempekerjakan karyawan dengan sitem shift. “Karyawan cuma kerja setengah,” ungkapnya.

Rijasa berharap, penerbangan dari luar negeri ke Bali bisa dibuka kembali. “Biar pariwisata bangkit lagi dan ekonomi bangkit, berputar di Bali,” pintanya.

Cerita berbeda justru datang dari owner Aboetd Art Yoga Amertham Retreat and Resort, Kadek Rudiantara.

Hotel yang terletak di Jalan Raya Bona 9X itu ada 33 kamar, dengan luas lahan 5 hektar. “Pertama, banting harga. Mengalihkan arah pasar.

Biasanya, kalau kita bikin vila atau hotel itu pasti arah pasarnya ke turis luar negeri. Tyang ten (Saya tidak). Mangkin local conten (Sekarang ke pangsa lokal, red),” jelasnya.

Yang disasar adalah orang terdekat. “Tetangga kita, orang Bali yang kami sasar. Orang Bali yang ingin rasakan fasilitas hotel, itu sasaran utama tyang,” jelasnya.

Menurutnya, hotel yang dia kelola sekelas bintang 3, namun saat ini dengan harga penginapan melati. “Biasanya kalau melati harganya Rp 250 ribu. Tyang cuma Rp 150 ribu per malam,” ungkapnya.

Untuk menunjang tamu yang datang ke tempatnya, pihaknya baru saja membuat angkringan lokal.

“Namanya warung Beti (Beten Jati). Atau warung di bawah pohon jati. Ini tempat nongkrong anak muda, semua kalangan bisa. Karena tempatnya kayak di Bedugul, menyatu dengan alam. Harga murah,” jelasnya.

Beragam menu ditawarkan. “Ada nasi jinggo cuma Rp 5000, ada tipat cantok, rujak dan lain-lain. Semua harga lokal. Nggak kayak restoran. Ada menu Rp 3000,” terang owner yang juga pelukis tanda tangan itu.

Kolam renang di tempat itu juga diobral untuk lokal. Pengunjung dewasa dipungut Rp 20 ribu. Sedangkan pengunjung anak dipungut Rp 15 ribu. Mereka bisa mandi di kolam renang sepuasnya.

Bahkan, tadinya hanya ada 8 karyawan. Dua bulan terakhir, pihaknya merekrut karyawan baru. Kini jumlah karyawan mencapai 20 orang.

“Tidak ada karyawan dirumahkan. Tidak ada karyawan di shift-shift-kan. Kerja setengah bulan, libur, tidak ada. Mereka kerja full terus,” tegasnya.

Owner yang punya 10 usaha di Bali itu memutar dananya untuk operasional usaha satu sama lain. “Untuk bisa mensupport usaha ini, tyang juga menginap di sini. Tyang bayar. Tyang menginap di rumah sendiri, dan saya bayar,” ujarnya.

Upaya bayar saat menginap di hotel sendiri dilakukan untuk menyokong keuangan hotel. “Harga saya menginap di sini dua kali lipat dari harga biasanya. Sehingga tiap bulan, ada pemasukan untuk usaha ini,” terangnya.

Dia mengaku bukan tipe bos yang takut rugi. “Jadinya, dadi bos sing nyeh rugi (jadi bos tidak takut rugi). Nak len bos nyeh rugi (Orang lain bos takut rugi).

Hotel tutup, restoran tutup, rugi bedik (sedikit) sudah korbankan masa depan orang-orang yang selama ini membantu mereka,” pungkasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/