28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:09 AM WIB

Habiskan Rp 1,8 Juta, Mampu Deteksi Tiga Jenis Gas Beracun

Siswa di SMAN Bali Mandara (Smanbara) menemukan alat pendeteksi gas beracun gunung berapi. 

Alat itu diberi nama SATPAM yang merupakan akronim dari Smart Automatic Poison Vulcano Alarm.

EKA PRASETYA, Kubutambahan

Alat yang ditemukan I Gede Feri Sandrawan, 17, siswa kelas XII IPA 1 di SMAN Bali Mandara, ini merupakan penemuan keduanya sepanjang menempuh pendidikan di Smanbara.

Pembuatan alat tersebut terinspirasi dari krisis Gunung Agung yang terjadi sejak September 2017 lalu. 

Saat itu Feri gelisah dengan berita yang menyebutkan Gunung Agung menyemburkan gas beracun sulfur dioksida (SO2).

Gas itu sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian dalam hitungan menit. Bahayanya lagi, gas itu tak terlihat dengan mata telanjang.

“Gas beracun itu sangat rentan. 

Dalam kondisi tertentu, kecepatannya bisa melebihi kecepatan suara. 

Saat gas muncul juga tidak bisa terlihat. 

Tahu-tahu sudah lemas karena menghirup gas itu,” jelas Feri.

Berangkat dari kegelisahan tersebut, siswa asal Desa Tianyar itu memutuskan membuat alat pendeteksi.

 Ia mulai membuat sebuah prototype sejak 25 Maret dan baru tuntas pada Senin (6/8) dua pekan lalu. 

Total biaya menghabiskan sekitar Rp 1,8 juta. 

Alat itu juga sudah diuji beberapa kali di seputar Gunung Agung.

Alat itu dibuat sedemikian rupa menyerupai rumah burung.

 Pada bagian atas terdapat dua panel surya yang dilengkapi dengan wiper. 

Sementara pada sisi kanan terdapat tiga sensor pendeteksi gas beracun. 

Pada bagian depan, terdapat sebuah layar dan lampur LED sebagai tanda indikator bahaya.

 Lampu LED akan menyala merah, apabila ada gas beracun.

Feri sengaja membuat alat itu menyerupai rumah burung.

 “Di bagian atas kami pasang panel surya. Kami buat miring, supaya serapan energi di kedua sisi itu lebih efektif. 

Selain itu wiper juga untuk membersihkan debu kalau ada hujan abu. 

Kalau miring, lebih mudah bersih. 

Bentuk ini juga membuat komponen-komponen elektronik lebih aman,” imbuhnya.

Cara kerjanya pun sederhana. 

Alat itu cukup diletakkan pada lokasi tertentu yang dekat dengan kawah gunung berapi.

 Apabila ada gas beracun, alat akan mengirimkan pesan pada petugas evakuasi. 

Selanjutnya petugas dapat menggunakan pesan itu sebagai dasar perintah melakukan evakuasi mandiri, karena semburan gas beracun.

Gas beracun yang dapat dideteksi diantaranya sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), dan senyawa nitrogen oksida (NOx).

Ketiga gas itu yang paling sering muncul dari gunung berapi. 

Sensor pun sudah diatur sedemikian rupa agar menyesuaikan dengan ambang batas toleransi SNI (Standar Nasional Indonesia). 

Yakni 25 ppm untuk CO, 2-3 ppm untuk SO2, serta 25 ppm untuk NOx. 

“Gas-gas ini yang paling berbahaya. 

Ini bisa membuat orang pusing, pingsan, dan menyebabkan kematian dalam hitungan menit,” imbuhnya.

Alat ini pun sudah sempat diuji di laboratorium sekolah. 

Selain itu sempat digunakan di kawasan Gunung Agung pada tanggal 3, 6, dan 8 Agustus 2018 lalu. 

Saat itu alat diletakkan pada areal berpasir dekat kawah yang ada di Banjar Dinas Muntig, Desa Tulamben. 

Alat itu diletakkan sejauh 3 kilometer dari pemukiman penduduk.

(bersambung)

Siswa di SMAN Bali Mandara (Smanbara) menemukan alat pendeteksi gas beracun gunung berapi. 

Alat itu diberi nama SATPAM yang merupakan akronim dari Smart Automatic Poison Vulcano Alarm.

EKA PRASETYA, Kubutambahan

Alat yang ditemukan I Gede Feri Sandrawan, 17, siswa kelas XII IPA 1 di SMAN Bali Mandara, ini merupakan penemuan keduanya sepanjang menempuh pendidikan di Smanbara.

Pembuatan alat tersebut terinspirasi dari krisis Gunung Agung yang terjadi sejak September 2017 lalu. 

Saat itu Feri gelisah dengan berita yang menyebutkan Gunung Agung menyemburkan gas beracun sulfur dioksida (SO2).

Gas itu sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian dalam hitungan menit. Bahayanya lagi, gas itu tak terlihat dengan mata telanjang.

“Gas beracun itu sangat rentan. 

Dalam kondisi tertentu, kecepatannya bisa melebihi kecepatan suara. 

Saat gas muncul juga tidak bisa terlihat. 

Tahu-tahu sudah lemas karena menghirup gas itu,” jelas Feri.

Berangkat dari kegelisahan tersebut, siswa asal Desa Tianyar itu memutuskan membuat alat pendeteksi.

 Ia mulai membuat sebuah prototype sejak 25 Maret dan baru tuntas pada Senin (6/8) dua pekan lalu. 

Total biaya menghabiskan sekitar Rp 1,8 juta. 

Alat itu juga sudah diuji beberapa kali di seputar Gunung Agung.

Alat itu dibuat sedemikian rupa menyerupai rumah burung.

 Pada bagian atas terdapat dua panel surya yang dilengkapi dengan wiper. 

Sementara pada sisi kanan terdapat tiga sensor pendeteksi gas beracun. 

Pada bagian depan, terdapat sebuah layar dan lampur LED sebagai tanda indikator bahaya.

 Lampu LED akan menyala merah, apabila ada gas beracun.

Feri sengaja membuat alat itu menyerupai rumah burung.

 “Di bagian atas kami pasang panel surya. Kami buat miring, supaya serapan energi di kedua sisi itu lebih efektif. 

Selain itu wiper juga untuk membersihkan debu kalau ada hujan abu. 

Kalau miring, lebih mudah bersih. 

Bentuk ini juga membuat komponen-komponen elektronik lebih aman,” imbuhnya.

Cara kerjanya pun sederhana. 

Alat itu cukup diletakkan pada lokasi tertentu yang dekat dengan kawah gunung berapi.

 Apabila ada gas beracun, alat akan mengirimkan pesan pada petugas evakuasi. 

Selanjutnya petugas dapat menggunakan pesan itu sebagai dasar perintah melakukan evakuasi mandiri, karena semburan gas beracun.

Gas beracun yang dapat dideteksi diantaranya sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), dan senyawa nitrogen oksida (NOx).

Ketiga gas itu yang paling sering muncul dari gunung berapi. 

Sensor pun sudah diatur sedemikian rupa agar menyesuaikan dengan ambang batas toleransi SNI (Standar Nasional Indonesia). 

Yakni 25 ppm untuk CO, 2-3 ppm untuk SO2, serta 25 ppm untuk NOx. 

“Gas-gas ini yang paling berbahaya. 

Ini bisa membuat orang pusing, pingsan, dan menyebabkan kematian dalam hitungan menit,” imbuhnya.

Alat ini pun sudah sempat diuji di laboratorium sekolah. 

Selain itu sempat digunakan di kawasan Gunung Agung pada tanggal 3, 6, dan 8 Agustus 2018 lalu. 

Saat itu alat diletakkan pada areal berpasir dekat kawah yang ada di Banjar Dinas Muntig, Desa Tulamben. 

Alat itu diletakkan sejauh 3 kilometer dari pemukiman penduduk.

(bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/