28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:08 AM WIB

Produksi Tinggi saat Era Soeharto, Enggan Tanam Karena Minim Dukungan

Beras Sudaji sudah tak asing lagi bagi masyarakat Buleleng dan Bali umumya. Selain unggul karena kualitasnya, Padi Sudaji dipakai sebagai sarana upacara keagamaan. Saya beras lokal ini kini terancam punah. 

 

 

JULIADI, Sawan  

SEBUAH rumah dengan ornamen khas Bali dengan gapura atas bertulis Arya Tegeh Kory terpampang jelas saat Jawa Pos Radar Bali datang.

Itulah lokasi rumah Kelian Subak Dukuh Gede Jero Made Darsana. Jero Made Darsana adalah petani yang dulunya sempat mengembangkan padi lokal varietas beras Sudaji.

Namun, karena sesuatu dan lain hal, Jero Made Darsana sudah tak lagi menanam padi local ini. Meski begitu, dia masih menyimpan bibit padi beras Sudaji. 

“Saya memang simpan bibitnya, khawatir punah nantinya. Karena bibit beras Sudaji sudah susah ditemukan di para petani di Buleleng,” kata petani berusia 61 tahun ini.

Saat ini bibit padi beras Sudaji memang sudah langka. Dirinya pun hanya tersisa satu karung gumi tersimpan pada lumbung beras. 

Biasanya bibit beras Sudaji ada saja yang mencari dan membeli. Tapi, bukan untuk ditanam. Melainkan untuk keperluan sarana upacara keagamaan.

Seperti upacara Nyapu Leger, ngaben maupun saat memasang penjor di hari raya Galungan dan Kuningan. 

Beras Sudaji ada dua varietas spesifik, terdiri dari salah bulu dan cicih gundil. Salah bulu memiliki bulu yang cukup banyak dan tebal di sekitar biji padinya.

Sedangkan cicih gundil memiliki sebuah lingkaran di dalam biji beras. Tinggi beras jika sudah tumbuh normal 1 meter sampai 1,2 meter. 

Beras yang dihasilkan dengan warna putih namun telihat lebih besar dengan beras biasanya. Jika dimasak beras Sudaji memiliki tekstur yang sangat pulen.

“Untuk jangka waktu panen selama 4 bulan. Maka dulu petani disini mampu tanam hingga 3 kali dalam setahun,” tuturnya. 

Menurut Jero Darsana, beras Sudaji sudah ada sejak Orde Lama. Produksinya makin meningkat saat Indonesia masuk era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Produksinya sangat meningkat dan diminati pasar. Bahkan, nama beras Sudaji cukup booming di Kabupaten Buleleng  masa itu dengan kualitasnya yang luar biasa bagus.

Sayangnya, kini, tak mudah menemukan beras Sudaji. Bahkan, kata Darsana, di desa asalnya tak ada satu pun petani Sudaji yang bertanam varietas padi Sudaji.

Mereka justru menanam padi jenis IR64, M400 dan varietas jenis lainnya dengan kualitas standar. “Petani sudah tidak menanam beras Sudaji dan melirik padi beras varietas baru sejak tahun 2014 lalu.

Dasarnya memang sulitnya pemasaran. Selain itu bersaing dengan beras varietas baru. Kemudian juga tidak ada dukungan dari pemerintah daerah untuk tetap mempertahankan beras lokal khas Buleleng di Desa Sujadi,” bebernya. 

Diakui Jero Darsana sempat memang petani di desa Sudaji mengembangkan pertanian beras Sujadi tahun 2013. Kala itu total areal yang ditanam padi beras Sudaji mencapai 25 hektar.

Dengan perjanjian kepada pemerintah daerah, siap membeli dan memasarkan beras Sudaji. Namun di saat panen petani kelimpungan, karena pemerintah daerah tak membeli beras mereka.

Sehingga beras pun dijual dengan harga murah kala itu. “Ketimbang mereka rugi banyak, lebih baik menjual padi beras Sudaji

dengan harga murah. Untuk menutupi biaya produksi mereka. Maka tidak heran beras ini sudah ditemukan,” tuturnya.

Sebenarnya petani di Desa Sudaji sangat bermimpi untuk menanam padi beras Sudaji. Tapi keterbatasan kemampuan membuat impian itu belum bisa terwujud.

Lagi-lagi terkendala bibit, harga dan dukungan pemerintah daerah. “Kami sebagai petani berharap  pemerintah mau mendorong produksi beras Sudaji kembali.

Kemudian mendorong petani untuk bercocok tanam padi Sudaji. Karena beras Sudaji satu-satunya beras lokal yang jika dikembangkan mampu bersaingan

dengan varietas beras lainnya. Disamping itu beras Sudaji sudah memiliki nama di masyarakat Buleleng dan Bali umumnya,” tandasnya. (*)

 

Beras Sudaji sudah tak asing lagi bagi masyarakat Buleleng dan Bali umumya. Selain unggul karena kualitasnya, Padi Sudaji dipakai sebagai sarana upacara keagamaan. Saya beras lokal ini kini terancam punah. 

 

 

JULIADI, Sawan  

SEBUAH rumah dengan ornamen khas Bali dengan gapura atas bertulis Arya Tegeh Kory terpampang jelas saat Jawa Pos Radar Bali datang.

Itulah lokasi rumah Kelian Subak Dukuh Gede Jero Made Darsana. Jero Made Darsana adalah petani yang dulunya sempat mengembangkan padi lokal varietas beras Sudaji.

Namun, karena sesuatu dan lain hal, Jero Made Darsana sudah tak lagi menanam padi local ini. Meski begitu, dia masih menyimpan bibit padi beras Sudaji. 

“Saya memang simpan bibitnya, khawatir punah nantinya. Karena bibit beras Sudaji sudah susah ditemukan di para petani di Buleleng,” kata petani berusia 61 tahun ini.

Saat ini bibit padi beras Sudaji memang sudah langka. Dirinya pun hanya tersisa satu karung gumi tersimpan pada lumbung beras. 

Biasanya bibit beras Sudaji ada saja yang mencari dan membeli. Tapi, bukan untuk ditanam. Melainkan untuk keperluan sarana upacara keagamaan.

Seperti upacara Nyapu Leger, ngaben maupun saat memasang penjor di hari raya Galungan dan Kuningan. 

Beras Sudaji ada dua varietas spesifik, terdiri dari salah bulu dan cicih gundil. Salah bulu memiliki bulu yang cukup banyak dan tebal di sekitar biji padinya.

Sedangkan cicih gundil memiliki sebuah lingkaran di dalam biji beras. Tinggi beras jika sudah tumbuh normal 1 meter sampai 1,2 meter. 

Beras yang dihasilkan dengan warna putih namun telihat lebih besar dengan beras biasanya. Jika dimasak beras Sudaji memiliki tekstur yang sangat pulen.

“Untuk jangka waktu panen selama 4 bulan. Maka dulu petani disini mampu tanam hingga 3 kali dalam setahun,” tuturnya. 

Menurut Jero Darsana, beras Sudaji sudah ada sejak Orde Lama. Produksinya makin meningkat saat Indonesia masuk era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Produksinya sangat meningkat dan diminati pasar. Bahkan, nama beras Sudaji cukup booming di Kabupaten Buleleng  masa itu dengan kualitasnya yang luar biasa bagus.

Sayangnya, kini, tak mudah menemukan beras Sudaji. Bahkan, kata Darsana, di desa asalnya tak ada satu pun petani Sudaji yang bertanam varietas padi Sudaji.

Mereka justru menanam padi jenis IR64, M400 dan varietas jenis lainnya dengan kualitas standar. “Petani sudah tidak menanam beras Sudaji dan melirik padi beras varietas baru sejak tahun 2014 lalu.

Dasarnya memang sulitnya pemasaran. Selain itu bersaing dengan beras varietas baru. Kemudian juga tidak ada dukungan dari pemerintah daerah untuk tetap mempertahankan beras lokal khas Buleleng di Desa Sujadi,” bebernya. 

Diakui Jero Darsana sempat memang petani di desa Sudaji mengembangkan pertanian beras Sujadi tahun 2013. Kala itu total areal yang ditanam padi beras Sudaji mencapai 25 hektar.

Dengan perjanjian kepada pemerintah daerah, siap membeli dan memasarkan beras Sudaji. Namun di saat panen petani kelimpungan, karena pemerintah daerah tak membeli beras mereka.

Sehingga beras pun dijual dengan harga murah kala itu. “Ketimbang mereka rugi banyak, lebih baik menjual padi beras Sudaji

dengan harga murah. Untuk menutupi biaya produksi mereka. Maka tidak heran beras ini sudah ditemukan,” tuturnya.

Sebenarnya petani di Desa Sudaji sangat bermimpi untuk menanam padi beras Sudaji. Tapi keterbatasan kemampuan membuat impian itu belum bisa terwujud.

Lagi-lagi terkendala bibit, harga dan dukungan pemerintah daerah. “Kami sebagai petani berharap  pemerintah mau mendorong produksi beras Sudaji kembali.

Kemudian mendorong petani untuk bercocok tanam padi Sudaji. Karena beras Sudaji satu-satunya beras lokal yang jika dikembangkan mampu bersaingan

dengan varietas beras lainnya. Disamping itu beras Sudaji sudah memiliki nama di masyarakat Buleleng dan Bali umumnya,” tandasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/