26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 5:18 AM WIB

Sebut Kiriman “Kancing”, Terancam Hukuman Mati

Entah benar atau tidak, perempuan asal Genteng, Banyuwangi, ini mengaku tak paham soal narkoba. Meski sekarang jadi pesakitan kasus ribuan butir benda terlarang itu, dia mengaku terjebak jaringan sindikat antar pulau.

 

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

PEREMPUAN berstatus terdakwa ini rambutnya dikuncir, dengan mengenakan atasan putih,  bawahan hitam.

Stiefani Anindya Hadi, 25, seperti tak menyangka bahwa nasibnya bakal berujung di kursi pesakitan. 

Bahkan saat sampai pada gilirannya, sesekali wajahnya juga terlihat tertunduk saat mengikuti sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Senin sore (23/10) kemarin. 

Kali ini hanya mengagendakan pembacaan dakwaan. Setelah itu berlanjut dengan pemeriksaan saksi.

Lulusan Diploma 3 (D3), yang tengah didakwa berperan sebagai penghubung kepemilikan ekstasi sebanyak 9.675 butir, oleh Jaksa Penuntut Umun (JPU) I Gusti Alit Suastika ini harus mulai menjalani persidangan.

Jaksa menjeratnya  dengan pasal berlapis. Yakni, dakwaan primer pasal 114 ayat (2) dan subsider pasal 112 ayat (2) Undang-Undang (UU) RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika,  dengan ancaman hukuman maksimal pidana  mati. 

Mendengar dakwaan JPU, Stiefani yang didampingi penasihat hukumnya,  Nyoman Dila terlihat sangat shock dan kaget.

Dia  tidak mengira, perkenalannya dengan Uno, seorang perempuan yang dia kenal dari seseorang berinisial IM (masih buron alias DPO polisi) berakhir dengan ancaman hukuman berat. 

Bahkan, saat Ketua Majelis Hakim I Wayan Sukanila melanjutkan sidang dengan pemeriksaan saksi, mata Stiefani juga terlihat kosong menerawang. 

Disebutkan, hingga dirinya terjebak sindikat jaringan narkotika lintas pulau, yakni berawal dari dering telepon yang dia terima, sekitar Januari 2017 lalu.

Intinya, dia dikenalkan kepada Uno oleh IM. Setelah dikenalkan, singkat cerita, Stiefani kemudian diminta tolong untuk mengirim barang. Jalurnya  dari Palembang, Sumatra Selatan ke Bali.

“Terdakwa dijanjikan akan diberikan ongkos dan dikirimi tiket pesawat Garuda untuk berangkat dari Banyuwangi ke Palembang via Surabaya dan Jakarta,” ujar Jaksa Alit Suastika. 

Setelah mengiyakan, keesokan harinya, terdakwa kemudian berangkat dan setiba di Palembang. Stiefani sudah disiapkan kamar dan akan dijemput seseorang bernama Boru.

“Setiba di kamar hotel, oleh Boru, terdakwa kemudian dijelaskan kode putih (sabu) dan “kancing” (ekstasi),” imbuh Jaksa Alit. 

Entah sadar atau tidak, atas penjelasan saksi Boru, terdakwa kembali mengiyakan dan keesokan harinya terbang ke Bali dan menginap di Hotel Fame, beralamat di Jalan Sunset Road, Kuta, Badung. 

Dalam perjalanan, menuju hotel oleh IM dia ditelepon dan terdakwa mengatakan bahwa masih dalam perjalanan.

Kemudian setiba di hotel, terdakwa kembali ditelepon oleh IM,  melalui resepsionis hotel dan mengatakan ada seorang tamu, yakni suaminya yang disebut datang.

“Kemudian oleh terdakwa dijawab agar tamu langsung masuk ke kamar,” jelas  jaksa Alit lagi.  Tamu yang ternyata bukan suaminya itu ternyata Sukron Wardana.

Sukron kemudian meminta barang yang ada di dalam tas bertuliskan Chanel Paris. Selanjutnya Sukron ditangkap pihak BNNP dengan barang bukti ribuan ekstasi. 

Atas penangkapan Sukron selanjutnya setelah dikembangkan akhirnya petugas juga menangkap Stiefani.

“Saya dijebak. Saya tidak paham “kancing” itu,” aku Stiefani.  Selanjutnya sidang ditunda dan dilanjutkan masih dengan agenda pemeriksaan saksi.

Tentu cerita seperti ini bukan yang pertama terjadi dalam sindikat peredaran narkoba. Mata rantai jaringan narkoba selalu ada saja kisahnya.

Entah bagaimana nanti dia meyakinkan hakim dalam pembuktiannya di persidangan selanjutnya. Kadang juga tak kunjung terungkap tuntas hingga sidang putusan tiba.

Entah benar atau tidak, perempuan asal Genteng, Banyuwangi, ini mengaku tak paham soal narkoba. Meski sekarang jadi pesakitan kasus ribuan butir benda terlarang itu, dia mengaku terjebak jaringan sindikat antar pulau.

 

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

PEREMPUAN berstatus terdakwa ini rambutnya dikuncir, dengan mengenakan atasan putih,  bawahan hitam.

Stiefani Anindya Hadi, 25, seperti tak menyangka bahwa nasibnya bakal berujung di kursi pesakitan. 

Bahkan saat sampai pada gilirannya, sesekali wajahnya juga terlihat tertunduk saat mengikuti sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Senin sore (23/10) kemarin. 

Kali ini hanya mengagendakan pembacaan dakwaan. Setelah itu berlanjut dengan pemeriksaan saksi.

Lulusan Diploma 3 (D3), yang tengah didakwa berperan sebagai penghubung kepemilikan ekstasi sebanyak 9.675 butir, oleh Jaksa Penuntut Umun (JPU) I Gusti Alit Suastika ini harus mulai menjalani persidangan.

Jaksa menjeratnya  dengan pasal berlapis. Yakni, dakwaan primer pasal 114 ayat (2) dan subsider pasal 112 ayat (2) Undang-Undang (UU) RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika,  dengan ancaman hukuman maksimal pidana  mati. 

Mendengar dakwaan JPU, Stiefani yang didampingi penasihat hukumnya,  Nyoman Dila terlihat sangat shock dan kaget.

Dia  tidak mengira, perkenalannya dengan Uno, seorang perempuan yang dia kenal dari seseorang berinisial IM (masih buron alias DPO polisi) berakhir dengan ancaman hukuman berat. 

Bahkan, saat Ketua Majelis Hakim I Wayan Sukanila melanjutkan sidang dengan pemeriksaan saksi, mata Stiefani juga terlihat kosong menerawang. 

Disebutkan, hingga dirinya terjebak sindikat jaringan narkotika lintas pulau, yakni berawal dari dering telepon yang dia terima, sekitar Januari 2017 lalu.

Intinya, dia dikenalkan kepada Uno oleh IM. Setelah dikenalkan, singkat cerita, Stiefani kemudian diminta tolong untuk mengirim barang. Jalurnya  dari Palembang, Sumatra Selatan ke Bali.

“Terdakwa dijanjikan akan diberikan ongkos dan dikirimi tiket pesawat Garuda untuk berangkat dari Banyuwangi ke Palembang via Surabaya dan Jakarta,” ujar Jaksa Alit Suastika. 

Setelah mengiyakan, keesokan harinya, terdakwa kemudian berangkat dan setiba di Palembang. Stiefani sudah disiapkan kamar dan akan dijemput seseorang bernama Boru.

“Setiba di kamar hotel, oleh Boru, terdakwa kemudian dijelaskan kode putih (sabu) dan “kancing” (ekstasi),” imbuh Jaksa Alit. 

Entah sadar atau tidak, atas penjelasan saksi Boru, terdakwa kembali mengiyakan dan keesokan harinya terbang ke Bali dan menginap di Hotel Fame, beralamat di Jalan Sunset Road, Kuta, Badung. 

Dalam perjalanan, menuju hotel oleh IM dia ditelepon dan terdakwa mengatakan bahwa masih dalam perjalanan.

Kemudian setiba di hotel, terdakwa kembali ditelepon oleh IM,  melalui resepsionis hotel dan mengatakan ada seorang tamu, yakni suaminya yang disebut datang.

“Kemudian oleh terdakwa dijawab agar tamu langsung masuk ke kamar,” jelas  jaksa Alit lagi.  Tamu yang ternyata bukan suaminya itu ternyata Sukron Wardana.

Sukron kemudian meminta barang yang ada di dalam tas bertuliskan Chanel Paris. Selanjutnya Sukron ditangkap pihak BNNP dengan barang bukti ribuan ekstasi. 

Atas penangkapan Sukron selanjutnya setelah dikembangkan akhirnya petugas juga menangkap Stiefani.

“Saya dijebak. Saya tidak paham “kancing” itu,” aku Stiefani.  Selanjutnya sidang ditunda dan dilanjutkan masih dengan agenda pemeriksaan saksi.

Tentu cerita seperti ini bukan yang pertama terjadi dalam sindikat peredaran narkoba. Mata rantai jaringan narkoba selalu ada saja kisahnya.

Entah bagaimana nanti dia meyakinkan hakim dalam pembuktiannya di persidangan selanjutnya. Kadang juga tak kunjung terungkap tuntas hingga sidang putusan tiba.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/