29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 0:41 AM WIB

Bagi Hasil dengan Desa, Sehari Rp 80 Ribu, Upah untuk Sekolahkan Anak

Desa Puhu di Kecamatan Payangan menjadi sentra pohon pisang. Daun pisang kemudian dijual ke pasar Badung, Denpasar. Masyarakat setempat pun hidup dari penjualan daun. Seperti yang dilakoni salah satu petani, Ni Wayan Laku.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

BERBEKAL sebilah sabit Ni Wayan Laku tampak fokus memetik daun pisang di sebuah tegalan di Desa Puhu, Jumat (22/11) lalu.

Aktifitas sebagai buruh pemetik daun pisang ini dilakoni Wayan Laku setiap hari sejak beberapa tahun lalu. Per hari dia bisa memperoleh 40 ikat daun pisang yang sudah siap dijual ke sejumlah pasar umum.

Dalam satu wilayah proses memetik daun pisang ini bisa diakukan seorang diri. Mulai dari memetik langsung dari pohon, hingga proses pemotongan untuk diikat rapi.

Menurutnya, dalam satu ikat itu diisi sepulluh lepit daun pisang. “Saya biasa bekerja setiap hari mulai dari pagi sekitar jam sepuluh (10.00) sampai jam empat (16.00),” ujarnya.

Dalam sehari, dia bisa memperoleh 40 ikat daun pisang yang siap di jual ke sejumlah pasar umum di Kabupaten Gianyar, bahkan sampai ke Pasar Badung di Denpasar.

“Habis dipotong rapi, diikat, saya taruh saja di pinggir jalan disini. Nanti ada yang mengambil untuk dibawa ke pasar Badung dan pasar lainya,” jelasnya.

Kata dia, saat musim kemarau seperti sekarang, satu ikat daun pisang bisa laku terjual Rp 40 ribu. Di pasar, satu ikan daun yang berisi 10 lembar daun bisa dijual seharga Rp 50 ribu.

Sementara itu, bila sudah memasuki musim hujan, harga justru merosot sampai Rp 8.000. “Memang tergantung musim. Kalau musim hujan kan daunnya cepat tumbuh,” paparnya.

Jika dihitung-hitung, sehari, daun pisang yang dikumpulkan Laku mencapai Rp 1,6 juta. Namun, Laku hanyalah buruh petik daun. Dia bekerjasama dan harus bagi hasil desa desa.

Karena pisang ditanam di atas lahan desa adat. “Satu ikatnya, saya cuma dapat dua ribu (Rp 2000). Kira-kira sehari saya dapat Rp 80 ribu,” jelasnya.

Dia pun berusaha mengirit untuk memenuhi keperluan dapur. “Ya itu dicukupkan saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekedar bisa makan sebagai petani,” ujar ibu tiga anak itu.

Hasil memetik daun pisang juga digunakan untuk menghidupi tiga orang anak. Sementara suami keseharianya bekerja sebagai buruh bangunan.

Apabila suami sepi job, kadang juga ikut sebagai buruh memetik daun pisang. “Saya ada anak tiga, yang pertama sudah kerja, yang kedua masih SMK, dan yang paling kecil masih duduk di sekolah dasar,” pungkasnya. (*)

 

Desa Puhu di Kecamatan Payangan menjadi sentra pohon pisang. Daun pisang kemudian dijual ke pasar Badung, Denpasar. Masyarakat setempat pun hidup dari penjualan daun. Seperti yang dilakoni salah satu petani, Ni Wayan Laku.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

BERBEKAL sebilah sabit Ni Wayan Laku tampak fokus memetik daun pisang di sebuah tegalan di Desa Puhu, Jumat (22/11) lalu.

Aktifitas sebagai buruh pemetik daun pisang ini dilakoni Wayan Laku setiap hari sejak beberapa tahun lalu. Per hari dia bisa memperoleh 40 ikat daun pisang yang sudah siap dijual ke sejumlah pasar umum.

Dalam satu wilayah proses memetik daun pisang ini bisa diakukan seorang diri. Mulai dari memetik langsung dari pohon, hingga proses pemotongan untuk diikat rapi.

Menurutnya, dalam satu ikat itu diisi sepulluh lepit daun pisang. “Saya biasa bekerja setiap hari mulai dari pagi sekitar jam sepuluh (10.00) sampai jam empat (16.00),” ujarnya.

Dalam sehari, dia bisa memperoleh 40 ikat daun pisang yang siap di jual ke sejumlah pasar umum di Kabupaten Gianyar, bahkan sampai ke Pasar Badung di Denpasar.

“Habis dipotong rapi, diikat, saya taruh saja di pinggir jalan disini. Nanti ada yang mengambil untuk dibawa ke pasar Badung dan pasar lainya,” jelasnya.

Kata dia, saat musim kemarau seperti sekarang, satu ikat daun pisang bisa laku terjual Rp 40 ribu. Di pasar, satu ikan daun yang berisi 10 lembar daun bisa dijual seharga Rp 50 ribu.

Sementara itu, bila sudah memasuki musim hujan, harga justru merosot sampai Rp 8.000. “Memang tergantung musim. Kalau musim hujan kan daunnya cepat tumbuh,” paparnya.

Jika dihitung-hitung, sehari, daun pisang yang dikumpulkan Laku mencapai Rp 1,6 juta. Namun, Laku hanyalah buruh petik daun. Dia bekerjasama dan harus bagi hasil desa desa.

Karena pisang ditanam di atas lahan desa adat. “Satu ikatnya, saya cuma dapat dua ribu (Rp 2000). Kira-kira sehari saya dapat Rp 80 ribu,” jelasnya.

Dia pun berusaha mengirit untuk memenuhi keperluan dapur. “Ya itu dicukupkan saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekedar bisa makan sebagai petani,” ujar ibu tiga anak itu.

Hasil memetik daun pisang juga digunakan untuk menghidupi tiga orang anak. Sementara suami keseharianya bekerja sebagai buruh bangunan.

Apabila suami sepi job, kadang juga ikut sebagai buruh memetik daun pisang. “Saya ada anak tiga, yang pertama sudah kerja, yang kedua masih SMK, dan yang paling kecil masih duduk di sekolah dasar,” pungkasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/