Oleh: Dahlan Iskan
Macet di mana-mana. Juga di Beirut. Kunjungan saya baru saja selesai: ke gedung pusat agama Druze. Pun ke makam Druze.
Waktu Jumatan sudah dekat.
“Saya mau salat Jumat,” kata saya pada sopir.
“Aina,” tanya sopir.
“Masjid mana saja,” jawab saya.
Macet sekali hari ini. Juga kemarin sore. Saat hujan turun sepanjang hari. Waktu saya habis di jalan.
“Hunaka,” kata sopir. Sambil menudingkan jari. Ke arah bangunan masjid bermenara tinggi. Saya setuju.
“Itu masjid apa? Sunni atau Syiah?,” tanya saya.
“Syiah,” jawabnya. “Di daerah sini Syiah semua. Ini kawasan Hisbullah. Sunni sedikit di kawasan ini,” tambahnya.
Azan sudah berkumandang. Terdengar dari jauh. Saya pun siap-siap turun dari mobil.
“Anda tidak Jumatan?” tanya saya.
“Tidak,” jawabnya. “Saya tunggu di tempat parkir ini. Baju saya kotor,” tambahnya. Kalau mau salat, katanya, harus bersih, harus pakai parfum.
Saya pun menuju masjid besar itu. Yang di sekelilingnya dipagari kawat berduri. Tinggi sekali. Pertanda tidak aman.
Pun jalan menuju ke kawasan Hisbullah ini. Ada barikade. Ada pos keamanan. Yang dijaga tentara-tentara bersenjata. Tapi tidak sampai melakukan pemeriksaan. Mobil lewat begitu saja. Dengan kaca jendela di buka. Dan menyapa si tentara.
Kawasan pengikut Hisbullah ini besar sekali. Hampir seperempat kota Beirut. Dengan penduduk amat padat. Rumah susun empat, lima, enam, delapan, 12 berhimpitan. Agak kurang terpelihara.
Kawasan ini sering jadi sasaran senjata berat. Jembatan itu pernah runtuh. Rumah-rumah itu hancur.
Belakangan ini banyak orang Hisbullah pergi ke Syiria. Berperang. Melawan ISIS. Banyak pula yang mati di sana. Termasuk kakak kandung sopir saya tadi.
Saya sudah tahu bagaimana memasuki masjid Syiah. Tidak ada bedanya dengan masuk masjid Sunni. Saya juga sudah biasa berwudu dengan cara tidak basuh kaki. Cukup mengoleskan jari tangan yang basah. Ke punggung telapak kaki.
Masjid ini penuh sekali. Kira-kira seribu orang. Tidak ada yang pakai tutup kepala. Tidak ada yang pakai sorban.
Semua jamaah pakai baju biasa. Banyak yang pakai celana jean. Kaus dan jaket. Tapi hanya saya yang tidak pakai kaus kaki.
Di seperempat ruang ini seperti di dalam gereja. Ada barisan meja. Dan kursi. Lima baris. Untuk jamaah yang sudah tua. Yang tidak bisa salat di lantai.
Tepat jam 11.45 seseorang masuk dari pintu sebelah mihrab. Dengan pakaian seperti ayatullah. Langsung menuju mimbar. Berkhotbah. Dalam bahasa Arab. Tentu saja. Tanpa ‘assalamu’alaikum’.
Setelah beberapa kalimat khotbah jemaah mengucapkan salawat nabi. Tiga kali. Serentak. Dengan suara keras.
Khotbah dilanjutkan. Temanya tentang lahirnya Nabi Isa. Mungkin agar aktual. Jumatan kali ini sudah dekat dengan hari Natal.
Di awal khotbah, dua kali jemaah tertawa hampir serentak. Ada bagian yang lucu dalam khotbah itu. Lalu tertawa sekali lagi. Ada yang lucu lagi.
Saya tidak ikut tertawa. Tidak paham lucunya di mana. Bahasa Arab saya tidak cukup untuk menangkap kalimat yang lucu-lucu.
Di Indonesia tidak begitu. Tidak pernah ada jemaah salat Jumat yang sampai tertawa. Pengkhotbahnya umumnya serius. Atau serius sekali.
Khotbah masih berlangsung. Anak muda di sebelah saya berdiri. Salat. Beberapa rakaat. Ia didatangi seorang tua. Yang melarang ia salat. Ini saatnya mendengarkan khotbah.
Yang dilarang tetap saja salat. Yang melarang tidak ngotot. Kembali duduk ke tempatnya semula. Rupanya orang tua itu ingin meluruskan logika: mendengarkan khotbah itu wajib. Salat sunnah itu tidak wajib.
Di Lebanon ini khotbahnya panjang sekali. Hampir 45 menit. Tanpa henti. Tidak ada khotbah pertama atau kedua. Sesekali jamaah melantunkan salawat nabi. Serentak. Di sela-sela khotbah. Di setiap ujung kalimat yang menarik.
Khotbah selesai. Terdengar suara azan. Yang diselipi syahadat ketiga: bahwa Ali itu wali Allah. Yang diselipkan setelah dua syahadat. Lalu iqamat.
Salat dimulai. Saya tidak mau berbeda sendiri. Saya keluarkan juga turbah. Dari kantong saya. Bentuknya seperti kue bakpia. Yang terbuat dari tanah. Yang diambil dari Karbala. Iraq Selatan. Tempat dibunuhnya Sayidina Husein. Salah satu dari 12 imam Syiah.
Turbah itu saya ambil dari tempatnya. Di dekat pintu masuk masjid. Banyak tersedia di situ. Saya ambil satu.
Saya taruh turbah itu di atas sajadah. Di posisi dahi saya nanti. Saat saya sujud nanti. Semua jamaah melakukan seperti itu. Turbah itu terbawa ke hotel. Akan saya bawa pulang. Turbah lama saya hilang. Atau diminta orang. Yang saya ambil dari masjid di kota Qom dulu. Di pusatnya Syiah. Di Iran.
Saya ikut saja. Bagaimana gerakan salat kanan-kiri saya. Termasuk tidak sedakep tangan di dada. Bacaan rukuk dan sujud pun ikut imam. Toh suara imam cukup keras. Di saat rukuk dan sujud sekali pun.
Salat itu empat rakaat. Tidak seperti di Indonesia: dua rakaat. Saya masih berpikir: salat apakah tadi itu?
Jangan-jangan salat duhur empat rakaat. Tidak ada salat Jumat. Atau dua rakaat salat duhur dan dua rakaat salat asar. Orang Syiah kan biasa menggabungkan dua salat itu?
Selesai salat empat rakaat itu saya pun berdiri. Jemaah lain tidak. Masih tetap di tempat duduk mereka. Semua. Melantunkan kalimat-kalimat pujian. Pada Nabi Muhammad SAW.
Saya meninggalkan saf di depan. Menuju pintu keluar. Sendirian. Mencari sepatu. Dan kaus kaki. Yang terserak. Campur sepatu lainnya.
Di depan pintu itu ada anak remaja. Berdiri. Membawa nampan. Umurnya sekitar 10 tahun. Pakaiannya seperti pramuka. Ada foto Ayatullah Khomaini. Menggantung di dadanya.
Nampan itu berisi permen. Siapa saja boleh ambil permen itu. Sambil meninggalkan uang kecil. Ia lagi mencari dana.
Pramuka itu menyapa saya. Dengan bahasa Inggris yang sangat lancar. Saya menjawabnya: dari Indonesia. Ia tampak sangat gembira.
“Tadi itu salatnya empat rakaat. Apakah itu salat duhur dan asar sekaligus?” tanya saya.
“Bukan,” jawabnya. “Salat asarnya sebentar lagi. Tiga menit lagi,” tambahnya.
“Kok tadi itu empat rakaat. Mengapa empat rakaat?,” tanya saya lagi.
“Ya begitulah. Harus begitu,” jawabnya.
Saya bergegas balik ke dalam masjid. Copot sepatu lagi. Takut ketinggalan salat asar. Saya pun ikut salat empat rakaat lagi. Saya kan musafir.
Saya tidak sempat ngobrol-ngobrol setelah Jumatan. Acara lain sudah menunggu.
Macet lagi.
Parah.
Ternyata mobil diberhentikan di suatu tempat. Sekitar 1 Km dari masjid. Sopir minta ijin turun. Masuk makam. Saya mengikutinya. Ingin tahu.
Ia berdoa di depan salah satu batu nisan. Saya ikut berdoa. “Ini nisan kakak saya. Meninggal di Syiria. Ia syahid. Melawan ISIS. Itu fotonya,” katanya.
Semua nisan di situ dilengkapi foto berwarna. Dalam pakaian militer Hisbullah. Dalam posisi bersenjata.
Di seberang makam kakaknya itu ada makam lain. Yang lebih penting. Makamnya anak Hassan Nasrullah. Pemimpin tertinggi Hisbullah. Namanya: Hadi Nasrullah. Umur: 19 tahun. Meninggal dibom Israel. Namanya diabadikan. Menjadi nama jalan utama di kawasan ini.
Juga ada makam Imad Mughni. Panglima tentara Hisbullah. Dan ratusan pahlawan Hisbullah lainnya.
Selama di Lebanon ini saya tidak mendengar satu pun bom meledak. Atau senjata meletup. Tapi suara peluru begitu bising di otak saya.(Dahlan Iskan)