Di tengah anjuran physical distancing, hakim dan jaksa harus berkejaran menyelesaikan perkara yang sudah masuk persidangan.
Sidang virtual atau online pun dipilih. Praktiknya, sidang tanpa tatap muka itu tak semudah yang dibayangkan.
MAULANA SANDIJAYA, Denpasar
SEBELUM Covid-19 atau virus corona melanda, setiap hari PN Denpasar selalu penuh sesak. Bahkan berjubel. Tidak kurang 60 tahanan antre menunggu sidang per hari.
Belum lagi kehadiran puluhan kerabat terdakwa, saksi, jaksa, dan pengacara yang berseliweran. Kondisi pengadilan kelas IA yang ada di Jalan Sudirman itu benar-benar padat.
Kini, semua pemandangan itu seolah lenyap. Yang ada hanya beberapa orang jaksa dan hakim yang bertugas. Ruang sidang yang biasa padat menjadi kosong.
Tidak ada lagi tahanan yang duduk berhimpitan berbagi kursi. Yang tampak di ruang sidang saat ini adalah laptop, layar monitor, mikforon, dan salon pengeras suara.
Hakim dan jaksa masing-masing berada di ruang terpisah. Dari lima ruang sidang yang ada, hanya dua ruangan yang dipakai.
Sidang pun tidak lagi seru. Sebab, baik hakim maupun jaksa tidak bisa improvisasi. Berbeda dengan sidang konvensional, hakim dan jaksa bisa mengembangkan pertanyaan baru untuk pembuktian yang tidak ada di dalam berkas.
Saat terdakwa berbelit, hakim dan jaksa bisa membentak langsung. Kalau sudah begitu, sidang diwarnai ekspresi lucu atau ketakutan terdakwa.
Kontras dengan pemandangan saat ini, semuanya seperti berjalan monoton. Pantauan Jawa Pos Radar Bali, saat menunggu antrean sidang online, para jaksa pun terlihat jenuh.
Sebagian dari mereka rela duduk lesehan di lantai sambil menunggu panggilan panitera dari balik pengeras suara. Saat sidang dimulai pun, jaksa dituntut cermat mendengarkan keterangan saksi dan terdakwa.
Ini adalah tantangan tersendiri bagi kalangan Adiyaksa. Dalam kasus besar yang disertai surat-surat penting, jaksa harus mampu membuktikan dan meyakinkan hakim.
“Kami akui, saat sidang online ini tidak ada feel-nya,” ujar Kasi Intel Kejari Denpasar, IGN Ary Kusuma kepada Jawa Pos Radar Bali.
Menurut Ary, sidang dalam jaringan (daring) memang sangat menguji kesabaran. Maklum, ketika jaksa sudah siap untuk sidang, tahanan yang ada di dalam Lapas Kelas IIA Kerobokan belum siap.
Mereka masih dijemput satu per satu dari dalam sel. “Seperti hari ini (kemarin, Red) ada 56 perkara yang disidangkan Kejari Denpasar. Ketika semua jaksa siap, tahanan masih harus dipanggil dulu. Itu memakan waktu,” imbuhnya.
Meski demikian, para jaksa tetap dituntut bekerja profesional. Kendati ada kekurangan, sidang daring juga memiliki kelebihan.
“Kelebihannya perkara tidak tertunda. Bisa selesai tepat waktu. Kalau tidak ada sidang daring, maka kami kewalahan, kan masa tahanan ada waktunya,” tukas jaksa asal Gianyar, itu.
Hal senada diungkapkan jaksa I Kadek Wahyudi Ardika. Saat sidang kemarin, Kadek harus ekstra sabar menunggu antrean.
Membutuhkan waktu jalan kaki dari dalam sel ke ruang tahanan di dalam lapas. “Di lapas ada aturan, tahanan yang menunggu sidang tidak boleh lebih sepuluh orang.
Makanya, ketika kami siap, sebagian terdakwa masih berada dalam blok. Itu yang menjadi kendala,” kata Kadek Wahyudi Ardika.
Jaksa yang hobi futsal itu juga tak menampik sidang daring membuat pembuktian sedikit berat. Beberapa kali jaksa harus mengulang pertanyaan agar bisa dimengerti oleh terdakwa dan penasihat hukumnya.
Menurut Kadek, sisi positif dari sidang jarak jauh ini yaitu tetap menjaga keselamatan terdakwa dan pihak lainnya di tengah pandemi Covid-19.
“Kondisi wabah seperti ini kami harus tetap bersemangat. Salus populi suprema lex esto, yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi,” tutur Kadek mengutip filsuf Romawai kuno Marcus Tullius Cicero.
Setali tiga uang, kalangan hakim juga menganggap sidang konvensional jauh lebih efektif dibandingkan sidang daring.
Selain bisa mendapatkan ekspresi dan menggali lebih jauh keterangan terdakwa, sidang konvensional juga bisa lebih cepat.
Hal itu diungkapkan hakim senior I Wayan Gede Rumega. “Kesiapan terdakwa membutuhkan waktu cukup lama. Mereka dijemput dari sel butuh waktu sekitar lima sampai sepuluh menit,” kata Rumega.
Selain menyoal waktu, hal lain yang dinilai belum maksimal adalah peranti atau alat komunikasi yang dipakai untuk sidang.
Tidak selalu peranti berjalan baik. Saat sinyal lemah, maka sidang mengalami gangguan. Belum lagi suara terdakwa yang kadang kurang jelas.
Beberapa kali hakim dengan sabar harus memerintahkan terdakwa mendekatkan diri ke mikforon agar suara bisa terdengar jelas.
Namun, Rumega memaklumi karena sidang daring ini masih tahap awal yang membutuhkan adaptasi.
“Semoga saja pandemi Covid-19 ini bisa segera berlalu. Sehingga semua kembali normal seperti sediakala, astungkara,” tegas hakim asal Ulakan, Karangasem, itu. (*)