I Wayan Subagia, 49, asal Tegal Tugu, Gianyar sudah 25 tahun menjadi tenaga harian di Rumah Potong Hewan (RPH) Gianyar di Jalan Astina Selatan.
Di RPH itu, Subagia bertugas sebagai penjaga dan diberikan mes seluas 2×3 meter. Di mes itu Subagia tinggal bersama istri, anak, menantu dan ada cucu yang berusia 13 hari.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
WAYAN Subagia mengawali bekerja sebagai tenaga harian di RPH sejak dia masih bujang. Dia juga meninggalkan rumah tuanya di Tegal Tugu Gianyar.
Karena latar belakang permasalahan keluarga, dia tidak memiliki rumah di tempat asalnya di Tegal Tugu. Jadi RPH itu sudah seperti rumah baginya.
Kamar tidurnya seluas 2×3 meter di RPH tampak lembab. Tidak ada cahaya matahari dan tampak lembab.
Selain itu, kamarnya selain ditembok dari bedek, juga berdampingan dengan tembok tumpukan kulit sapi yang baru dipotong. Bau dari potongan kulit sapi itu pun sangat menyengat hidung.
Di ruangan sempit itu, Subagia tinggal bersama istri Ni Kadek Sekar, 48. Sambil berdesakan, Subagia juga tinggal dengan anak kandungnya, Wayan Subagiarta, 21, dan menantunya Ni Kadek Hermawati, 22.
Subagia juga berbagi tempat dengan dua cucunya, Ni Putu Elimia Karlah (1,5 tahun) dan seorang cucu laki-laki yang belum diberi nama dengan usia 14 hari.
“Saya sudah beberapa kali mengajukan program bedah rumah di Tegal Tugu, karena tidak punya lahan sehingga bantuan itu tidak pernah terealisasi,” keluh Subagia.
Kehidupan yang sebar pas-pasan, apalagi selama bekerja sebagai tenaga harian di RPH dia hanya digaji Rp 1,2 juta. Itu membuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan.
“Karena kami tidak punya pilihan lagi, sehingga kami mengajak cucu di sini. Untuk itu kami mohon perhatian Pemkab Gianyar,” pinta Subagia.
Di RPH itu, Subagia bertugas sebagai penjaga RPH. Disela-sela berjaga, dia juga membersihkan areal RPH.
Disela-sela sebagai waker, bila dirinya ada yang mengajak sebagai tenaga bantu bangunan, Subagia mengaku sebagai tenaga pembantu tukang.
Wayan Subagia menuturkan hidupnya sejak dalam kandungan dirinya merana. Menurut Subagia sang ibu kandung sudah cerai oleh suaminya sejak Subagia masih dalam kandungan sang ibu.
Sang ibu pun balik ke rumah asalnya. Karena Subagia tidak punya rumah, sehingga saat menikah dengan istrinya Kadek Sekar dilangsungkan di RPH tersebut.
Anaknya pun Subagiarta lahir dan tumbuh besar di RPH, termasuk dua orang cucunya menganggap RPH itu sebagai rumahnya.
Guna memenuhi kebutuhan hidup, Subagia dibantu istrinya sebagai tenaga amplas di Beng, Gianyar. Sementara anaknya Subagiarta sempat bekerja di sebuah bengkel mebel di Klungkung.
Namun, karena memiliki anak kecil kemudian berhenti dan sekarang baru bekerja lagi sebagai tukang ikat atap ijuk di Buruan, Blahbatuh, Gianyar.
Kini, yang dikhawatirkan Subagia saat dia sudah berhenti sebagai tenaga harian di RPH. Subagia khawatir jika diminta angkat kaki dari mes RPH tersebut, karena selama ini tidak punya rumah.
“Saya bingung, nanti saya pensiun sebagai tenaga waker di mana saya tinggal, rumah dan tanah tidak punya. Bedah rumah juga tidak dapat,” tukasnya