33.6 C
Jakarta
19 September 2024, 15:17 PM WIB

Bahan Tanah Harus Beli di Keramas, Berharap Gunung Agung Normal

Sentra kerajinan batu bata di Desa Tulikup Kecamatan Gianyar kini sudah kekurangan bahan tanah. Jika dulu stok tanah diperoleh langsung dari desa mereka,

kini tanah mereka habis dan harus membeli di Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh. Dampak Gunung Agung pun menambah beban mereka.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

TUMPUKAN batu bata merah tampak di depan rumah warga Desa Tulikup. Masuk ke dalam pekarangan rumah warga, tampak banyak bata mentah yang belum dibakar.

Pemandangan itu hampir bisa terlihat di setiap rumah warga Desa Tulikup. Banyaknya produksi bata menjadikan desa itu sebagai sentra produsen bata merah ternama di Bali.

Batu bata yang ditumpuk di pinggir jalan atau di telajakan rumah menandakan bata itu siap dijual.

Salah satu pembuat batu bata jenis batu bata pasangan, I Wayan Lugri, 68, yang membuka usaha cetak batu bata di Banjar Tegal, Desa Tulikup, mengakui jika bahan meterial tanah sudah habis di desa mereka.

“Sekarang harus beli di Keramas. Satu truk tanah harganya Rp 600 ribu,” ujar pria yang membuka usahanya di Banjar Tegal, Tulikup itu.

Tanah tersebut, kemudian diolah berupa adonan lumpur dan dihendapkan selama sehari,  kemudian baru dicetak.

Dari satu truk tanah bisa menghasilkan 4.500 biji bata. “Sehari saya bisa hasilkan 200 sampai 300 biji. Kalau musim hujan dirinya tidak dapat mencetak,” ujarnya.

Cetakan didiamkan sekitar seminggu hingga kering. Proses selanjutnya, cetakan tadi dimasukkan ke dalam tungku pembakaran (gerombong).

Dalam satu tungku pembakaran isinya mencapai 7.500 biji. Bila tungku sudah penuh kemudian batu bata dibakar menggunakan kayu bakar.

Selain harus membeli bahan tanah, pihaknya kini masih menunggu situasi Gunung Agung. Pasca-erupsi, perekonomian sedikit lesu.

“Karena yang membangun sedikit, jadi bata kami tidak ada yang beli. Mudah-mudahan ini cepat berlalu,” pintanya.

Produsen batu bata lainnya, Ni Wayan Kasti, 60, di Banjar Kaja Kauh, Desa Tulikup, mengaku hal serupa. Kasti yang membuat bata bata gosok atau batu bata super juga kesulitan bahan material tanah.

Dia juga harus membeli dari Keramas, Blahbatuh. Kasti mengaku dia membeli tanah bahan batu satu truk Rp 500 ribu.

Tanah tersebut kemudian dia olah menjadi dua jenis cetakan bata, yakni batu bata super dan batu bata pasangan.

Bila membuat batu bata gosok atau super prosesnya berbeda dengan membuat batu bata pasangan. Batu bata gosok atau super tanahnya harus alus sehingga diayak terlebih dahulu.

Perempuan ini mengaku membakar cetakan menjadi batu bata sebanyak 10.000 dalam satu rombong memerlukan waktu sekitar 10 hari.

Untuk membakar cetakan bata itu, Kasti mengaku menggunakan kayu dan tidak menggunakan jerami padi. Sebab kayu hasilnya jauh lebih bagus.

Diakui proses pembuatannya bata super lebih lama dari membuat batu bata pasangan. Sehingga harganya pun dua kali lipat.

Untuk batu bata super per 1.000 biji seharga Rp 2,5 juta. Sedangkan untuk batu bata pasangan per 1.000 biji seharga Rp 1 Juta.

Kasti juga mengeluhkan sepinya pembeli setelah erupsi Gunung Agung. Dia menduga sepi pembeli batu bata karena macetnya pembangunan karena tidak adanya pasir.

Pasir ini merupakan bahan perekat yang dicampir semen. “Mudah-mudahan pasir bisa lancar lagi, dan harga pasir murah. Jadi banyak orang membangun pakai batu bata,” ungkapnya.

Sentra kerajinan batu bata di Desa Tulikup Kecamatan Gianyar kini sudah kekurangan bahan tanah. Jika dulu stok tanah diperoleh langsung dari desa mereka,

kini tanah mereka habis dan harus membeli di Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh. Dampak Gunung Agung pun menambah beban mereka.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

TUMPUKAN batu bata merah tampak di depan rumah warga Desa Tulikup. Masuk ke dalam pekarangan rumah warga, tampak banyak bata mentah yang belum dibakar.

Pemandangan itu hampir bisa terlihat di setiap rumah warga Desa Tulikup. Banyaknya produksi bata menjadikan desa itu sebagai sentra produsen bata merah ternama di Bali.

Batu bata yang ditumpuk di pinggir jalan atau di telajakan rumah menandakan bata itu siap dijual.

Salah satu pembuat batu bata jenis batu bata pasangan, I Wayan Lugri, 68, yang membuka usaha cetak batu bata di Banjar Tegal, Desa Tulikup, mengakui jika bahan meterial tanah sudah habis di desa mereka.

“Sekarang harus beli di Keramas. Satu truk tanah harganya Rp 600 ribu,” ujar pria yang membuka usahanya di Banjar Tegal, Tulikup itu.

Tanah tersebut, kemudian diolah berupa adonan lumpur dan dihendapkan selama sehari,  kemudian baru dicetak.

Dari satu truk tanah bisa menghasilkan 4.500 biji bata. “Sehari saya bisa hasilkan 200 sampai 300 biji. Kalau musim hujan dirinya tidak dapat mencetak,” ujarnya.

Cetakan didiamkan sekitar seminggu hingga kering. Proses selanjutnya, cetakan tadi dimasukkan ke dalam tungku pembakaran (gerombong).

Dalam satu tungku pembakaran isinya mencapai 7.500 biji. Bila tungku sudah penuh kemudian batu bata dibakar menggunakan kayu bakar.

Selain harus membeli bahan tanah, pihaknya kini masih menunggu situasi Gunung Agung. Pasca-erupsi, perekonomian sedikit lesu.

“Karena yang membangun sedikit, jadi bata kami tidak ada yang beli. Mudah-mudahan ini cepat berlalu,” pintanya.

Produsen batu bata lainnya, Ni Wayan Kasti, 60, di Banjar Kaja Kauh, Desa Tulikup, mengaku hal serupa. Kasti yang membuat bata bata gosok atau batu bata super juga kesulitan bahan material tanah.

Dia juga harus membeli dari Keramas, Blahbatuh. Kasti mengaku dia membeli tanah bahan batu satu truk Rp 500 ribu.

Tanah tersebut kemudian dia olah menjadi dua jenis cetakan bata, yakni batu bata super dan batu bata pasangan.

Bila membuat batu bata gosok atau super prosesnya berbeda dengan membuat batu bata pasangan. Batu bata gosok atau super tanahnya harus alus sehingga diayak terlebih dahulu.

Perempuan ini mengaku membakar cetakan menjadi batu bata sebanyak 10.000 dalam satu rombong memerlukan waktu sekitar 10 hari.

Untuk membakar cetakan bata itu, Kasti mengaku menggunakan kayu dan tidak menggunakan jerami padi. Sebab kayu hasilnya jauh lebih bagus.

Diakui proses pembuatannya bata super lebih lama dari membuat batu bata pasangan. Sehingga harganya pun dua kali lipat.

Untuk batu bata super per 1.000 biji seharga Rp 2,5 juta. Sedangkan untuk batu bata pasangan per 1.000 biji seharga Rp 1 Juta.

Kasti juga mengeluhkan sepinya pembeli setelah erupsi Gunung Agung. Dia menduga sepi pembeli batu bata karena macetnya pembangunan karena tidak adanya pasir.

Pasir ini merupakan bahan perekat yang dicampir semen. “Mudah-mudahan pasir bisa lancar lagi, dan harga pasir murah. Jadi banyak orang membangun pakai batu bata,” ungkapnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/