32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 17:32 PM WIB

Trump Duluan, Kondom Kemudian

Oleh: Dahlan Iskan

INI gara-gara Trump resmi memulai perang dagang. Niat saya meneruskan tulisan tentang kondom kalah aktual.

Maka, wahai para penggemar kondom tertipis, marahlah pada Trump. Pagi ini terpaksa saya menulis tentang perang dagang itu. Terutama mengapanya.

Sesuai jadwal, perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok resmi dimulai. Jumat kemarin. Waktu Indonesia. Kamis waktu Amerika.

Presiden AS Donald Trump menandatangani aturan pengenaan tarif bea masuk baja. Tidak tanggung-tanggung: langsung 30 persen. Eh, ternyata gak jadi 30 persen. Tapi 25 persen. Dan alumunium. Sebesar 15 persen.

Hebatnya, Tiongkok langsung melawan. Hari itu juga. Bahkan jam itu juga. Mengenakan bea masuk hasil pertanian dari Amerika. Juga baja.

Dan alumunium bekas. Total 120 barang Amerika yang dikenakan bea masuk 15 persen. Bahkan untuk daging babi dari Amerika dikenakan tarif 25 persen.

Perang dagang telah resmi dimulai. Siapa yang akan menang masih harus ditunggu. Tapi Tiongkok sudah sangat siap.

“Kami bukan Iraq atau Iran yang mudah diancam,” begitu statemen dari pihak Tiongkok.

Memang ada bumbu perang yang sangat sensitif saat ini: Taiwan. Trump juga menandatangani aturan perlunya pejabat-pejabat Amerika ke Taiwan.

Untuk bertemu pejabat selevel di Taipei. Dan pejabat AS harus menerima kunjungan pejabat Taiwan selevel.

Bagi Tiongkok itu ibarat filsafat orang Jawa dalam mempertahankan tanah hak milik: “sedumuk bathuk, senyari bumi”.

Tiongkok menganggap Taiwan bagian dari hak miliknya. Doktrin Trump itu dianggap pengingkaran terhadap kesepakatan “one China principle”.

Tensi di Tiongkok kini tinggi sekali. Tidak hanya siap perang dagang tapi juga perang sungguhan.
Ketika kesepakatan “one China principle” terjadi di tahun 1992 (termasuk Indonesia di dalamnya) Tiongkok masih amat miskin. Lebih miskin dari Indonesia saat itu.

Tahun 2010 sudah mengalahkan Jerman. Sebagai kekuatan ekonomi ketiga terbesar dunia.

Dua tahun kemudian mengalahkan Jepang. Sebagai kekuatan kedua ekonomi dunia.

Tahun lalu ekonomi Tiongkok sudah lebih besar dari Jerman ditambah Jepang. Sudah 12 triliun USD.

Perang dagang sekarang ini tentu bukan sekedar karena Trump mengenakan bea masuk barang Tiongkok. Bagi Tiongkok lebih karena “sedumuk bathuk senyari bumi”.

Bagi Amerika ini juga bukan sekedar ingin dapat tambahan uang. Untuk menambal APBN nya. Lalu, apa?

Inilah rahasia besar di balik semua itu: Tahun 2015 lalu Tiongkok membuat deklarasi internal.

Yang mengumumkannya Li Kejiang, perdana menteri. Yang minggu lalu kembali diangkat jadi perdana menteri untuk periode kedua.

Judul deklarasi itu adalah: “Made in China 2025”. Itulah program 10 tahun Tiongkok untuk berubah total.

Di sektor industri. Dari negara industri yang mengandalkan murahnya buruh ke sifat industri gelombang keempat.

Lima tahun kemudian ekonomi Tiongkok sudah akan mengalahkan Amerika. Menjadi kekuatan ekonomi nomor 1 di dunia. Tiongkok merasa bukan Iraq atau Iran.

Kalau mau, saya bisa menguraikan 10 program utama untuk loncatan 10 tahun itu. Tapi tulisan ini akan menjadi sangat panjang.

Akan melelahkan. Akan menjadi jauh kalah menarik dari tulisan, misalnya, tentang kondom tipis.

Sepuluh langkah loncatan itulah yang terus dibahas di Amerika. Sejak tahun 2015 lalu. Sekarang adalah ledakannya.(dis)

Oleh: Dahlan Iskan

INI gara-gara Trump resmi memulai perang dagang. Niat saya meneruskan tulisan tentang kondom kalah aktual.

Maka, wahai para penggemar kondom tertipis, marahlah pada Trump. Pagi ini terpaksa saya menulis tentang perang dagang itu. Terutama mengapanya.

Sesuai jadwal, perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok resmi dimulai. Jumat kemarin. Waktu Indonesia. Kamis waktu Amerika.

Presiden AS Donald Trump menandatangani aturan pengenaan tarif bea masuk baja. Tidak tanggung-tanggung: langsung 30 persen. Eh, ternyata gak jadi 30 persen. Tapi 25 persen. Dan alumunium. Sebesar 15 persen.

Hebatnya, Tiongkok langsung melawan. Hari itu juga. Bahkan jam itu juga. Mengenakan bea masuk hasil pertanian dari Amerika. Juga baja.

Dan alumunium bekas. Total 120 barang Amerika yang dikenakan bea masuk 15 persen. Bahkan untuk daging babi dari Amerika dikenakan tarif 25 persen.

Perang dagang telah resmi dimulai. Siapa yang akan menang masih harus ditunggu. Tapi Tiongkok sudah sangat siap.

“Kami bukan Iraq atau Iran yang mudah diancam,” begitu statemen dari pihak Tiongkok.

Memang ada bumbu perang yang sangat sensitif saat ini: Taiwan. Trump juga menandatangani aturan perlunya pejabat-pejabat Amerika ke Taiwan.

Untuk bertemu pejabat selevel di Taipei. Dan pejabat AS harus menerima kunjungan pejabat Taiwan selevel.

Bagi Tiongkok itu ibarat filsafat orang Jawa dalam mempertahankan tanah hak milik: “sedumuk bathuk, senyari bumi”.

Tiongkok menganggap Taiwan bagian dari hak miliknya. Doktrin Trump itu dianggap pengingkaran terhadap kesepakatan “one China principle”.

Tensi di Tiongkok kini tinggi sekali. Tidak hanya siap perang dagang tapi juga perang sungguhan.
Ketika kesepakatan “one China principle” terjadi di tahun 1992 (termasuk Indonesia di dalamnya) Tiongkok masih amat miskin. Lebih miskin dari Indonesia saat itu.

Tahun 2010 sudah mengalahkan Jerman. Sebagai kekuatan ekonomi ketiga terbesar dunia.

Dua tahun kemudian mengalahkan Jepang. Sebagai kekuatan kedua ekonomi dunia.

Tahun lalu ekonomi Tiongkok sudah lebih besar dari Jerman ditambah Jepang. Sudah 12 triliun USD.

Perang dagang sekarang ini tentu bukan sekedar karena Trump mengenakan bea masuk barang Tiongkok. Bagi Tiongkok lebih karena “sedumuk bathuk senyari bumi”.

Bagi Amerika ini juga bukan sekedar ingin dapat tambahan uang. Untuk menambal APBN nya. Lalu, apa?

Inilah rahasia besar di balik semua itu: Tahun 2015 lalu Tiongkok membuat deklarasi internal.

Yang mengumumkannya Li Kejiang, perdana menteri. Yang minggu lalu kembali diangkat jadi perdana menteri untuk periode kedua.

Judul deklarasi itu adalah: “Made in China 2025”. Itulah program 10 tahun Tiongkok untuk berubah total.

Di sektor industri. Dari negara industri yang mengandalkan murahnya buruh ke sifat industri gelombang keempat.

Lima tahun kemudian ekonomi Tiongkok sudah akan mengalahkan Amerika. Menjadi kekuatan ekonomi nomor 1 di dunia. Tiongkok merasa bukan Iraq atau Iran.

Kalau mau, saya bisa menguraikan 10 program utama untuk loncatan 10 tahun itu. Tapi tulisan ini akan menjadi sangat panjang.

Akan melelahkan. Akan menjadi jauh kalah menarik dari tulisan, misalnya, tentang kondom tipis.

Sepuluh langkah loncatan itulah yang terus dibahas di Amerika. Sejak tahun 2015 lalu. Sekarang adalah ledakannya.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/