DENPASAR – Petugas penyelenggara pemilihan umum (pemilu) yang jatuh sakit terus bertambah. Terbaru, yang sakit seluruh Bali mencapai sembilan orang. Bertambah empat orang.
Data KPU Bali, mereka di antaranya I Nengah Widiartha, Karangasem (saat proses perhitungan terkena stroke dibawa ke RS Sanglah),
Ida Bagus Ketut Padang, Karangasem ( Rawat Inap di RS Karangasem), I Made Agus Suta Wijaya, Karangasem ( Rawat Inap di RS Karangasem),
Ni Komang Sri Apriani, Badung (Rawat Inap di RS Kasih Ibu dan sudah pulang), AA Gede Juliartha, Bangli (Pegawai yang bersangkutan sedang perjalanan mengambil konsumsi untuk setting logistik mengalami kecelakaan patah tulang bahu),
Made Suweca, Karangasem (Gejala stroke akibat kelelahan pada saat pemungutan dan perhitungan suara),
Desak Made Alit Armini, Karangasem (Pada saat mulai pleno perhitungan suara di Kecamatan Manggis tiba-tiba ambruk dan dibawa ke Puskesmas),
I Putu Rudi Artawan, Badung (Kecelakaan dan meninggal), dan Gusti Made Budiasa, Tabanan (Mengalami vertigo saat rekap di TPS, sudah dilarikan ke UGD dan sekarang sudah diizinkan pulang).
Sebagai bentuk kepedulian, KPU RI atau KPU Pusat meminta komisioner KPUD Bali untuk mencatat para korban tersebut.
Sebab, ada rencana untuk diberi santunan kepada yang meninggal dan cacat permanen.
“Kami diminta untuk mendata para petugas yang terkena musibah, karena karena KPU sedang berusaha untuk memberi santunan kepada yang meninggal atau yang cacat,” ucap Komisioner KPU Bali I Gede Jhon Darmawan.
Rencana besaran santunan diperkirakan berkisar antara Rp 30 – 36 juta untuk korban meninggal, dan Rp 10 juta untuk korban cacat permanen.
“Kemarin besarannya masih dihitung, dari Pak Ketua kira-kira meninggal itu Rp 30-36 juta, kalau cacat permanen itu Rp 10 juta. Tapi, masih kami tunggu,” papar mantan ketua KPUD Kota Denpasar ini.
Terkait banyaknya korban yang jatuh sendiri, John mengaku bahwa mereka kerja penuh dan kurang istirahat.
Mereka rata-rata selesai pukul 05.00 baru selesai. Pasalnya, pemilu dengan sistem serentak ini merupakan yang pertama terjadi di Indonesia.
“Bayangkan saja, KPPS itu bekerja sejak sebelum hari H. Mereka bagikan C-6, lalu pungut-hitung pada 17 April.
Lalu dibawa ke desa bisa sampai pukul 05.00 besoknya, belum lagi kalau ada masalah di rekapitulasi di kecamatan. Itu bisa dipanggil lagi,” lanjut dia.
Di samping itu, ternyata honor yang didapatkan KPPS juga tak sebanding dengan beban kerjanya. Sekitar Rp 500 ribu dan belum dipotong pajak sekitar 5 persen.
“Itu anggaran nasional. Memang harus direvisi besarannya tidak sebanding jam kerja dan risiko,” ungkap John.