Nasib hidup manusia sukar ditebak. Itulah yang dialami Ni Nengah Suartini, 44, warga Banjar Tampad, Desa Batubulan Kangin, Kecamatan Sukawati, yang kini menderita kebutaan.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
SEJAK tahun 2005 silam, tepatnya setelah melahirkan anak pertamanya, Suartini terserang penyakit glukoma.
Pandangan Suartini tampak menerawang. Sambil membawa tongkat, gerakan Suartini tampak tidak bebas.
Perempuan yang tidak mampu melihat akibat sakit glukoma itu tidak bisa berbuat banyak. Apalagi untuk bekerja, jelas sudah tidak mampu.
Dalam kesehariannya, Suartini hanya mengandalkan penghasilan suaminya, Ketut Kerta, 50, yang bekerja sebagai kuli bangunan.
Penghasilan sebagai kuli tidak besar. Apalagi, kuli bangunan merupakan tenaga harian lepas yang tidak jelas mendapat proyek atau tidak.
“Kalau ada proyek, ikut bekerja baru dapat uang. Kalau tidak ada yang mengajak, tidak punya uang,” ujarnya.
Dengan sakit pada matanya itu, membuat Suartini tidak berdaya secara ekonomi. “Saya tidak bisa membantu suami mencari uang,” sesalnya.
Mirisnya, sakit glukoma yang diderita belum bisa disembuhkan. “Dioperasi juga tidak bisa, karena sudah menyerang saraf. Hanya rutin dikasi obat mata agar tidak sakit,” ujarnya pasrah.
Disinggung soal bantuan, Suartini mengaku sudah mengantongi Kartu Indonesia Sehat (KIS). Juga kali ini, keluarganya berkesempatan mendapat rehab rumah dari Kodam IX/Udayana melalui Koramil Sukawati.
“Mertua saya, Ketut Buntak merupakan veteran pejuang. Sejak 14 Mei lalu, bale daje (rumah bagian utara, red) kami direhab. Awalnya gentengnya bocor, sekarang sudah bagus,” terangnya sedikit gembira.
Suartini pun mengenang, awal kebutaan itu muncul pasca melahirkan anak pertamanya, Putu Indra Dipta pada tahun 2005 silam.
Selama 13 tahun sudah dia tak bisa melihat indahnya dunia, termasuk memandang wajah anak semata wayangnya.
Kini, cobaan pun kembali menghampiri. Ketika sang anak yang duduk di kelas IX SMPN 3 Sukawati nyaris putus sekolah lantaran ada masalah di sekolahnya.
“Padahal tinggal ikut unas saja, anak saya pilih berhenti sekolah,” jelasnya. Alasan berhenti pun tak pasti, sebab anaknya selalu bungkam ketika ditanya.
“Hanya bilang nggak mau sekolah, takut,” jelas Suartini menirukan perkataan anaknya. Diperkirakan Suartini, anaknya takut ke sekolah lantaran di-bully oleh teman-temannya.
“Saya sudah tanya satu per satu temannya, tapi tidak ada mengejek-ejek anak saya. Mereka bilang biasa bercanda saja,” jelasnya.
Suartini pun tak habis pikir, masalah apa yang dihadapi anaknya di sekolah. Dia pun menduga ada kaitan dengan kejadian mistis yang menimpa anaknya pada 23 September 2017 tahun lalu.
Dijelaskan, Putu Indra sempat menghilang di sekolah mulai pukul 8 pagi sampai pukul 8 malam. Upaya pencarian sudah pernah dilakukan, namun tak membuahkan hasil.
Hingga pada pukul 20.00, Suartini dibantu iparnya mengaturkan canang di penunggu karang sekolah. “Saya benar-benar panik waktu itu, rambut sudah acak-acakan memikirkan anak hilang,” kenangnya.
Setelah didoakan, Putu pun muncul secara tiba-tiba sembari menangis tersedu-sedu. “Ipar saya langsung ambil dan ajak pulang. Sampai di rumah, semua saya dengar menangis.
Saat saya tanya, ke mana dia pergi dan siapa yang mengajak, dia mengaku tidak ingat. Tiba-tiba gelap, tiba-tiba muncul,” jelasnya.
Meski demikian, Suartini enggan mengaitkan pendidikan anaknya dengan hal mistis. Terpenting baginya kini, anaknya kembali melanjutkan sekolah.
“Tidak mungkin lagi kembali ke SMPN 3 Sukawati, keluarga sepakat dia agar dipindahkan. Saya pindahkan ke Klungkung, kampung halaman. Saya titip sama orang tua di sana,” jelasnya.
Kini, Suartini berharap anaknya bisa sukses di masa depan. “Supaya dia nggak seperti saya, sakit-sakitan dan tidak bisa ngapa-ngapain.
Semoga jadi orang sukses. Saya titip dia di Klungkung, mudah-mudahan bisa sampai lanjut ke SMA,” pintanya.